Showing posts with label MAKALAH Sistem Pemerintahan RI. Show all posts
Showing posts with label MAKALAH Sistem Pemerintahan RI. Show all posts

Saturday, March 31, 2012

HUBUNGAN ANTARA SISTEM PEMILU DAN SISTEM KEPARTAIAN DENGAN PENINGKATAN KUALITAS PARLEMEN


PENDAHULUAN

Paska amandemen atau pada masa reformasi, performance partai politik (parpol) yang tercermin dalam produktivitas Lembaga Legislatif telah begitu tinggi bahkan sistem dikatakan memonopoli kekuasaan. Positif-negatif memang kondisi ini jika dibandingkan dengan kondisi kinerja Lembaga Legislatif atau parpol sebelum amandemen ataupun pada era Orde Baru. Dikatakan sangat berbeda karena produktivitas Lembaga Legislatif, misalkan dalam fungsi inisiatif mengajukan RUU, pada masa itu sistem dikatakan minim atau bahkan tidak ada dalam kamus kerja Lembaga Legislatif.

Di satu sisi, kondisi seperti ini memang satu hal yang patut disyukuri sebagai perkembangan yang signifikan dalam demokratisasi Indonesia. Karena bagaimanapun juga penempatan peran legislasi yang lebih pada lembaga perwakilan rakyat adalah sebuah penempatan yang sudah tepat adanya mengingat bahwa Lembaga Legislatiflah yang dapat dikatakan representasi rakyat dan berkompeten mengungkapkan kehendak rakyat dalam bentuk undang-undang. Kalaupun disana terdapat sistem pemerintah sebagai partner DPR dalam legsislasi, hal ini lebih pada penekanan diperlukannya fungsi pengawasan atau keseimbangan (checks and balancing system) antara cabang kekuasaan, selain Presiden merupakan kepala pemerintahan, pimpinan dari jajaran aparat birokrasi, yang dalam pemerintahan sistem modern memiliki kemampuan teknis dan fasilitas informasi yang sangat baik dibandingkan lembaga-lembaga lain dalam sistem.

Di sisi yang lain, berbanding terbalik dengan produktivitas Lembaga Legislatif dalam mengusung inisiatif RUU tersebut, sorotan ini muncul juga justru karena ketidakmampuan mayoritas anggota dan kekuatan politik yang ada di Lembaga Legislatif menangkap aspirasi yang berkembang di tingkat. Dengan kata lain, tidak mampu merumuskan suara yang berkembang di tingkat sistem menjadi pertimbangan utama substansi suatu undang-undang.

Parpol dalam DPR seharusnya sekedar sistem yang menyajikan calon yang paling baik bagi masyarakat cenderung lebih mementingkan calon-calon yang loyal kepada partai daripada calon di luar partai yang mungkin dianggap lebih berkualitas. Tingkat kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap kinerja Lembaga Legislatif dan parpol begitu rendah. Yakni satu tingkat paling bawah sebelum Partai Politik.

Perjalanan Menemukan Format Sistem Pemilu dan Sistem Kepartaian Ideal

Dalam perjalanannya Indonesia mengalami perdebatan panjang pilihan diterapkannya sistem pemilihan. Complicated permasalahan dan beragam pertimbanganlah yang kemudian mengantarkan Indonesia untuk memilih salah satu sistem yang diterapkannya.

Pada masa berlakunya sistem parlementer, kombinasi yang digunakan adalah sistem pemilu proportional representation dan sistem multipartai. Pada masa ini, tidak hanya partai saja yang diberikan kesempatan menjadi kontestan pemilu, akan tetapi individu (Perorangan) juga diberi kesempatan untuk mencalonkan diri. Pemilu pada era ini dianggap sebagai pemilu yang paling demokratis selama pemerintahan di Indonesia.

Walaupun demikian, partai politik yang dihasilkan melalui pemilu demokratis ini dianggap telah menyalahgunakan kesempatan berkuasa, karena terlalu mementingkan kepentingan serta ideologi masing-masing kelompok, sehingga gagal menciptakan suasana yang stabil yang kondusif untuk pembangunan secara berkesinambungan. Karena pendeknya usia setiap kabinet sebagai akibat ulahnya partai-partai, tidak mungkin bagi pemerintah menyusun dan melaksanakan suatu rencana kerja secara mantap.

Dektrit Presiden 4 Juli 1959 menghidupkan kembali UUD 1945, Soekarno dalam usaha membentuk demokrasi terpimpin menyatakan beberapa tindakan antara lain menyederkanakan sistem partai dengan mengurangi jumlah partai. Penyederhanaan dilakukan dengan mencabut Maklumat Pemerintah tertanggal 3 November 1945, melalui Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 7 tahun 1959 ditetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh partai untuk diakui oleh pemerintah. Pada tahun 1960 jumlah partai yang memenuhi syarat tinggal 10 partai.

Setelah Orde Lama, Orde Baru dengan sistem pemerintahan Presidensialisme, menerapkan sistem pemilihan proporsional dengan daftar tertutup kombinasi dengan sistem multipartai yang berangsur-angsur disederhanakan. Selain sistem proporsional tertutup yang digunakan, modifikasi sistem pemilihan yang digunakan Orde Baru adalah melalui pengangkatan utusan golongan/daerah.

Pada walnya, penyederhanaan Sistem Multipartai Orde Baru dilakukan dengan suatu kompromi (Konsensus nasional) antara pemerintah dan partai-partai pada tanggal 27 Juli 1967 untuk tetap memakai sistem perwakilan berimbang, dengan beberapa modifikasi. Diantaranya, kabupaten dijamin sekurang-kurangnya 1 kursi, dan 100 anggota DPR dari jumlah total 460 diangkat dari ABRI (75), Non ABRI (25). Sistem distrik ditolak dan sangat dikecam parpol, dengan alasan karena tidak hanya dikhawatirkan akan mengurangi kekuasaan pimpinan partai, tetapi juga mencakup ide baru, seperti duduknya wakil ABRI sebagai anggota parlemen.

Karena kegagalan usaha penyederhanaan partai ketika pemilihan, Orde Baru melakukan pengurangan dengan mengelompokkan dari 10 partai menjadi tiga partai pada tahun 1973, sehingga sejak pemilu 1977 hingga 1992 hanya ada tiga peserta pemilu yakni PPP, Golkar, dan PDI.

Dengan tindakan seperti ini, di satu sisi Orde Baru telah berhasil mengatasi perlunya pembentukan kabinet koalisi, serta tidak adamya lagi fragmentasi partai atau terlalu banyak partai. Tetapi disisi lain masih terdapat kelemahan-kelemahan, diantaranya kekurangan akraban antara wakil rakyat dan rakyat yang diwakilinya. Peranan penentu dari pimpinan pusat dalam menetapkan daftar calon dianggap sebagai sebab utama mengapa anggota DPR kurang menyuarakan aspirasi rakyat.

Sejalan dengan tuntutan reformasi, maka keberadaan lembaga perwakilan yang benar-benar mencerminkan representasi kedaulatan rakyat merupakan sebuah kebutuhan yang tak terelakkan. Lembaga Perwakilan yang pengisian keanggotaannya dipilih langsung oleh rakyat adalah bentuk rasionalisasi dari prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat.

Sistem Pemilu yang dianut adalah sistem proporsional (perwakilan berimbang) dengan daftar calon terbuka untuk memilih DPR dan DPRD, sedangkan untuk memilih Dewan PerwakilanDaerah (DPD) menggunakan sistem distrik sistem distrik berwakil banyak. Sistem Pemilu ini digunakan sebagai evaluasi sistem yang diterapkan pada masa Orde Baru, dengan harapan rakyat agar pemilihan calon yang diajukan oleh partai politik (parpol) lebih dikenal oleh pemilihnya.

Pembatasan pada masa ini dilakukan dengan mekanisme kuota (Threshold)[8], yaitu dengan mencantumkan prasyarat Partai Politik Peserta Pemilu harus memperoleh sekurang-kurangnya 3% jumlah kursi di DPR, atau memperoleh sekurang-kurangnya 4% jumlah kursi DPRD Provinsi yang tersebar sekurang-kurangnya (setengah) dari jumlah provinsi seluruh Indonesia, atau memperoleh sekurang-kurangnya 4% jumlah kursi DPRD Kabupaten/Kota yang tersebar di kabupaten/kota seluruh Indonesia untuk dapat mengikuti Pemilu berikutnya.

