Thursday, February 13, 2014

MANAJEMEN STRATEGI


Seksi Pemerintahan mempunyai uraian tugas sebagai berikut :
(1) Membuat rencana kegiatan dan anggaran tahunan Seksi;
(2) Menyusun pedoman dan petunjuk pelaksanaan administrasi dan teknis penyelenggaraan dan pembianaan Pemerintahan Kelurahan;
(3) Membagi tugas dan memberi petunjuk kepada bawahan sesuai bidang tugasnya;
(4) Memeriksa dan menyempurnakan hasil kerja bawahan;
(5) Melaksanakan pembinaan administrasi dan prestasi kerja bawahan;
(6) Menghimpun dan merangkum rencana kegiatan unsur pelaksana kegiatan unsur pelaksana Kelurahan dan unit kerja yang berada di bawah koordinasi Lurah;
(7) Menyusun konsep rencana kerja dan anggaran, tahunan Kelurahan sesuai rangkuman rencana kegiatan;
(8) Membuat konsep surat usulan anggaran biaya Kelurahan untuk ditandatangani Lurah dan mengirimkannya kepada panitia anggaran sebagai bahan pembahasan;
(9) Menyusun konsep usulan mutasi, pendidikan dan pelatihan serta penerapan sangsi pegawai;
(10) Melaksanakan pembinaan pegawai di lingkungan Kelurahan yang meliputi pembinaan disiplin pegawai, pengambangan karir, kesejahteraan dan pengelolaan perpustakaan;
(11) Melaksanakan pengelolaan administrasi keuangan yang meliputi kegiatan perbendaharaan, pembukaan dan konsep pertanggungjawaban keuangan Kelurahan;
(12) Membuat konsep surat/naskah dinas yang akan ditandatangani Lurah dan mengadakan serta mengatur pendistribusiannya;
(13) Memeriksa, mengarahkan, mengatur dan mengarsipkan surat keluar dan masuk sesuai jenis dan permasalahannya serta memantau surat/naskah dinas yang sedang diproses;
(14) Mengatur penditribusian dan memeriksa penggunaan prasarana dan sarana Kelurahan;
(15) Menyiapkan bahan laporan tahunan kegiatan Kelurahan;
(16) Memberikan pelayanan dan informasi kesekretariatan kepada seluruh unsur pelaksana Kelurahan dan unit kerja di wilayah Kelurahan;
(17) Mewakili Lurah apabila berhalangan menjalankan tugas;
(18) Melakukan hubungan kerja sama dengan unit kerja terkait;
(19) Melaksanakan tugas kedinasan lainnya sesuai perintah atasan;
(20) Melaporkan hasil pelaksanaan tugas kepada Lurah;

d.

MAKALAH PROSES LEGISLATIF



PENDAHULUAN
            Pembentukan undang-undang adalah bagian dari ativitas dalam mengatur masyarakat yang terdiri dari gabungan individu – individu manusia dengan segala dimensinya, sehingga merancang dan membentuk undang – undang yang dapat di terima masyarakat luas merupakan suatu pekerjaan yang sulit. Kesulitan ini terletak pada kenyataan bahwa kegiatan pembentukan undang – undang adalah suatu bentuk komunikasi antara lembaga yang menetapkan yaitu pegang kekuasaan legislatif dengan rakyar dalam suatu negar dalam proses pembentukan undang – undang ini. di dalamnya terdapat transfotmasi visi, misi dan nilai yang di inginkan oleh lembaga pembentuk undang – undang dengan masyarakat dalam suatu bentuk aturan hukum. Pembentuk undang-undang sejak awal proses perancangan, telah di tuntu agar undang – undang yang di hasilkan mampu memenuhi berbagai kebutuhan. Pertama mampu di laksanakan. Kedua dapat di tegakkan. Ketiga sesuai dengan prinsip – prinsip jaminan hukum dan persamaan hak-hak sasaran yang di atur dan keempar mampu menyerap aspirasi masyarakt. Selin berbagai kesulitan tersebut, pembentuk undang-undang berpacu dengan dinamika perkembangan masyarakat yang terus b berubah sejalan dengan nilai-nilai yang di anggap baik oleh masyarakat. Jadi pembentukan undang-undang sebagai bagian dari proses pembentukan sistem hukum yang lebih luas tidaklah statis, tetapi mengalami dinamika perubahan.
            Berbagai kesulitan dalam pembentukan undang-undang tersebut, tampaknya telah lama di rasakan oleh bangsa indonesia sebagai negara yang berkembang. Kesulitan – kesulitan dalam pembentukan undang-undang ini, sekarang lebih di rasakan oleh bangsa indonesia yang tengah menghadapi berbagai problem sosial. Secara mendasar pada permasalahan struktural dan kultural yang multi dimensi. Padahal pembentukan undang-undang ini sekarang dan di masa yang akan datang akan terus mengalami peningkatan sebagai respon atas tuntutan masyarakat seiring dengan bertambah kompleksnya perkembangan dan kondisi masyarakat.
            Bertalian dengan pembentukan undang-undang yang partisipatif ini, di dalamnya mengandung dua makna yaitu proses dan substansi. Proses adalah mekanisme dalam pembentukan undang-undang yang harus dilakukan secara transparan sehingga masyarakat dapat berpartisipasi memberikan masukan dalam mengatur suatu persoalan. Subtansi adalah materi yang di atur harus di tujukan bagi kepentingan masyarakat luas sehingga menghasilkan suatu undang-undang yang demokrastis berkarakter responsif/populistis. Dengan demikian, antara partisipasi,transparansi dan demokratisasi dalam pembentukan undang-undang merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat di pisahkan dalam suatu negara demokrasi.
            Adanya partisipasi masyarakat ini tidak dapat diabaikan begitu saja oleh lembaga legislatif. Terlebih lagi dengan dibentuknya mahkamah konstitusi yang salah satu kewenangannya adalah melakukan pengujian terhadap undang-undang, maka partisipasi masyarakat akan menjadi lebih bermakna. Masyarakat yang kepentingannya diabaikan dan di ruikan oleh adanya undang-undang dapat mengajukan tuntutan pengujian terhadap suatu undang-undang.
            Tanpa adanya penataan yang seimbang antara kekuasaan legislatif dengan tuntutan transparansi,partisipatif dan demokratisasi, undang-undang yang di hasilkan akan tetap kurang responsif. Hasil yang di capai tidak akan dapat secara optimal menampung berbagai kepentingan yang secara riil ada dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.