Hubungan antara Sistem Pemilu dan Sistem Kepartaian dalam Usaha Untuk Merubah Kualitas Kinerja Parlemen

Jika dikaji secara seksama, pada dasarnya kualitas parlemen lebih banyak ditentukan oleh mekanisme-mekanisme pendukung sistem kepartaian dan sistem pemilihan. Pada sistem pemilihan proposional dengan daftar tertutup misalkan, kualitas calon ditentukan pada daftar urutan calon anggota DPR. Urutan yang paling kecil menunjukkan berbobot atau tidaknya caleg yang diajukan, karena semakin kecil nomor urut, semakin besar kemungkinan menjadi anggota DPR dan sebaliknya, karena kita memilih tanda gambar bukan memilih orang. Partailah yang harus dianggap salah kalau banyak anggota DPR yang tidak mengerti akan hak-haknya sebagai anggota DPR, karena partai yang menentukan dcantumkannya seorang calon disana.

Begitu juga sistem distrik ataupun sistem proporsional dengan daftar terbuka, tetaplah partai yang menjadi penentu. Partai menentukan seseorang menjadi kandidiat atau tidak, hanya saja memang setelah nama kandidat itu muncul barulah pemilih yang menentukannya secara langsung.

Bobot suatu sistem pemilu dan kepartaian lebih banyak memang terletak pada nilai demokratis didalamnya, dalam artian hanya terkait dengan bagaimana pemilu dapat memberikan hak kepada setiap pemilih untuk memberikan suaranya sesuai dengan keyakinan pilihannya, dan bagaimana setiap kontestan pemilihan akan memperoleh dukungan secara adil, yaitu peluang yang sama bagi setiap kandidat untuk meraih kemenangan.

Apakah sistem pemilihan menentukan secara langsung kualitas parlemen atau tidak bisa kita lihat pula dari gagasan pokok keberadaan kedua sistem pemilihan.

1. Sistem Perwakilan Berimbang

Gagasan pokok sistem Perwakilan Berimbang (Proportional Representation) terletak pada sesuainya jumlah kursi parlemen yang diperoleh suatu golongan atau partai dengan jumlah suara yang diperoleh dari masyarakat. Pada sistem ini negara dibagi dalam beberapa daerah pemilihan yang besar, dan setiap daerah pemilihan memilih sejumlah wakil sesuai dengan banyaknya penduduk dalam daerah pemilihan itu. Dengan demikian kekuatan suatu partai dalam masyarakat tercermin dalam jumlah kursi yang diperolehnya dalam parlemen, artinya dukungan masyarakat bagi partai itu sesuai atau proporsional dengan jumlah kursi dalam parlemen.

Menurut beberapa kalangan Sistem Perwakilan Berimbang memiliki kelebihan, diantaranya ialah :

  1. Dianggap demokratis dan representatif, oleh karena semua aliran yang ada dalam masyarakat terwakili dalam parlemen, sedangkan jumlah wakil dalam badan itu sesuai dengan jumlah suara yang diperoleh dari masyarakat dalam masing-masing daerah pemilihan,
  2. Kemudian juga Dianggap lebih adil karena golongan kecil sekalipun mempunyai kesempatan untuk mendudukkan wakil dalam departemen;
  3. Wakil rakyat yang dipilih dengan cara ini diharapkan lebih cenderung untuk mengutamakan kepentingan nasional daripada kepentingan daerah;

Demikian pula Sistem Perwakilan Berimbang memiliki kekurangan, yakni :

  1. Mempermudah fragmentasi partai dan menimbulkan kecendrungan kuat di kalangan anggota untuk memisahkan diri dari partainya dan membentuk partai baru;
  2. Wakil yang terpilih mersa dirinya lebih terikat kepada partai daripada kepada daerah yang mewakilinya disebabkan partai lebih menonjol perannya daripada kepribadian seseorang;
  3. Banyaknya partai yang bersaing menyulitkan suatu partai untuk meraih mayoritas (50%+1) yang perlu membentuk suatu pemerintahan. Terpaksa partai terbesar mengusahakan suatu koalisi dengan beberapa partai lain untuk memperoleh mayoritas dalam parlemen. Koalisi semacam ini sering tidak langgeng sehingga tidak membina stabilitas politik.

Biasanya sistem Perwakilan Berimbang ini sering dikombinasikan dengan beberapa prosedur lain antara lain dengan sistem daftar (List System), yang kemudian dibagi lagi menjadi sistem daftar terbtutup dan sistem daftar terbuka. Dalam sistem daftar tertutup setiap partai mengajukan satu daftar calon dan si pemilih memilih memilih satu partai dengan semua calon yang dicalonkan oleh partai itu, untuk berbagai kursi yang diperebutkan.

Kelemahan sistem ini, yakni tidak dikenalnya calon wakil oleh pemilih direvisi oleh sistem daftar terbuka dengan pemilih mencoblos wakilnya secara langsung dari daftar nama calon selain memilih tanda gambar.

Selain itu Kelebihan Proposional Terbuka adalah :

  1. Representatif, dukungan masyarakat tercermin dalam jumlah wakil DPR;
  2. Memberi peluang bagi orang yang disegani di daerah untuk mendapat tempat di DPR;
  3. Anggota DPR akan lebih independen dan kedudukannya dalam hubungan dengan pimpinan partai dan tidak usah terlalu takut akan direcall jika berbeda pendapat dengan pimpinan partai dan pihak lain; Kedudukan yang lebih kuat dari masing-masing anggota DPR akan dapat meningkatkan kualitas DPR.

2. Sistem Distrik

Sistem DIstrik, merupakan sistem pemilihan yang paling tua didasarkan atas kesatuan geografis. Setiap kesatuan geografis mempunyai satu wakil dalam parlemen. Untuk keperluan pemilihan, negara dibagi dalam sejumlah besar distrik dan jumlah wakil rakyat dalam parlemen ditentukan oleh jumlah distrik.

Calon dalam satu distrik memperoleh suara terbanyak menag sedang suara-suara yang diberikan kepada calon lain dalam distrik itu dianggap hilang dan tidak diperhitungkan lagi, bagaimana kecil pun selisih kekalahannya.

Kelebihan Sistem Distrik :

Karena kecilnya distrik, maka wakil yang terpilih biasanya dikenal oleh penduduk distrik, sehingga hubungannya dengan penduduk lebih erat. Dengan demikian dia akan lebih terdorong untuk memperjuangkan kepentingan distrik. Kedudukan terhadap partai lebih bebas, karen adalam pemilihan semacam ini faktor kepribadian seseorang merupakan faktor yang penting;

Lebih mendorong integrasi parpol karena kursi yang diperebutkan dalam setiap distrik pemilihan hanya satu. Juga mendorong ke arah penyederhanaan partai secara ilmiah;

Sederhana dan mudah untuk diselenggarakan;

Terbatasnya jumlah partai dan meningkatnya kerjasama antar partai mempermudah terbentuknya pemerintahan yang stabil dan tercapainya stabilitas nasional.

Kekurangan Sistem Distrik :

  1. Kurang menguntungkan bagi partai kecil dan golongan minoritas;
  2. Kurang representatives, calon yang kalah dalam suatu distrik kehilangan semua suara yang mendukungnya(banyak suara yang hilang);
  3. Bisa terjadi kesenjangan antara jumlah suara yang diperoleh dari masyarakat dan jumlah kursi yang diperoleh atas parlemen, menguntungkan partai besar.

Dari gagasan-gagasan pokok di atas yang menjadi dasar keberadaan kedua sistem ini, lebih banyak memang penekanannya terletak pada perwujudan pemerintahan yang representatif dan legitimate dilihat dari sudut kepentingan menegakkan demokrasi, yaitu dirancang untuk Menerjemahkan suara yang diperoleh dalam pemilu menjadi kursi di badan-badan legislatif. Sistem tersebut mungkin bisa memberikan bobot lebih pada proposionalitas jumlah suara yang diraih dengan kursi yang dimenangkan, atau mungkin pula bisa menyalurkan suara (betapapun terpecahnya keadaan partai) ke parlemen yang terdiri dari dua kutub partai-partai besar yang mewakili sudut pandang yang berbeda;

Sistem pemilihan bertindak sebagai wahana penghubuing yang memungkinkan rakyat dapat menagih tanggung jawab atau janji wakil-wakil yang telah mereka pilih.

Adapun pengaruh sistem pemilihan terhadap kualitas kinerja parlemen terdapat pada Watak atau karakter persaingan dalam pemilu. Karakter persaingan berarti apakah ciri-ciri yang menonjol dari kompetisi dalam pemilu dilaksanakan dan berjalan, berikut implikasi dan konsekuensinya. Juga diartikan sebagai perilaku politik yang melekat pada partai-partai dan tokoh-tokoh politik.

Sistem pemilihan mempengaruhi jumlah dan ukuran relatif parpol di parlemen. Sistem pemilihan di negara yang menganut sistem dua partai berbeda dengan yang menganut multipartai. Mekanisme regulasi dalam sistem politik otoriter dan sentralistik berbeda dengan sistem demokrasi yang umumnya pembatasan dilakukan dengan memberikan prasyarat minimal. Artinya kebebasan mendirikan partai tetap dijamin sepenuhnya (dimensi substansi) tetapi disertai kondisionalitas agar kebebasan itu dapat dipertanggungjawabkan, terkontrol dan diterjemahkan dalam mekanisme politik (dimensi prosedural).

Sistem pemilihan menentukan keterpaduan internal dan disiplin masing-masing partai, sebagian sistem mungkin saja mendorong terjadinya faksionalisme, dimana beberapa sayap yang berbeda dari satu partai terus menerus bertentangan satu dengan lainnya, sementara sistem yang lain mungkin dapat memaksa partai-partai untuk bersatu suara dan menekan pembangkangan.

Sebuah sistem pemilu juga bisa mengarah pada pembentukan koalisi atau pemerintahan satu partai dengan kendala yang dihadapi partai mayoritas. Dengan kata lain, sistem pemilihan bisa mendorong atau menghalangi pembentukan alinasi diantara partai-partai, yang pada gilirannya akan mempengaruhi iklim politik yang lebih luas.

2. Evaluasi Sistem dan Upaya Menuju Peningkatan Kualitas Kinerja Legislatif

Dari uraian di atas, nampaklah bahwa pilihan atas penerapan sistem pemilihan lebih banyak didasarkan pada tercakupnya indikator akuntabilitas (accountability), keterwakilan (representativeness), keadilan (fairness), persamaan hak tiap pemilih (equality), lokalitas, relyable, serta numerikal.

Begitu juga dengan pemilihan sistem kepartaian, yaitu bagaimana menciptakan sistem kepartaian yang adil (nondiskriminatif), menunjang persaingan sehat dari pola interaksi antar parpol dalam satu sistem politik, serta menunjang format dan mekanisme kerja sistem pemerintahan.

Dilihat dari indikator yang ada, sistem pemilu yang diterapkan Indonesia saat ini lebih banyak dan memang sudah memenuhi sisi nilai demokratis suatu sistem pemilihan disamping suitable dengan kondisi keindonesiaan. Keberadaan sistem pemilihan lembaga perwakilan saat ini, di mana pengisian keanggotaannya secara keseluruhan dipilih langsung oleh rakyat, sudah cukup mencerminkan representasi kedaulatan rakyat dan rasionalisasi dari prinsip demokrasi. Modifikasi yang diadakan dalam sistem terkini sudah banyak menghilangkan kemungkinan kecendrungan sikap otoriter pelaksanaan sistem oleh penguasa.

Di sisi yang lain, selain dari prosesnya yang demokratis, nilai representasi dan legitimasi sistemyang ada harus pula dicerminkan dalam kewenangan yang sepadan. Di sisi yang satu inilah pembenahan perlu dilakukan. Keberadaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), sebagai kamar baru dari lembaga perwakilan saat ini, belum mencerminkan kesepadanan kewenangan sebagaimana ia dipilih melalui proses yang sama dengan anggota lembaga perwakilan yang lain.

Disorientasilah yang terjadi sebenarnya pada kewenangan lembaga ini oleh pembentuknya. Dikatakan disorientasi, karena memang kalau kita telusuri dengan seksama, pemikiran tentang keberadaan semacam DPD, sebagai representasi nilai lokalitas/geografis dalam lembaga perwakilan yang dipilih langsung, adalah evaluasi atas keberadaan utusan golongan/daerah yang pengisiannya melalui penunjukkan.

Dilihat dari keberadaanya, sebagaimana keberadaan utusan daerah/golongan pada Orde Baru, bukan didasarkan pada logika normatif tentang peletakkan otonomi di tingkat daerah, melainkan semata-mata hanya memenuhi kebutuhan demokratisasi prosedural yang menganggap bahwa persoalan pemilihan anggota DPD melalui Pemilu sudah sangat mencukupi untuk mengakomodasi kebutuhan konsolidasi sistem demokrasi pasca reformasi serta keberadaan DPD merupakan sebuah modus kompromi dari Utusan Daerah di MPR yang kontroversial.

Sehingga kewenangan DPD saat ini yang tidak seimbang, hanya terkait pengajuan usul, ikut dalam pembahasan dan memberikan peretimbangan yang berkaitan dengan bidang legislasi tertentu, bertentangan dengan kenyataan anggota DPD adalah mereka yang dipilih langsung oleh rakyat daerah, yang dapat berarti memiliki legitimasi keterwakilan lebih kuat dibanding rekan-rekannya anggota DPR.

Sedangkan jika dilihat dari indikator kualitas kinerja lembaga perwakilan secara umum, sebagai produknya, seperti telah dibahas dalam pembahasan sebelumnya, dalam beberapa aspek lebih banyak disandarkan pada prosedur-prosedur pendukung dari pilihan sistem yang digunakan.

Secara sederhana kualitas dari produk tersebut sebanding dengan pertama, kemampuan Lembaga perwakilan dalam mengemban fungsi wakil rakyat yang terdiri dari pemahaman terhadap permasalahan, perancangan, dan pemutusan solusi masalah, serta manuver politik untuk memperjuangkan solusi masalah yang dipandang memenuhi kepentingan rakyat banyak. Dan yang kedua, lingkungan strategis anggota yang terdiri dari tatanan nilai dan kepentingan rakyat banyak, negara yang diwakili oleh penguasa dan pemerintah, organisasi peserta pemilu atau golongan asal anggota, dan pribadi anggota itu sendiri. Ketepatan peran anggota ditentukan oleh keberhasilannya bersikap dan bertindak berdasarkan kombinasi ketiga kemampuan itu dengan imbangan keberpihakannya kepada rakyat banyak dan negara.

Langkah strategis yang dapat dilakukan untuk mengatasi lemahnya kualitas kinerja lembaga perwakilan diantaranya ialah Secara internal perlu adanya penguatan kapasitas kelembagaan dan individu anggota lembaga perwakilan. Hasil identifikasi yang dilakukan oleh Program S2 Politik Lokal dan Otonomi Daerah 2005, memberikan gambaran kelemahan-kelemahan mendasar yang dimiliki oleh partai politik baik secara kelembagaan maupun individual.

Asumsinya kelemahan kelembagaan partai politik dan individu politisi akan berpengaruh terhadap lambannya kinerja DPR sebagai lembaga perwakilan. Lebih lanjut, jika lembaga DPR yang anggotanya berasal dari partai politik dengan kelembagaan yang relatif kuat dan individu politisi relatif berpengalaman saja masih memiliki kelemahan-kelemahan dalam menjalankan fungsinya, tentulah demikian juga yang terjadi dengan DPD.

3. Mencari mekanisme yang tepat untuk meningkatkan kualitas parlemen dalam perubahan sistem politik

Upaya penguatan partai politik secara kelembagaan maupun individu ini, dilakukan dengan melakukan pembenahan terhadap 3 sisi partai politik, yakni dalam :

a. Partai dalam Partai yang kemudian melahirkan pembenahan Organisasi dan Manajemen Kepartaian;

b. Partai dalam Pemilu yang melahirkan pembenahan dalam manajemen pemilu dan perilaku pemilih;

c. Partai dalam Parlemen yang memunculkan gagaan perlunya pembenahan dalam Manajemen Fungsi Partai dan Lembaga Perwakilan. Sebagai contoh bisa dilakukan melalui program pendidikan dan pelatihan tugas dan fungsi legislatif secara sistematis dan terkendali.

Partai politik sebagai pengusul seorang anggota legislatif sudah sepatutnya mempunyai kriteria yang jelas, terukur serta transparan dalam penentuan calon anggota legislatif.

Kriteria seorang calon dalam menjadi caleg dan peringkat kesekian di dalam daftar caleg pun perlu dilakukan berdasarkan kriteria yang jelas, terukur serta transparan ini penting bagi pengikut parpol tersebut, dan menghindari kemungkinan terjadinya nepotisme dan kolusi antar pengurus parpol dan anggotanya.

KESIMPULAN

Pada dasarnya jika kita bicara tentang kualitas parlemen lebih banyak ditentukan oleh mekanisme-mekanisme pendukung sistem kepartaian dan sistem pemilihan. Adapun pilihan atas penerapan sistem pemilihan lebih banyak didasarkan pada tercakupnya indikator akuntabilitas (accountability), keterwakilan (representativeness), keadilan (fairness), persamaan hak tiap pemilih (equality), lokalitas, relyable, serta numerikal. Begitu juga dengan pemilihan sistem kepartaian, pilihan atas penerapan sistem kepartaian lebih banyak pada bagaimana menciptakan sistem kepartaian yang adil (nondiskriminatif), menunjang persaingan sehat dari pola interaksi antar parpol dalam satu sistem politik, serta menunjang format dan mekanisme kerja sistem pemerintahan.