PERMASALAHAN

            Dengan mengacu pada pemaparan latar belakang masalah di muka, dapat dikemukakan satu rumusan masalah pokok yaitu:
1.      ApakahPengaruh partisipasi masyarakat dalam pembentukan undang-undang ?



















PEMBAHASAN

A.    PERUBAHAN UNDANG-UNDANG
Dalam bermacam-macam Hukum Tata Negara dan Ilmu Politik menjelaskan perubahan konstitusi dapat dilakukan dengan empat (4) cara, Keempat cara ini bersumber dari pendapat C.F Strong dalam bukunya yang berjudul Modern political Constitution sebagai berikut :
1. Oleh kekuasaan Legislatif, tetapi dengan pembatasan tertentu cara   ini dapat dilakukan dalam tiga (3) cara :
·         Bahwa untuk melakukan perubahan terhadap konstitusi Badan Legislatif dalam sidang-sidangnya harus dihadiri oleh paling sedikit 2/3 atau 4/5 dari jumlah legisltif. Kemudian putusan-putusan tentang perubahan itu sah apabila usul perubahan disetujui oleh suara terbanyak yang ditentukan 2/3 atau 4/5  yang hadir menyetujui.
·         Sebelum perubahan itu, dilakukan Badan Legislatif dibubarkan kemudian diadakan pemilu yang baru. Badan Legislatif yang baru akan bertindak sebagai Konstituante.
·         Untuk mengubah konstitusi dua (2) lembaga perwakilan rakyat pada negara yang menganut sistem bicameral harus melakukan sidang gabungan saru badan, keputusan sidang gabungan itu mengenai perubahan konstitusi sah, apabila disetujui dengan suara terbanyak dapat dengan suara terbanyak mutlak (1/2 + 1) dan dapat pula suara terbanyak tertentu, misalnya 2/3 atau 4/5 jumlah suara.
2. Oleh rakyat Melalui Referendum.
Perubahan konstitusi yang dilakukan oleh rakyat melalui referendum dengan persyaratan tertentu, apabila mayoritas setuju maka perubahan konstitusi dapat dilakukan, baik secara keseluruhan, sebahagian atau bagian tertentu saja.
Di Indonesia referendum di atur dalam UU No 5/1985 sebagai pelaksanaan dari ketetapan MPR No IV/MPR/1983, kalau kita perhatikan lembaga referendum ini sebelumya kurang di kenal dalam penyelenggaraan ketatanegaraan RI.
3. Oleh sejumlah negara bagian, khususnya negara serikat caranya hanya di kenal pada negara yang di bentuk negara serikat (federal), oleh pembentuk negara tersebut dilakukan atas konsensus dari negara-negara bagian yang di atur dalam suatu konstitusi. Perubahan terhadap konstitusi itu haruslah dilakukan oleh sejumlah negara bagian dengan syarat-syarat yang telah disepakati. Perubahan yang diajukan oleh sekurang-kurangnya 2/3 jumlah anggota kedua kongres (DPR dan SENAT) dengan ratifikasi oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah badan perwakilan rakyat negara-negara bagian.
4. Dengan Konvensi Ketatanegaraan (by a special Convention).
Cara ini dilakukan, apabila untuk mengubah konstitusi harus di bentuk suatu badan khusus yang diberikan wewenang untuk mengubah konstitusi. Cara ini pernah di atur dalam UUDS 1950 dan untuk mengubah bagian UUD harus di bentuk sebuah badan yang dinamakan Majelis Perubahan UUD (pasal 140 UUDS 1950).
Majelis ini terdiri dari anggota DPRS dan anggota Komite Nasional Pusat yang tidak menjadi anggota DPRS. Majelis bekerja, apabila ada usul perubahan UUD dengan suatu amanat presiden kepada majelis dan wewenang dari majelis itu khusus mengubah UUD dan apabila telah disahkan oleh pemerintah maka tugas majelis berakhir.