Di sisi yang lain, selain dari prosesnya yang demokratis, nilai representasi dan legitimasi sistem yang ada harus pula dicerminkan dalam kewenangan yang sepadan. Di sisi yang satu inilah pembenahan perlu dilakukan. Keberadaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), sebagai kamar baru dari lembaga perwakilan saat ini, belum mencerminkan kesepadanan kewenangan sebagaimana ia dipilih melalui proses yang sama dengan anggota lembaga perwakilan yang lain.

Dilihat dari indikator yang ada, sistem pemilu yang diterapkan Indonesia saat ini lebih banyak memang sudah memenuhi sisi nilai demokratis suatu sistem pemilihan disamping suitable dengan kondisi keindonesiaan. Keberadaan sistem pemilihan lembaga perwakilan saat ini, di mana pengisian keanggotaannya secara keseluruhan dipilih langsung oleh rakyat, sudah cukup mencerminkan representasi kedaulatan rakyat dan rasionalisasi dari prinsip demokrasi.

Modifikasi yang diadakan dalam sistem terkini sudah banyak menghilangkan kemungkinan kecendrungan sikap otoriter pelaksanaan sistem oleh penguasa.Yang perlu dibenahi adalah keseimbangan kewenangan pada Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Keberadaan DPD, sebagai kamar baru dari lembaga perwakilan saat ini, belum mencerminkan kesepadanan kewenangan sebagaimana ia dipilih melalui proses yang sama dengan anggota lembaga perwakilan yang lain.

DAFTAR PUSTAKA

Andi Sandi ATT, Tanggung Jawab Parpol dalam Optimalisasi Fungsi DPRD Menuju Pelaksanaan Otonomi Daerah, Mimbar Hukum, No.________, hlm. 16-21,

Arbi Sanit, Partai, Pemilu dan Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1997

Budiarjo, Miriam. 1997. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia.

Farchan Bulkin, Analisa Kekuatan Politik di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1998

http//www.google.com// Hubungan antara Sistem Pemilu dan Sistem Kepartaian.

Joko J. Prihatmoko, Pemilu 2004 dan Konsolidasi Demokrasi, LP2I Press, Semarang, 2003

Riswandha Imawan, Partai Politik, Hand Out Mata Kuliah, Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM, 2005

Rodee, Carlton Climer, Carl Cumby Christof, Totton James Anderson, Tomas H.Greene.1988. Pengantar ilmu Politik. Jakarta: Rajawali.

Subakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia widiasarana Indonesia

MAKALAH Sistem Pemerintahan RI

BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Perjalanan sejarah partai-partai di Indonesia sebenarnya sudah cukup lama jika dibandingkan sejarah bangsa Indonesia. Partai-partai di Indonesia mulai berdiri hampir bersamaan dengan kemerdekaan Indonesia, yaitu mulai muncul sejak dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden 3 November 1945 yang mengimbau agar bangsa Indonesia mendirikan partai-partai dalam rangka menyongsong pemilihan umum (baik untuk parlemen/KNIP maupun Badan Konstituante) yang direncanakan akan segera dilaksanakan.
Sejarah mencatat bahwa rencana tersebut baru dapat terlaksana tujuh tahun kemudian, tahun 1955, ketika bangsa Indonesia pertama kali melaksanakan pemilihan umum anggota DPR yang menghasilkan adanya 27 partai yang memperoleh kursi di parlemen dari 36 partai yang mengikuti pemilihann umum. Empat partai besar secara berturut-turut memenangkan kursi: Partai Nasional Indonesia (57 kursi/22,3%), Masyumi (57 kursi/20,9%), Nahdlatul Ulama (45 kursi/18,4%), dan Partai Komunis Indonesia (39 kursi/15,4%) (Kevin Raymond Evans, 2003: 14).
Sejarah partai politik Indonesia mencatat bahwa inilah satu-satunya pemilu (yang dapat dilaksanakan dalam kurun waktu kurang lebih 20 tahun masa Orde Lama) yang dapat dipergunakan untuk mengukur kekuatan partai-partai politik masa Orde Lama. Sampai dengan berakhirnya Orde Lama pada pertengahan dekade 1960-an, tidak ada lagi pemilihan umum yang dapat dipergunakan untuk mengukur distribusi kekuatan antarpartai secara nasional. Hal ini perlu ditekankan karena di luar pemilu secara nasional tersebut, terdapat beberapa kali pemilu daerah dan lokal yang pernah dilaksanakan di Indonesia pada masa Orde Lama, yaitu pemilu 1957 (untuk wilayah Jawa dan Sumatera Bagian Selatan), pemilu 1958 (untuk wilayah Kalimantan), 1948 (pemilu lokal Yogyakarta), 1951 (pemilu lokal Minahasa dan Sangihe Talaud), 1952 (pemilu lokal Makassar), 1961 (pemilu lokal Papua yang waktu itu masih di bawah kekuasaan Belanda). Bagaimana perkembangan sistem kepartaian di Indonesia, apakah menunjukkan kecenderungan semakin matang atau sebaliknya, justru semakin mundur?
Tulisan berikut akan memberikan analisis perkembangan sistem kepartaian di Indonesia dengan mengkaji tiga variabel, yaitu jumlah partai politik, distribusi kekuatan antarpartai politik (dengan membandingkan kursi yang dimenangkan dalam pemilu) dan integrasi sistim kepartaian (dengan menganalisis jarak ideologi antarpartai politik). Dan lebih lanjut juga akan memberikan gambaran bagaimana pelaksanaan pemilu selama 64 tahun kemerdekaan Indonesia.

2. Tujuan

a. Mendeskripsikan perkembangan sistem kepartaian Indonesia
b. Mendeskripsikan pelaksanaan dan perkembangan pemilu di Indonesia

3. Rumusan Masalah

Bagaimana Sistem Kepartaian dan Pemilu ?
Bagaimana Perkembangan Sistem Kepartaian Indonesia ?
c. Bagaimana Sejarah Pelaksanaan Pemilu di Indonesia?

4. Kerangka Teoritis dan Konseptual

a. Teori Sistem Politik dan Negara

Sistem Politik adalah sebagai serangkaian proses yang terdiri dari banyak bagian-bagian, saling berkaitan yang menjalankan alokasi nilai-nilai (berupa kebijakan-kebijakan atau keputusan) yang alokasinya bersifat otoritatif (dikuatkan oleh kekuasaan yang sah sah) dan mengikat masyarakat.
Teori ini mulai mencuat pada awal 1950-an. Tiga penulis terkenal dalam mengembangkan teori ini adalah : David Easton, dalam bukunya yang berjudul “The Politic System”, konsep yang ditawarkan seperti : konsep input / output, tuntutan (demands) dan dukungan (support), serta umpan balik (feedback).
Tokoh yang kedua adalah Gabriel Almond. Awalnya Almod menawarkan suatu klasifikasi sederhana tentang sistem – sistem politik (“Journal of Politics”), yang mencakup sistem politik di luar dunia Barat, negara – negara yang baru merdeka. Tokoh yang ketiga : Karl Deutsch, dengan karyanya “Nerves of Government“

b. Teori Partai Politik

Sebagai bagian dari sebuah kelembagaan dalam konteks negara demokratis, partai politik memiliki posisi (Status) dan peranan (Role) yang begitu sentral dalam menghubungkan pandangan-pandangan umum yang timbul dalam masyarakat dengan pemerintah. Seorang tokoh yaitu Schattscheider berpendapat mengenai peranan partai politik yang memiliki peran dalam pembentukan corak demokrasi dalam suatu negara, ia menyatakan “Political parties created democracy”.
Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 pengertian partai politik seperti yang telah disebutkan di atas adalah sebuah lembaga nasional yang diidentifikasikan sebagai lembaga yang mengedepankan kepentingan politik anggota-anggotanya.
Fungsi partai politik dibedakan kepada tiga keadaan yang berbeda, yaitu di negara demokratis (dalam hal ini lebih cenderung kepada negara maju), negara otoriter, dan negara berkembang. Adapun fungsi partai politik dalam negara demokratis sangat kentara dan bekerja sebagai layaknya sebuah partai politik, pada negara berkembang tujuan dan fungsi partai politik hampir serupa dengan negara demokratis, namun ada beberapa permasalahan sosial kemasyarakatan yang menghambat efektifitas kinerjanya, adapun pada negara otoriter partai politiktergantung apakah partai politik tersebut berkuasa atau tidak, apabila partai politik tersebut berkuasa maka secara otomatis dia akan mudah menrealisasikan tujuannya namun berbeda apabila partai tersebut tidak berkuasa maka fungsinya tidak bisa berjalan untuk kepentingan umum, partai komunis yang berkuasa bertujuan untuk mencapai kekuasaan yang dijadikan batu loncatan untuk menguasai semua partai politik yang ada dan menghancurkan sistem politik yang demokratis.
Selanjutnya Kay Lawson mengemukakan bahwa partai politik memiliki klasifikasi yang antara lain sistem partai tunggal, sistem dua partai, dan sistem multi partai. Sistem multipartai adalah format sistem yang umum di beberapa negara di dunia yang berdasarkan sistem perwakilan proporsional, dalam tipe ini proporsi jumlah kursi di dewan perwakilan tergantung jumlah proporsi suara yang diterima pada pemilihan, dan apabila dalam pemilihan tidak ada satu partai pun yang memenangkan suara mayoritas, maka konsekwensinya adalah pembentukan pemerintahan koalisi. Sedangkan dalam sistem dua-partai tunggal kontrol pemerintahan hanya berkutata dengan dua partai tersebut saja. Adapun yang terakhir adalah sistem partai tunggal yang pada umumnya terdapat dalam sistem negara komunis, dalam sistem ini tidak ada kompetisi dan perbedaan pandangan dengan partai politik yang lain.