Beralih konstitusi UUD 1945 (proklamasi). Istilah UUD 1945 baru di kenal ketika diberlakukan kembali UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 9 Juli 1959.  ke konstitusi UUD seperti yang di atur dalam pasal 37. Demikian pula ketika UUD 1945 (proklamasi) berlaku kembali, yang kemudia di kenal dengan sebutan UUD 1945 yang dijalankan secara murni dan konsekwen, tidak melalui ketentuan perubahan konstitusi yang di atur dalam pasal 134  yang menyatakan "Konstituante bersama-sama dengan pemerintah selekas-lekasnya menetapkan UUD RI yang akan menggantikan UUD ini" dan pasal 140 UUDS 1950 menyatakan :
Ayat I : "segala usul untuk mengubah UUD menunjuk dengan tegas perubahan yang diusulkan".
Ayat 2 : "Usul perubahan yang telah dinyatakan dengan UU itu oleh pemerintah dengan amanat presiden disampaikan kepada suatu badan bernama Majelis Perubahan UUD, yang terdiri dari anggota-anggota DPRS dan anggota-anggota Komite Nasional Pusat yang tidak menjadi anggota-anggota DPRS.
Ayat 3 ; "yang ditetapkan dalam pasal 66, 72, 74, 75, 91 dan 94 berlaku demikian juga bagi majelis perubahan UUD" .
Ayat 4 : "Pemerintah harus dengan segera mengesahkan rancangan perubahan UUD yang telah di terima oleh Majelis Perubahan UUD.
Perubahan dan pembentukan konstitusi yang sesuai dengan ketentuan konstitusi adalah seperti yang terjadi pada pembentukan UUDS melalui UU No 7/1950, sesuai dengan bunyi pasal 190 UUDS 1950 yaitu : "Dengan tidak mengurangi yang ditetapkan dalam pasal 51 ayat kedua, maka konstitusi ini hanya dapat di ubah dengan UU Federal dan menyimpang dari ketentuan-ketentuannya hanya diperkenankan atas kuasa UU Federal, baik dewan perwakilan maupun senat tidak boleh bermufakat ataupun mengambil keputusan tentang usul untuk itu, jika tidak sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota sidang menghadiri rapat". Demikian juga yang terjadi pada perubahan I - IV UUD 1945 dalam kurun waktu tahun 1999 sampai dengan tahun 2002, merujuk kepada ketentuan pasal 37 UUD 1945. Sungguhpun pada saat perubahan UUD 1945 itu ada sebahagian anggota masyarakat yang mengusulkan agar tidak melalui koridor pasal 37 tersebut, melainkan melalui "Komisi Konstitusi" yang sengaja di bentuk untuk melakukan amandemem UUD 1945. Keinginan demikia hampir sama seperti keinginan mantan Presiden Soeharto, yang pernah mengusulkan kepada MPR agar tidak menyerahkan sepenuhnya perubahan UUD 1945, akan tetapi harus terlebih dahulu melalui referendum. Usulan pemerintah itu dapat di terima oleh sidang MPR No. IV/MPR/1983 tentang Referendum, yang mengatur hak penentuan usul perubahan UUD ada pada rakyat yang akan ditentukan melalui referendum.
Secara teoritis, ketentuan TAP MPR ini merupakan tambahan tahapan dalam proses perubahan konstitusi. Tahapan adalah tahapan pengesahan usul atau inisiatif untuk mengubah konstitusi. Jadi, apakah inisiatif mengubah konstitusi itu akan di terima atau dibatalkan, tergantung kepada hasil keputusan referendum. maka dengan demikian, MPR tidak boleh lagi secara langsung melakukan perubahan konstitusi. Ini berarti mengurangi kewenangan MPR yang di atur dalam pasal 3 dan 37 UUD 1945. Terlepas dari penguurangan kewenangan MPR tersebut, sebenarnya ide referendum itu di pandang lebih demokratis karena lebih banyak melibatkan suara rakyat dalam memberikan keputusan. Oleh karenanya, dapat dikatakan bahwa dengan dikeluarkannya TAP MPR tentang referendum tersebut, berarti secara material telah terjadi perubahan atas pasal 37 UUD 1945.
Dengan demikian, kesamaan keduanya (Tap MPR No IV/MPR/ 1983 dan gagasan komisi konstitusi) adalah sama-sama ingin mengurangi kewenangan MPR, sedangkan perbedaannya adalah terletak pada latar belakang pemikiran perlunya Komisi Konstitusi dan Tap MPR tersebut.
Tahapan pengesahan inisiatif perubahan konstitusi oleh referendum yang muncul melalui Tap MPR tersebut sekarang telah di adopsi dalam pasal 37 ayat I yang berbunyi : "Usul perubahan pasal-pasal UUD dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR".
Cara Perubahan  UUD 1945  Menurut Pasal 37 Sebelum Perubahan.
UUD 1945 mengatur perubahan konstitusinya dalam dua ketentuan yaitu Pertama, ketentuan mengatur kewenangan MPR menetapkan UUD dan Kedua, ketentuan yang mengatur cara perubahan UUD yang terdiri dari persyaratan kuorom dan pengesahan perubahan. Menurut pasal 37, sahnya perubahan UUD adalah apabila disetujui oleh 2/3 dari jumlah anggota majelis yang hadir yaitu 2/3 dari jumlah seluruh anggota majelis. Maka dengan demikian, secara matematis hanya dibutuhkan suara terbesar 2/3 kali 2/3 kali seluruh jumlah anggota majelis, atau 4/9 atau sama dengan 44,4 % suara dari seluruh jumlah anggota majelis. Oleh karena persyaratan keabsahan perubahan UUD itu kurang dari 50 % dari seluruh anggota majelis, maka di lihat dari sisi jumlah suara, cara demikian itu dapat diklarifikasikan sebagai cara yang mudah.
Sungguhpun demikian, jika di lihat dari sisi persyaratan kuorm sidang yang harus dihadiri oleh 2/3 (66,66%) dari jumlah anggota majelis, maka sebenarnya cara perubahan demikian dapat dilakukan tergolong sulit, karena kurang dari satu orang anggota saja yang tidak hadir dalam kuorom dinyatakan tidak sah.
Selanjutnya, pelaksanaan perubahan konstitusi itu di atur dalam Ketetapan MPR NO. II/MPR/1999 tentang Peraturan Tata tertib MPR RI. Tap MPR ini sebenarnya bersifat umum, sebagi pedoman majelis dalam melaksanakan perubahan UUD. Dalam pasal 29 Tap MPR di atur tingkatan pembicaraan untuk membahas materi-materi dalam rapat atau sidang MPR. Tingkatan pembicaraan itu adalah sebagai berikut :
Tingkat I : Pembahasan oleh badan pekerja majelis terhadap bahan-bahan yang masuk. Hasil dari perubahan tersebut merupakan rancangan ketetapan/keputusan majelis sebagai bahan pokok pembicaraan tingkat II.
Tingkat II : Pembicaraan oleh rapat paripurna majelis yang yang didahului oleh penjelasan pimpinan dan dilanjutkan dengan pemandangan umum fraksi-fraksi.
Tingkat III : Pembahasan oleh komisi dan panitia Ad Hoc majelis semua hasil pembicaraan tingkat I dan II. Hasil pembahasan pada tingkat III merupakan rancangan ketetapan/keputusan majelis.
Tingkat IV : Pengambilan keputusan oleh rapat paripurna majelis setelah mendengar laporan dari pimpinan komisi/panitia Ad Hoc dan bilamana perlu dengan kata terakhir dari fraksi-fraksi.
Dengan berpedoman kepada pasal 37 UUD 1945 dan tata tertib tersebut, MPR untuk pertama kalinya melaksanakan kewenanngnya merubah UUD 1945. Perubahan UUD ini terjadi pada tahun 1999 sampai dengan tahun 2002. Proses perubahan ini terjadi dengan urut-urutan sebagi berikut :
Pertama : Pembahasan perubahan UUD oleh Badan Pekerja MPR yang dilaksanakan oleh Panitia Ad Hoc I (PAH I). Dalam tahap ini, PAH I menyertakan tim ahli yang terdiri dari para guru besar Hukum Tata Negara dan ahli politik dari berbagai perguruan tinggi negeri ataupun swasta, untuk di dengar pandangan-pandangan mereka sehubungan dengan perubahan UUD 1945.
Kedua : pemandangan umum fraksi-fraksi MPR dalam sidang paripurna MPR atas rancangan UUD hasil badan pekerja.
Ketiga : Pembahasan di Komisi A terhadap semua hasil pembicaraan tahap pertama dan kedua itu. Hasil pembahasan pada tahap ini merupakan rancangan/keputusan majelis mengenai draf perubahan UUD 1945. Draf perubahan itu kemudian diajukan oleh Komisi A dalam rapat paripurna sidang majelis.
Pendapat terakhir fraksi-fraksi MPR  atas rancangan perubahan UUD hasil Komisi A dan pengambilan putusan atau pengesahan atas rancangan perubahan tersebut.