c. Pemilu

Pemilihan Umum (Pemilu) adalah proses pemilihan orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan tersebut beraneka-ragam, mulai dari presiden, wakil rakyat di berbagai tingkat pemerintahan, sampai kepala desa. Pada konteks yang lebih luas, Pemilu dapat juga berarti proses mengisi jabatan-jabatan seperti ketua OSIS atau ketua kelas, walaupun untuk ini kata 'pemilihan' lebih sering digunakan.
Dalam Pemilu, para pemilih dalam Pemilu juga disebut konstituen, dan kepada merekalah para peserta Pemilu menawarkan janji-janji dan program-programnya pada masa kampanye. Kampanye dilakukan selama waktu yang telah ditentukan, menjelang hari pemungutan suara.
Setelah pemungutan suara dilakukan, proses penghitungan dimulai. Pemenang Pemilu ditentukan oleh aturan main atau sistem penentuan pemenang yang sebelumnya telah ditetapkan dan disetujui oleh para peserta, dan disosialisasikan ke para pemilih.
Pemilihan umum (Pemilu) merupakan sarana untuk mewujudkan asas kedaulatan di tangan rakyat sehingga pada akhirnya akan tercipta suatu hubungan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. (berkaitan dengan istilah “demokrasi”)

d. Demokrasi

Secara etimologi demokrasi adalah gabungan dua kata yaitu Demos (Masyarakat) dan Kratos (Memerintah). Sedangkan secara terminologi Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan yang kekuasaannya berada di tangan rakyat, namunpengertian yang sederhana tersebut pada kelanjutannya akan berkembang sesuai dengan konfigurasi politik yang terus berkembang seperti halnya pada abad ke 19 yang melahirkan paham demokrasi konstitusional yang kemudian berkembang menjadi negara hukum dan kesejahteraan welfare state. Pada tatran negara demokratis modern, Henry B. Mayo mendefinisikan bahwa:
“sistem pemerintahan yang demokratis ialah dimana kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik.”

5. Metode Pengumpulan Data

Studi literatur / pustaka :
a. Buku – buku yang terkait
b. Berbagai sumber dari situs internet

BAB II
PEMBAHASAN MASALAH

1. Sistem Kepartaian dan Sistem Pemilu

Dari beberapa hasil studi menyimpulkan bahwa hampir semua negara di dunia ini memiliki partai. Tak terkecuali negara-negara yang tergolong, sebagai negara berkembang. Partai telah diyakini sebagai komponen penting dalam sistem pemerintahan buat membangun sistem politik yang demokratis. Dengan adanya politik partai diharapkan semua aspirasi rakyat yang heterogen dapat terakomodasi secara proporsional lewat pemilu. Melalui hasil pemilu roda pemerintahan dijalankan untuk mencapai negara sejahtera (welfare state) seperti yang dicita-citakan. Tetapi dalam banyak kasus terutama di negara berkembang keberadaan partai justru telah menimbulkan pemerintahan yang tidak efektif, inefisien, bahkan tidak jarang menimbulkan chaos. Lain halnya di negara maju (developed countries) sistem kepartaian di negara ini sudah mapan, terdiri dari dua partai, seperti USA dan Kanada atau beberapa partai seperti, Italia dan Perancis. Di Indonesia sistem kepartaian mempunyai sejarah yang cukup panjang. Pada era pasca revolusi sistem kepartaian mengalami masa boom partai. Tetapi banyaknya partai justru menjadikan instabilitas di semua sektor. Reformasi partai politik dimulai pada masa Orde Baru dengan melakukan fusi dari multi partai menjadi beberapa partai dan mengurangi kekuatan partai dengan floating mass dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 3 Tahun 1975. Sedangkan pada tahun 1999 terdapat 48 partai politik yang berhak mengikuti pemilihan umum.

Pemilu dengan partai politik merupakan dua konsep yang tidak bisa dipisahkan. Pemilu membutuhkan partai politik sebagai kontestannya. Sedangkan partai politik membutuhkan pemilu sebagai sarana memilih wakil-wakilnya yang akan duduk dalam legislatif maupun kabinet. Meskipun partai politik sudah ada sejak sebelum kemerdekaan tetapi pemilu di Indonesia baru dilaksanakan pada tahun 1955. Pada masa itu digunakan sistem multi partai dan sistem perwakilan berimbang atau proporsional. Dalam prakteknya sistem ini justru menimbulkan distorsi dan friksi. Terbukti dari tidak bertahan lamanya kabinet yang dibentuk dan sering terjadi konflik. Kondisi ini menjadikan pemerintah pada waktu itu tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Setelah dilakukan reformasi dan dilaksanakannya Pemilu 1971 fungsi pemerintah berjalan normal. Barometer kesuksesan pelaksanaan Pemilu 1971 dipakai acuan untuk Pemilu selanjutnya.

Fungsi Partai Politk
Partai politik umumnya dianggap sebagai manifestasi dari sistem politik yang sudah modern atau yang dalam proses modernisasi diri. Sebagai sistem politik, partai politik mempunyai fungsi yang sangat strategis dalam mewujudkan dasar ideologi bahwa rakyat berhak turut menentukan calom pemimpin yang nantinya menentukan kebijakan umum (publik policy). Dalam berbagai literatur partai politik mempunyai fungsi sebagai sarana komunikasi politik (instrumentof political comunication), sosialisasi politik (instrument of political socialization) rekrutmen politik (selection of leadership), dan pengatur konflik (conflict management). Namun fungsi ini akan bergeser makna tergantung pada sistem ideologi politik yang melatarbelakangi rejim yang berkuasa, seperti fungsi partai politik di negara tirani akan berbeda makna dengan fungsi partai politik di negara sosial atau kapitalis.

Arti dan Fungsi Partai Politik di Indonesia
Secara teoritis pengertian partai politik di mana pun sama. Namun dalam prakteknya sering terjadi distorsi karena pengaruh berbagai hal. Di Indonesia misalnya, arti dan fungsi partai politik sedikit bergeser makna. Partai politik bukannya berfungsi sebagai sarana penghubung rakyat dengan pemerintah tetapi sebagai sarana berkonflik dengan pemerintah. Di Indonesia setiap terjadi perubahan pemerintah terjadi perbedaan interpretasi terhadap partai politik.
Hal ini lantaran setiap pemerintahan membawa visi, misi dan tujuan yang tidak selalu sama. Karena perbedaan itu sejarah perkembangan partai politik di negara kita dapat dikategorikan menjadi periode masa revolusi atau pada masa pemerintahan kolonial, periode Demokrasi Liberal, periode Demokrasi Terpimpin dan periode Demokrasi Pancasila
Pengertian Pemilu
Pemilihan umum merupakan manifestasi kongkret dari kedaulatan rakyat. Dalam pemilihan umum rakyat memilih wakil-wakil dalam parlemen untuk kemudian diharapkan dapat memperjuangkan aspirasinya. Pada pemerintahan kota Yunani Kuno pernah dilakukan demokrasi langsung. Artinya hak untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas. Sifat langsung ini dapat terselenggara barangkali karena sederhana. Pasca perang dunia II atau dalam negara modern sekarang ini akan sulit jika dilakukan pemilihan secara langsung karena masalah ruang, waktu dan biaya. Maka banyak negara yang menganut paham demokrasi dalam pelaksanaan pemilu memilih menggunakan sistem perwakilan (representative democracy). Setiap sistem pemilihan masing-masing mempunyai kekurangan dan kelebihan. Tetapi keduanya akan berjalan lebih efektif dan demokratis jika diselenggarakan secara Luber dan Jurdil.
Pelaksanaan pemilu sebagai wujud dari kedaulatan rakyat merupakan salah satu pesta demokrasi yang melelahkan. Betapa tidak, pelaksanaan pemilu melibatkan kurang dari 12 kegiatan. Maka tak pelak jika penyelenggaraan pemilu pada umumnya dilakukan dalam kurun waktu tertentu. Seperti di Indonesia misalnya, pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Sebagai wujud konkret kedaulatan rakyat maka pelaksanaan pemilu terus diupayakan kesempurnaan dalam penyelenggaraan. Kesempurnaan dalam kaitan ini akan menentukan kualitas pemilu itu sendiri. Dan hal ini pada gilirannya akan memberikan citra yang lebih baik terhadap pelaksanaan demokrasi seperti yang dicita-citakan. Salah satu instrumen untuk meningkatkan kualitas pemilu adalah pelaksanaan asas LUBER dan JURDIL yaitu kepanjangan akronim Langsung, Umum, Bebas, Rahasia dan Jujur dan Adil.
Macam-macam Sistem Pemilu
Pemilihan umum sering dikatakan sebagai ujung tombak pelaksanaan sistem demokrasi. Hal ini lantaran dalam pemilihan umum setiap warga dapat mengapresiasikan hak suaranya untuk memilih wakil yang dipercayai mewakili lembaga legislatif. Dalam ilmu politik ada dua prinsip utama pelaksanaan sistem pemilihan umum, yakni pemilihan umum menggunakan sistem distrik dan proporsional atau sistem perwakilan berimbang. Pada sistem distrik jumlah wakil rakyat dalam DPR ditentukan berdasarkan jumlah distrik. Setiap distrik mempunyai satu wakil dari masing-masing parpol kontestan pemilu. Sedangkan pada sistem perwakilan berimbang suatu negara dipecah-pecah ke dalam suatu daerah pemilihan. Setiap daerah memilih sejumlah wakil sesuai dengan jumlah penduduk yang ada dalam daerah pemilihan tersebut. Jumlah wakil yang akan duduk di DPR tergantung dari perolehan suara hasil pemilu. Baik sistem distrik maupun proporsional keduanya mempunyai kelebihan dan kekurangan.