B.     PARTISIPASI MASYARAKAT

Pokok pikiran yang melandasi perlunya partisipasi masyarakat dikemukakan oleh Hardjasoemantri (1993 : 2- 4), yaitu :

(1)   Memberi informasi kepada pemerintah
Partisipasi masyarakat sangat diperlukan untuk memberi pasukan kepada pemerintah tentang masalah yang dapat ditimbulkan oleh suatu rencana tindakan pemerintah dengan berbagai konseksuensinya. Dengan demikian, pemerintah akan dapat mengetahui adanya berbagai kepentingan yang dapat terkena tindakan tersebut yang perlu diperhatikan.
Pengetahuan tambahan dan pemahaman mengenai  aspek tertentu yang diperoleh dari pengetahuan masyarakat tentang masalah-masalah yang mungkin timbul yang diperoleh sebagai masukan partisipasi masyarakat bagi proses pengambilan keputusan dalam bentuk peraturan perundang-undangan, akan dapat meningkatkan kualitas keputusan tersebut dan dengan demikian partisipasi masyarakat tersebut akan dapat meningkatkan kualitas tindakan Negara dibidang tersebut.

(2)   Meningkatkan kesediaan masyarakat untuk menerima keputusan seorang warga masyarakat yang memperoleh kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan cenderung untuk memperlihatkan kesediaan yang lebih besar guna menerima dan menyesuaikan diri dengan keputusan tersebut. Dengan demikian, akan dapat banyak mengurangi kemungkinan timbulnya pertentangan, asal pertisipasi tersebut dilaksanakan pada waktu yang tepat.
Akan tetapi perlu dipahami, bahwa suatu keputusan tidak pernah akan memuaskan kepentingan, semua golongan atau warga golongan masyarakat, namun kesediaan masyarakat untuk menerima keputusan akan dapat ditingkatkan.

(3)   Membantu perlindungan hukum
Apabila sebuah keputusan akhir diambil dengan memerhatikan keberatan-keberatan yang diajukan oleh masyarakat selama proses pengambikan keputusan proses pengambikan keputusan berlangsung, maka setelah keputusan diambil keberatan dari warga masyarakat akan berkurang atau kecil kemungkinannya, karena semua alternatif sudah dibicarakan setidak-tidaknya sampai tingkat tertentu.
Apabila sebuah keputusan dapat mempunyai konsekuensi begitu jauh, sangat diharapkan setiap orang yang terkena akibat keputusan itu perlu diberitahu dan dikasih kesempatan untuk mengajukan keberatan-keberatannya sebelum keputusan itu diambil.

(4)   Mendemokrasikan pengambilan keputusan
Didalam hubungan dengan partisipasi masyarakat ini, ada pendapat yang menyatakan, bahwa dalam pemerintahan dengan sistem perwakilan, maka hak untuk melaksanakan kekuasaan ada pada wakil-wakil rakyat yang di pilih oleh rakyat.

Dengan demikian, tidak ada keharusan adanya bentuk-bentuk dari partisipasi masyarakat karena wakil rakyat itu bertindak untuk kepentingan untuk rakyat. Dikemukakan pula argumentasi bahwa dalm sistem perwakilan, partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan akan menimbulkan masalah keabsahan demokrasis, karena warga masyarakat, kelompok atau organisasi yang turut serta dalam proses pengambilan keputusan tidaklah dipilih atau diangkat secara demokratis. Terhadap kritik tersebut diatas, Gundling mengemukakan pendapatnya yaitu :

(1)   Bahwa demokrasi dengan sistem perwakilan adalah salah satu bentuk demokrasi, bukan satu-satunya.
(2)   Bahwa sistem perwakilan tidak menuntut bentuk-bentuk demokrasi langsung.
(3)   Bahwa bukanlah warga masyarakat, kelompok warga masyarakat, atau organisasi yang sesungguhnya mengambil keputusan. Mereka hanya berperan serta/berpartisipasi dalam tahap-tahap persiapan pengambilan kesimpulan.
(4)   Monopoli lembaga negara dan lembaga-lembaganya untuk mengambil keputusan tidaklah dipersoalkan oleh adanya peran serta masyarakat ini. Peran serta masyarakat/ partisipasi masyarakat dapatlah dipandang untuk membantu negara dan lembaga-lembaganya guna melaksanakan tugas dengan cara yang lebih dapat diterima dan berhasil guna.

Di dalam catatan sejarah peraturan perundang-undangan misalnya dalam undang-undang di Indonesia undang-undang tentang penanggulangan keadaan bahaya merupakan undang-undang yang paling banyak menelan korban dan terjadinya insiden pada tanggal 24 september 1999. Demontrasi masa yang melibatkan ribuan mahasiswa dan rakyat telah membuktikan besarnya penolakan sekaligus pengorbanan yang harus dibayar dalam menentang Raperda yang mengadung watak militerisme dan anti demikrasi (Ahmad, 2003 :102).

Departemen dalam negeri belum pernah melakukan konsultasi publik menyangkut UU 22  Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah. Seperti apa yang dilakukan oleh sekretaris umum asosiasi DPRD kota Indonesia Tabah Iskandar, bahwa kami menolak revisi UU 22 Tahun 1999 oleh tim kerhja dipdagri jika tidak didahului konsultasi publik, supervisi, dan evaluasi karena itulah tahapannya. Demikian kata Tabah Iskandar yang juga adalah ketua DPRD kota batam usai menyampaikan pandangan ADEKSI terhadap revisi dimaksudkan  kepada menko polkam Susilo Bambang Yudhoyono dikantor menko polkam 31 januari 2003 (Ahmad, 2003 : 104). Kisah pembentukan peraturan perundang-undangan yang partisipatif bukanlah hal yang mencengangkan di negeri ini. Dua kutipan  diatas berusaha mengutip ingatan untuk kembali memberi perhatian terhadap konsekuensi serius yang bisa timbul dari mondisi demikian.

Sebagai gejala empiris, sekurang-kurangnya empat undang-undang yang terbentuk akibat proses yang tidak partisipatif, Yaitu :

(1)   Undang-undang atau peraturan tersebut tidak efektif dalam arti tidak mencapai tujuan yang diharapkan seperti UU No. 14 Tahun 1992 tentang lalu lintas.
(2)   Undang-undang tersebut tidak implementatif, dalam arti tidak dapat dijalankan atau gagal sejak dini sebagai contoh undang-undang pemberantasan korupsi  Tahun 1999 harus segara di amandemen kurang dari satu tahun sejak diundangkannya.
(3)   Undang-undang atau peraturan tersebut tidak responsif, yaitu sejak dirancang sampai diundangkan mendapat penolakan keras dari masyarakat misalnya UUPKB.
(4)   Undang-undang atau peraturan yang bukannya memecahkan masalah sosial, tetapi malah menimbulkan kesulitan baru di masyarakat, salah satu contohnya yaitu undang-undang yayasan No. 16 Tahun 2001 yang berlaku sejak 6 Agustus 2002 yang lalu. Akibatnya, muncul ketegangan hubungan tata pemerintahan, terlambatnya proses perubahan ekonomi dan politik, meningkatnya skop jangkauan korupsi, semakin terhimpitnya kehidupan kelompok-kelompok rentan, hingga melayang nyawa manusia.

Meskipun akibat-akibat itu berasal dari adanya konbinasi masalah yang sangat kompleks, tetapi cara atau proses pembentukan kebijakan peraturan perundang-undangan atau peraturan daerah tanpa adanya partisipasi masyarakat memberikan sumbangan besar terhadap segala permasalahan diatas.

Pada dasarnya partisipasi masyarakat bukanlah tujuan akhir. Tujuan yang sebenarnya adalah memberikan ruang yang lebih luas kepada masyarakat umumnya, kususnya bagi kelompok-kelompok masyarakat yang terpinggirkan atau rentan, agar mampu memberikan pengaruh yang berarti terhadap proses pemerintahan dalam arti luas mulai dari proses pengambilam keputusan, pelaksanaan, serta evaluasinya.

Hans (1986 : 138), mengemukakan keterbukaan dalam prosedur, memungkinkan masyarakat untuk ikut mengetahui (meeweten), ikut memikirkan (meedenken); bermusyawarah (meespreken); dan ikut memutuskan dalam rangka pelaksanaan (mebesllssen); serta hak ikut memutus (medebes lissingsreecht)

Asas keterbukaaan dan peran serta masyarakat merupakan suatu hal yang amat esensial dalam pembuatan peraturan perundang-undangan.

Kesempatan masyarakat untuk turut berpartisipasi di dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan sudah diakomodasi dalam hukum positif. Penegasan ini diatur dalam pasal 139 ayat (1) UU No. 32/2004 serta duanutnya asas keterbukaan[1][1] dalam kedua UU tersebut. Pasal 53 UU No. 10/ 2004 menyatakan : “masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penetapan maupun pembahasan rancangan undang-undang atau rancangan peraturan daerah”.

C.    PROSES PEMBENTUKAN MELIBATKAN MASYARAKAT

            Partisipasi dapat diartikan sebagai ikutn serta, berperan serta dalam satu kegiatan , mulai dari perencanaan sampai dengan evaluasi. Partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan peraturan daerah dapat dikatagorikan sebagai partipasi politik. Oleh Hultington dan Nelson[2][2], partisipasi politik diartikan sebagai kegiatan warga negara sipil (private kitizen) yang bertujuan memengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah.