2. Perkembangan Sistem Kepartaian Indonesia

Dalam perkembangan dan sejarahnya, pada pelaksanaan pemilu di Indonesia tahun 1955 (pemilu untuk memilih anggota parlemen/KNIP dan Badan Konstituante) diikuti oleh 36 partai politik. Dari 36 partai yang bersaing, terdapat sepuluh partai yang memperoleh suara lebih dari 1 (satu) persen, yaitu (berturut-turut nama partai, perolehan kursi dan persen suara): Partai Nasional Indonesia (57/22,3%), Majlis Syuro Muslimin Indonesia/Masyumi (57/20,3%), Nahdlatul Ulama/U (45/18,4%), Partai Komunis Indonesia/PKI (39/15,4%), Partai Syarikat Islam Indonesia/PSII (8/2,9%), Partai Kristen Indonesia/Parkindo (8/2,6%), Partai katholik/Parkat (6/2,0%), Partai Sosialis Indonesia/PSI (5/2,0%), Ikatan Perintis Kemerdekaan Indonesia/IPKI (4/1,4%), dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah/Perti (4/1,3%).
Meski sistem kepartaiannya sangat plural, distribusi kekuatan antarpartai menunjukkan bahwa empat partai terbesar merupakan mayoritas dengan mengumpulkan total suara 77%. Pemilihan Umum tahun 1971 yang diikuti sepuluh partai menghasilkan distribusi kekuatan antarpartai sebagai berikut: kelompok-kelompok partai nasionalis memperoleh suara sekitar 10%, kelompok partai-partai agama (NU, PPP, dan Parmusi) sekitar 25% dan Golongan Karya sekitar 65%. Dominasi Golongan Karya terjadi pada keseluruhan pemilu masa Orde Baru (yaitu Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997). Angka-angka perbandingan ini hampir tidak mengalami perubahan berarti selama masa Orde Baru. Meski demikian perlu digarisbawahi bahwa dominasi Golongan Karya yang luar biasa terjadi pada Pemilu 1987 dan 1997 ketika Golongan Karya memperoleh suara sekitar 75%. Pada Pemilu 1987, PPP mengalami penurunan suara yang drastis, sementara pada Pemilu 1997 gantian PDI yang mengalami penurunan suara sangat signifikan sebagai buntut perpecahan internal yang menyebabkan terjadinya penyerangan kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta.
Pada masa reformasi, distribusi kekuatan antarpartai mengalami fluktuasi. Pemilu 1999 menghasilkan 6 partai yang memperoleh kursi DPR (dari 48 partai yang bertarung dalam pemilu) dengan komposisi kursi sebagai berikut: PDI-P (153), Partai Golkar (120), PPP (58), PKB (51), PAN (41), dan PBB (13). Pemilu 2004 yang diikuti partai yang lebih sedikit dibanding pemilu 1999 (hanya 24 partai) justru menghasilkan distribusi kekuatan antarpartai yang jauh lebih bervariasi. Berturut-turut jumlah kursi yang dimenangkan adalah Partai Golkar (133), PDI-P (108), PPP (57), Partai Demokrat (57), PKB (53), PAN (49), PKS (45), PBR (13), PBB (11), PDS (10), PKPI (3), Partai Merdeka (2), PKPB (2), PPDK (2), PPIB (1), PPDI (1). Dengan demikian, dari 24 partai yang mengikuti Pemilu 2004, terdapat 16 partai yang memperoleh kursi DPR; tetapi dari 16 partai yang memperoleh kursi DPR tersebut hanya sepuluh partai yang memperoleh sepuluh kursi atau lebih, dan hanya tujuh partai yang memperoleh kursi lebih dari lima persen.
Meski perhitungan perolehan kursi DPR belum selesai dilakukan oleh KPU, tapi dari hasil perhitungan cepat (quick count) oleh beberapa lembaga survei menunjukkan hasil sementara (yang biasanya tidak akan jauh beda dengan hasil sesungguhnya) sepuluh besar partai di Indonesia kurang lebih sebagai berikut: Partai Demokrat (20,1%), Partai Golkar (14,2%), PDI-P (14%), PKS (8,2%), PAN (6,3%), PPP (5%), PKB (5%), Partai Hanura (4%), Gerindra (3%), PBR (1,3%). Hasil Pemilu 2004 dan 2009 menunjukkan meski perolehan suara sepuluh besar partai di Indonesia berubah-ubah (kecuali PKS dan PAN yang relatif stabil), tetapi dari puluhan partai yang ikut pemilu memang hanya sepuluh partai yang bisa memperoleh kursi atau suara lebih dari 1%.
Hasil-hasil ini kurang lebih mengulang hasil Pemilu 1955. Perbandingan hasil berbagai pemilu di Indonesia dari masa Orde lama, Orde Baru dan Reformasi menunjukkan bahwa sebenarnya memang maksimal hanya sepuluh partai saja yang secara konsisten dapat memperoleh dukungan masyarakat. Distribusi perolehan suara antarpemilu juga menunjukkan bahwa distribusi kekuatan suara antarpartai semakin merata. Jika Pemilu 1955 menghasilkan perolehan suara empat partai terbesar adalah 77%, tahun 2004 empat partai terbesar hanya memperoleh sekitar 60%, dan tahun 2009 hanya sekitar 57%.
Jelas bahwa meski jumlah partai yang mampu memperoleh suara signifikan konsisten pada angka sekitar 10 partai, tetapi distribusi kekuatan antarpartai semakin merata. Hal ini tentu terkait dengan potensi integrasi sistem kepartaiannya.Integrasi: Semakin Dekat atau Semakin Jauh?
Ukuran integrasi sistem kepartaian adalah jarak ideologis partai-partai yang membentuk sistem kepartaian. Berbeda dengan Pemilu 1955 yang menunjukkan adanya jarak ideolois yang esktrem (antara PKI yang di ujung kiri spektrum ideologi dan Masyumi yang di ujung kanan), maka pemilu masa reformasi menunjukkan jarak ideologi antarpartai yang semakin dekat.
Meski terdapat partai-partai yang dapat dikategorikan sebagai “partai kiri”, yaitu Partai Buruh dan Partai Rakyat Demokratik, tetapi kedua partai ini tidak mendapat dukungan masyarakat. Sementara itu partai-partai agama (terutama partai-partai Islam) mengalami degradasi suara sangat drastis, dari lebih dari 40% pada Pemilu 1955 menjadi hanya sekitar sekitar 20% pada masa reformasi. Data tentang perolehan suara ini juga konsisten dengan dua kenyataan: tidak ada lagi partai yang mempersoalkan Piagam Jakarta dan hampir tidak ada lagi yang menjadikan isu agama sebagai isu utama kampanye pemilu. Isu yang pada umumnya diusung adalah masalah moral.
Jelas bahwa partai-partai di Indonesia semakin bergerak ke tengah dalam spektrum ideologi. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa preferensi pemilih juga semakin bergerak ke tengah. Dari sisi ideologi dan potensinya untuk memunculkan konflik berbasis ideologi, pergerakan ideologi partai dan preterensi pemilih yang semakin ke tengah ini semakin memperkecil potensi konflik. Meski demikian, hal ini sangat ironis dengan perkembangan jumlah partai yang semakin banyak. Semestinya semakin sederhana spektrum ideologi partai maka tentunya jumlah partai yang bersaing juga semakin sedikit karena tidak ada beda antara partai satu dengan partai lainnya. Jelas bahwa semakin banyaknya jumlah partai di Indonesia tidak memiliki landasan teoritik ideologis yang jelas. Tidak jelas apa yang sedang diperjuangkan oleh partai-partai yang memiliki ideologi yang sama.
Indonesia beruntung tidak memiliki partai-partai nasional yang berbasis ideologi kesukuan dan kedaerahan (kecuali partai lokal di Aceh) sehingga tidak memiliki ancaman konflik atas dasar perbedaan ideologi kesukuan dan kedaerahan.India yang merupakan negara demokrasi terbesar di dunia dan Malaysia memiliki ancaman ini karena memiliki partai-partai yang jelas dipengaruhi ideologi kesukuan dan kedaerahan ini. Semestinya kelebihan ini ditambah dengan semakin dekatnya jarak ideologi partai-partai dapat mendorong munculnya sistim kepartaian yang semakin sederhana dan ramping. Hal ini bukan hanya akan membuat partai-partai yang seideologi semakin kuat (karena menghimpun kekuatan), tetapi juga tidak membingungkan pemilih dalam pemilu dan akan membuat pemilu semakin murah (bayangkan jumlah biaya yang dapat dihemat untuk verifikasi partai saja dan jumlah kertas yang dapat dihemat untuk mencetak kartu suara). Ironisnya, ketika masyarakat Indonesia semkain terdidik (dengan semakin besarnya persentase warga masyarakat yang dapat lulus pendidikan yang lebih tinggi), para politisi justru terlihat “semakin bodoh” dengan membabi buta mendirikan partai meski tidak laku di masyarakat. Apakah kita harus terus menerus menanggung harga dari perbuatan para petualang politik ini? Marilah secara konsisten kita memberi pelajaran kepada para politisi dengan secara terus-menerus hanya memilih partai yang jelas dasar keberadaannya, yang bukan sekedar “bertualang”. Membangun demokrasi memang perlu waktu lama, jangan sampai kita patah arang di tengah jalan.