 Partisipasi (kamus besar bahasa Indonesia, 2001 :831)berarti ada peran atau keikut sertaan (mengawasi, mengontrol, dan memengarui) masyarakat dalam suatu kegiatan pembentukan peraturan mulai dari perencanaan sampai dengan evaluasi pelaksanaan peraturan daerah. Oleh sebab itu, partisipasi masyarkat termasuk dalam kategori partisipasi politik. Ada beberapa konsep partisipasi :

1.      Partisipasi sebagai kebijakan
Konsep ini memandang partisipasi sebagai prosedur konsultasi para pembuat kebijakan kepada masyarakat sebagai sumber peraturan daerah.

2.      Partisipasi sebagai strategi
Konsep ini melihat partisipasi sebagai salah satu strategi untuk mendapatkan dukungan nmasyarakat demi kredibilitas kebijakan yang dikeluarkan pemerintah.

3.      Partisipasi sebahai alat komunikasi. Konsep ini melihat partisipasi sebagai alat komunikasi bagi pemerintah (sebagaiu pelayan rakyat) untuk mengetahui keinginan rakyat.

4.      Partisipasi sebagai alat penyelesaian sengketa. Partisipasi sebagai alat penyelesaian sengketa dan toleransi atas ketidakpercayaan dan kerancuan yang  ada dalam masyarakat.


Apapun konsep partisipasi yang diterapkan oleh pemerintah, setidaknya keterlibatan masyarakat dapat memberikan legitimasi terhadap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dan menimbulkan kepercayaan  adanya keberpihakan pemerintah terhadap kepentingan masyarakat.
Bentuk partisipasi masyarakat sangat bervariasi, tergantung pada situasi dan kondisi di suatu tempat dan waktu dalam konsep negara demokrasi dengan sistim perwakilan, kekuasaan pembentukan UU atau perda hanya ada ditangan kelompok orang-orang yang telah dipilih melalui pemilihan umum. Didalam konsep ini, bahwa tiap wakil itu akan bertarung di parlemen demi kepentingan umum dan bila mereka bertindak sebaliknya, maka kursi yang didudukinya akan serta merta lepas dalam pemilihan umum yang akan datang. Disinilah titik kontrol yang utama dari rakyat kepada sang wakil. Disamping itu, dimungkinkan pula adanya kontrol dari rakyat berupa demokrasi atau bentuk-bentuk pengerahan massa, atau melalui prosedur hukum.

Konsep tersebut mengabaikan kenyataan bahwa posisi tawar antara rakyat dan negara/pemerintah masih tidak seimbang.

Didalam negara seperti di indonesia ini kontrol dari rakyat melalui pemilihan umum ternyata kurang berarti. Sumber legitimasi dari rakyat tidak ada lagi dari rakyat, tetapi ada pada partai politik, modal, kekuatan politik lain yang dominan.

Kasus indonesia yaiut institusi politik rakyat yang sudah hancur akibat kebijakan politik dimasa orde baru yang represif, menjadi sangat mudah dimanipulasi oleh partai politik dan kekuatan-kekuatan politik dan ekonomi yang dominan sehingga pengawasan rakyat jadi sangat kecil pengaruhnya (Ahmad, 2003: 106).

Pandangan tersebut diatas mengabaikan realita sosial yang ada didalam masyarakat itu sendiri, yaitu bahwa di dalam suatu masyarakat pasti ada kelas-kelas yang satu sama lain yang berbeda kepentingannya yang mungkin saja bertentangan atau berhadapan. Selain itu, timpang posisinya ketika berhadapan dengan negara, oleh karena itu mengakui negara sebagi ruang netral dimana semua kalangan mampu memberi pengaruhnya secara signifikan adalah sebuah sesat pikir. Kenyataan aktual yang juga memperlihatkan bahwa wakil rakyat memilki beban ekonomi politik yang nyata, baik institusional maupun personil.  Situasi ini yang mendorong tindakan-tindakan wakil  raktyat dan institusi birokrasi bisa bertolak belakang dengan kepentingan publik, oleh karena itu monopoli birokrasi dari parlemen dalam proses pembantukan peraturan sudah tidak mungkin lagi dipertahankan (Ahmad, 2003: 106-107).

Dengan demikian, untuk mencapai tujuan Perundang-Undangan tersebut syarrat utama yang harus dipatuhi adalah keterlibatan rakyat/partisipasi masyarakat di dalam suatu proses pembentukan kebijakan atau peraturan tersebut mulai dari proses lahirnya sampai pelaksanaannya di lapangan samapai tahap evaluasi.

Habermas dalam Hardiman (2001: 46), menyatakan bahwa titik tolak yang dapat menjadi acuan untuk menata ulang proses tersebut adalah memperluas perdebatan politis di dalam parlemen ke masyarakat sipil. Bukan hanya aparat negara dan wakil rakyat, melainkan juga seluruh warga negara berpartisipasi di dalam wacana politis untuk mengambil keputusan politik bersama. Melalui radikalisasi konsep negara hukum klasik kedaulatan rakyat bergeser dai proses pengambilan keputusan di parlemen ke proses partisipasi dalam ruang publik.  Kedaulatan rakyat bukanlah substansi yang membeku dalam perkumpulan  para wakil rakyat, melainkan juga  dipelbagai forum warga negara, organisasi, nonpemerintah, gerakan sosial, atau singkatnya dimanapun diskursus tentang kepentingan bersama warga negara di lancarkan.

Di dalam kondisi inilah muncul gagasan sistim demokrasi yang melibatkan partisipasi yang sekaligus bertujuan untuk meningkatkan kemampuan  rakyat yang rendah dari segi ekonomi, politik, dan sosial.

Konsep partisipasi masyarakat mengalami pemaknaan yang berbeda-beda sehingga perlu diperjelas tentang proses yang mana yang dapat di sebut partisipasi dan bukan, sehingga terjadi kesamaan dan cara pandang  dalam menilai sebuah proses partisipasi di masa lalu, sekarang dan yang akan datang.

Arenstein (Ahmad, 2003:108),  menyusun model yang dapat membantu untuk menilai tingkat partisipasi di dalam suatu proses pembentukan kebijakan atau peraturan secara umum Perundang-Undangan/perda. Secara umum ada tiga derajat partisipasi masyarakat :

      (1)   Tidak partisipatif (non participation);
      (2)   Derajat semu (degress  of tokenism) ; dan
      3)   Kekuatan masyarakat ( degress of citizen power).

Dasar penentuan derajat, buakan pada seberapa jauh masyarakat telah terlibat dalam proses pembentukan kebijakan atau program yang dilaksanakan oleh negara, tetapi seberapa jauh masyarakat dapat menentukan hasil akhir atau dampak dari kebijakan atau program tersebut. Derajat terbawah terdiri dari dua tingkat partisipasi, yaitu manipulasi (manipulation) dan terapi (therapy).

Di dalam tingkat ini partisipasi hanya bertujuan untuk menata masyarakat dan mengobati luka timbul akibat kegagalan sistim dan mekanisme pemerintahan. Tidak ada niatan sedikitpun untuk melibatkan masyarakat dalam menyusun kegiatan atau program pemerintah. Derajat menengah (yang semu), terdiri dari  tiga tingkat partisipasi, yaitu : pemberitahuan (informing); konsulatas (consultation) ; dan peredaman (placation). Di dalam tahap ini sudah ada perluasan kadar partisipasi, masyarakat sudah bisa mendengar (tingkat pemberitahuan) dan didengar (tingkat konsultasi) namun begitu tahap ini belum menyediakan jaminan yang jelas bagi masyarakat bahwa suara mereka diperhitungkan dalam penentuan hasil dalam sebuah kebijakan publik. Sedangkan pada tahap peredaman memang sudah memungkinkan masyarakat pada umumnya, khususnya yang rentan untuk memberi masukan yang lebih signifikan  dalam penentuan hasil kebijakan publik, namun proses pengambilan keputusan masih dipegang penuh oleh pemegang kekuasaan.

Derajat tertinggi terdiri dari tiga tingkat partisipasi yakni kemitraan (partnerships), delegasi kekuasaan (delegeted power), dan yang teratas adalah kendali masyarakat (citizen control). Dalam tahap ini partisipasi masyarakat termasuk yang rentan sudah masuk dalam ruang penentuan proses, hasil dan dampak kebijakan. Masyarakat sudah bisa bernegosiasi dengan penguasa tradisional dalam posisi politik yang sejajar (tingkat kemitraan) bahkan lebih jauh mampu mengarahkan kebijakan karena ruang pengambilan keputusan telah dikuasai (tingkat delegasi kekuasaan).

Sehingga pada tahap akhir partisipasi telah sampai pada puncaknya yaitu ketika  masyarakat secara politi maupun administratif sudah  mampu mengendalikan proses pembentukan, pelaksanaan, dan kebijakan tersebut (tingkat kendali masyarakat)























KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Bahwa dalam pembuatan undang-undang yang melibatkan masyarakt. Pada dasarnya suatu bentuk ideal dalam peroses pembentukan undang-undang yang partisipatif guna melahirkan undang-undang yang responsif. Semua kekuatan politik secara riil termasuk masyarakat ada di dalamnya. Akan tetapi karena belum ditopang oleh perangkat peraturan perundang-undangan yang mengatur partisipasi masyarakat secara memadai. Maka bentuk yang ideal tersebut belum dapat menghasilkan produk undang-undang yang sepenuhnya responsif bagi keinginan masyarakat luas.

Saran

Perlu adanya satu pasal yang mengatur tentang partisipasi masyarakat dalam UU no. 10 tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangn dan di tindak lanjuti dengan adanya 3 pasal dalam peraturan tata tertib DPR-DI no.15/DPR RI/I/2004-2005 rasanya masih belum mencukupi untuk mengatur persoalan.











DAFTAR PUSTAKA