Zaman Penjajahan Belanda
Pada zaman penjajahan Belanda, partai – partai politik tidak dapat hidup tenteram. Tiap partai yang bersuara menentang atau bergerak tegas, akan segera dilarang, pemimpinnya ditangkap dan dipenjarakan atau diasingkan. Partai politik yang pertama lahir di Indonesia adalah Indische Partij yang didirikan pada tanggal 25 Desember 1912 di Bandung dan dipimpin oleh Tiga Serangkai, yaitu Dr. Setiabudi, Dr. Cipto Mangunkusumo, dan Ki Hadjar Dewantara. Tujuan partai itu adalah Indonesia lepas dari Belanda. Partai itu hanya berusia 8 bulan karena ketiga pemimpin masing – masing dibuang ke Kupang, Banda, dan Bangka, kemudian diasingkan ke Belanda.

Zaman Penjajahan Jepang
Pemerintahan militer Jepang mula – mula melarang dan membubarkan partai – partai politik yang telah ada. Namun kemudian disetujui berdirinya partai politik yang bernama Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA) di bawah pimpinan “ Empat Serangkai “, yaitu Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Ki Hadjar Dewantara, K.H Mansyur. Atas perintah pemerintah Jepang partai ini kemudian dibubarkan pada bulan Maret 1944

Zaman Kemerdekaan Indonesia (Orde Lama)
Setelah Proklamasi Kemerdekaan dipertimbangkan semula untuk memusatkan tenaga perjuangan rakyat hany dalam satu partai saja. Pertimbangan itu kemudian dilepaskan pada tanggal 3 November 1945. Pemerintah RI mengeluarkan suatu maklumat yang antara lain menyatakan bahwa pemerintah menginginkan timbulnya partai politik, karena dengan adanya partai – partai itulah rakyat dapat dipimpin secara teratur.
Menurut maklumat itu tugas partai – partai terutama ialah untuk menyalurkan aliran yang tumbuh dan hidup didalam masyarakat, sehingga dapat mempermudah pelaksanaan pemilu. Bedasarkan maklumat pemerintah tanggal 3 November 1945 timbulah partai – partai politik di Indonesia laksana jamur di waktu hujan. Pemilihan umum yang diadakan tahun 1955 diikuti oleh 28 partai politik dan organisasi politik.Banyaknya partai politik dalam sistem pemerintahan parlementer telah mengakibatkan tidak stabilnya pemerintah, kabinet silih berganti dalam waktu yang relatif singkat. Banyak di antara partai – partai tersebut kemudian dilarang atau ditolak pengakuannya oleh pemerintah. Adapun partai – partia yang diakui oleh pemerintah Indonesia dan yang ada pada saat pemilihan umum tahun 1971 adalah sebagai berikut :
a) Partai Nasional Indonesia (PNI)b) Nahdatul Ulama (NU)c) Partai Katolikd) Partai Indonesia (PARTINDO)e) Partai Murbaf) Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII)g) Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI)h) Partai Kristen Indonesia (PARKINDO)i) Partai Islam Perti (Persatuan Tarbiah Islamiyah)j) Partai Muslim Indonesia (PARMUSI)

Zaman Orde Baru
Pada tanggal 5 Januari 1973 NU, PARMUSI, PSII, dan PERTI telah memfungsikan politiknya dalam satu partai politik yang bernama Partai Persatuan Pembangunan (PPP). PNI, IPKI, Murba, Parkindo, dan Partai Katolik pada tanggal 10 Januari 1973 telah berfusi dalam satu wadah yang bernama Partai Demokrasi (PDI)Maka sesuai dengan Tap MPR No VIII / 1973 , pemilihan umum yang diselenggarakan selambat – lambatnya akhir tahun 1977 akan dikuti oleh 2 golongan politik PPP dan PDI dan ditambah 1 Golongan Karya (GOLKAR) yang dibentuk sejak tahun 1971.
Dua partai politik dan golongan karya sebagai kesatuan politik pada masa Orde Baru yang mengikuti pemilu pada tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 yang didasarkan pada UU No. 3 Tahun 1975 yang diganti dengan UU Tahun 1985. Dengan runtuhnya rezim Orde Baru yang ditanda tangani dengan pengunduran diri Presiden Soeharto 21 Mei 1998 yang karena diduga melakukan banyaknya Kolusi, Korupsi, Nepotisme (KKN).

Zaman Reformasi
Perubahan yang menonjol adalah besarnya peran partai politik dalam pemerintah, keberadaan partai politik sangat erat dengan kiprah para elit politik, mengerahkan massa politik, dan kian mengkristalnya kompetisi memperebutkan sumber daya politik.
Hakikat reformasi di Indonesia adalah terampilnya partisipasi penuh kekuatan – kekuatan masyarakat yang disalurkan melalui partai – partai politik sebagai pilar demokrasi. Oleh karena itu tidak heran dengan adanya UU No. 2 Tahun 1999 yang kemudian disempurnakan dengan UU No. 31 Tahun 2002 yang memungkinkan lahirnya partai – partai baru dalam percaturan kepartaian di Indonesia. Namun dari sekian banyak partai hanya ada 5 partai yang memperoleh suara yang signifikan yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Amanat Nasional (PAN).
Harapannya adalah dengan kehadiran banyak partai itu jangan sampai justru menambah ruwetnya sistem pemerintahan NKRI. Ruwetnya pemerintahan ini mengakibatkan bangsa Indonesia akan banyak mengalami kendala untuk segera keluar dari krisis multidevresional yang sudah berjalan.
Pada pasal 1 ayat 2 Amandemen UUD 1945 dinyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang – Undang Dasar. Perubahan tersebut bermakna bahwa kedaulatan rakyat tidak lagi dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR, tetepi dilaksanakan menurut ketentuan UU No. 23. Untuk menindak lanjuti pasal 1 ayat 2 Amandemen UUD 1945 tersebut dibuatlah UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden Langsung. Yang dalam penjelasan antara lain diuraikan bahwa salah satu wujud dari kedaulatan rakyat adalah penyelenggaraan pemilihan umum baik untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD maupun untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden yang semuanya dilaksanakan menurut Undang – Undang sebagai perwujudan negara hukum dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 6A UUD 1945 menyatakan bahwa “ Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat, dan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik gabungan – gabungan partai politik peserta pemilu sebelum pelaksaaan pemilihan umum “.
Presiden dan Wakil Presiden dipilih setiap 5 tahun sekali melalui pemilihan yang dilaksanakan secara LUBER serta JURDIL ( Langsung, Umum, Bebas, Rahasia serta Jujur dan Adil ) yang diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional tetap dan mandiri.



Sejarah Sistem Kepartaian di Indonesia (ORLA – ORBA – REFORMASI)

Periode
Sistem Pemerintahan
Sistem Partai
1903 – 1942
Zaman Kolonial
Sistem multi - partai
1942 – 1945
Zaman Pendudukan Jepang
Partai politik dilarang
17 Agust 1945- 1959
(ORLA)
Zaman Demokrasi Parlementer
A. Masa Perjuangan

17Agust – 14Nov 1945
1. Sist. Presidensial, UUD 1945
Satu Partai PNI
14 Nov - 17Agust ‘45
2. Sist. Parlementer, UUD 1945
Sistem Multi Partai
1949 – 1950
3. Sist. Parlementer, UUD RIS
Sistem Multi Partai
1950 – 1955
B. Masa Pembangunan (Building Nation)
4. Sist. Parlementer, UUD 1950
Sistem Multi Partai.
Pemilu 1955 menghasilkan 27 partai dan 1 perorangan yang memperoleh kursi di DPR
1955 – 1959
5. Sist. Parlementer, UUD 1950
Sistem Multi Partai
1959 - 1965
Demokrasi Terpimpin, UUD 1945
1. 1959
Maklumat Pemerintah 3 November 1945 dicabut. Diadakan penyederhanaan partai sehingga hanya ada 10 Partai yang diakui (PKI, PNI, NU, Partai Katolik, Partindo, Parkindo, Parta Murba, PSII Arujdi, IPKI dan Partai Islam Perti. Masyumi dan PSI dibubarkan pada tahun 1960)

2. 1960
Dibentuk Front Nasional yang mewakili semua kekuatan politik. PKI masuk berdasarkan prinsip Nasakom. ABRI masuk lewat IPKI.
1965 – 1998 (ORBA)
Demokrasi Pancasila, UUD 1945


1. 1966
PKI dan Partindo dibubarkan

2. 27 Juli 1967
Konsensus Nasional a.l. 100 anggota DPR dianggat.

3. 1967 - 1969
Eksperimen dwi – partai dan dwi – group dilakukan di beberapa kabupaten di Jabar, namun dihentikan pada awal 1969.

4. 1971
Pemilu dengan 10 Partai.

5. 1973
Penggabungan partai menjadi 3 Partai (Golkar, PDI, PPP)

6. 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997
Pemilu hanya diikuti oleh 3 orsospol (sist. Multi Pastai terbatas) PPP, Golkar, PDI.

7. 1982
8. 1984
Pancasila satu – satunya asas.
NU Khittah

9. 1966
PDI pecah
1998 (21 Mei) - …..
(REFORMASI)
Reformasi, UUD 1945 yang diamandemen
1. 1999 (Juni)
2. 2004 (April)
Kembali ke system multi – partai.
Pemili dengan 46 Partai.



3. Perkembangan Pelaksanaan Pemilu di Indonesia

Pemilihan umum (pemilu) di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Setelah amandemen keempat UUD 1945 pada 2002, pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres), yang semula dilakukan oleh MPR, disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat sehingga pilpres pun dimasukkan ke dalam rezim pemilu. Pilpres sebagai bagian dari pemilu diadakan pertama kali pada Pemilu 2004. Pada 2007, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) juga dimasukkan sebagai bagian dari rezim pemilu. Di tengah masyarakat, istilah "pemilu" lebih sering merujuk kepada pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden yang diadakan setiap 5 tahun sekali.

Asas
Pemilihan umum di Indonesia menganut asas "Luber" yang merupakan singkatan dari "Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia". Asal "Luber" sudah ada sejak zaman Orde Baru. Langsung berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya secara langsung dan tidak boleh diwakilkan. Umum berarti pemilihan umum dapat diikuti seluruh warga negara yang sudah memiliki hak menggunakan suara. Bebas berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya tanpa ada paksaan dari pihak manapun, kemudian Rahasia berarti suara yang diberikan oleh pemilih bersifat rahasia hanya diketahui oleh si pemilih itu sendiri.
Kemudian di era reformasi berkembang pula asas "Jurdil" yang merupakan singkatan dari "Jujur dan Adil". Asas jujur mengandung arti bahwa pemilihan umum harus dilaksanakan sesuai dengan aturan untuk memastikan bahwa setiap warga negara yang memiliki hak dapat memilih sesuai dengan kehendaknya dan setiap suara pemilih memiliki nilai yang sama untuk menentukan wakil rakyat yang akan terpilih. Asas adil adalah perlakuan yang sama terhadap peserta pemilu dan pemilih, tanpa ada pengistimewaan ataupun diskriminasi terhadap peserta atau pemilih tertentu. Asas jujur dan adil mengikat tidak hanya kepada pemilih ataupun peserta pemilu, tetapi juga penyelenggara pemilu.

Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD
Sepanjang sejarah Indonesia, telah diselenggarakan 10 kali pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD, yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, dan 2009.

Pemilu 1955
Pemilu pertama dilangsungkan pada tahun 1955 dan bertujuan untuk memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante. Pemilu ini seringkali disebut dengan Pemilu 1955, dan dipersiapkan di bawah pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Namun, Ali Sastroamidjojo mengundurkan diri dan pada saat pemungutan suara, kepala pemerintahan telah dipegang oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap.
Sesuai tujuannya, Pemilu 1955 ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu:
1. Tahap pertama adalah Pemilu untuk memilih anggota DPR. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 29 September 1955, dan diikuti oleh 29 partai politik dan individu,
2. Tahap kedua adalah Pemilu untuk memilih anggota Konstituante. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 15 Desember 1955.
Lima besar dalam Pemilu ini adalah Partai Nasional Indonesia, Masyumi, Nahdlatul Ulama, Partai Komunis Indonesia, dan Partai Syarikat Islam Indonesia.

Pemilu 1971
Pemilu berikutnya diselenggarakan pada tahun 1971, tepatnya pada tanggal 5 Juli 1971. Pemilu ini adalah Pemilu pertama setelah orde baru, dan diikuti oleh 10 partai politik.
Lima besar dalam Pemilu ini adalah Golongan Karya, Nahdlatul Ulama, Parmusi, Partai Nasional Indonesia, dan Partai Syarikat Islam Indonesia. Pada tahun 1975, melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar, diadakanlah fusi (penggabungan) partai-partai politik, menjadi hanya dua partai politik (yaitu Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia) dan satu Golongan Karya.

Pemilu 1977-1997
Pemilu-Pemilu berikutnya dilangsungkan pada tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Pemilu-Pemilu ini diselenggarakan dibawah pemerintahan Presiden Soeharto. Pemilu-Pemilu ini seringkali disebut dengan "Pemilu Orde Baru". Sesuai peraturan Fusi Partai Politik tahun 1975, Pemilu-Pemilu tersebut hanya diikuti dua partai politik dan satu Golongan Karya. Pemilu-Pemilu tersebut kesemuanya dimenangkan oleh Golongan Karya.

Pemilu 1999
Pemilu berikutnya, sekaligus Pemilu pertama setelah runtuhnya orde baru, yaitu Pemilu 1999 dilangsungkan pada tahun 1999 (tepatnya pada tanggal 7 Juni 1999) di bawah pemerintahan Presiden BJ Habibie dan diikuti oleh 48 partai politik.
Lima besar Pemilu 1999 adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Amanat Nasional.
Walaupun Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan meraih suara terbanyak (dengan perolehan suara sekitar 35 persen), yang diangkat menjadi presiden bukanlah calon dari partai itu, yaitu Megawati Soekarnoputri, melainkan dari Partai Kebangkitan Bangsa, yaitu Abdurrahman Wahid (Pada saat itu, Megawati hanya menjadi calon presiden). Hal ini dimungkinkan untuk terjadi karena Pemilu 1999 hanya bertujuan untuk memilih anggota MPR, DPR, dan DPRD, sementara pemilihan presiden dan wakilnya dilakukan oleh anggota MPR.

Pemilu 2004
Pada Pemilu 2004, selain memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, rakyat juga dapat memilih anggota DPD, suatu lembaga perwakilan baru yang ditujukan untuk mewakili kepentingan daerah.

Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
Pemilu 2004
Pemilu 2004 merupakan pemilu pertama di mana para peserta dapat memilih langsung presiden dan wakil presiden pilihan mereka. Pemenang Pilpres 2004 adalah Susilo Bambang Yudhoyono. Pilpres ini dilangsungkan dalam dua putaran, karena tidak ada pasangan calon yang berhasil mendapatkan suara lebih dari 50%. Putaran kedua digunakan untuk memilih presiden yang diwarnai persaingan antara Yudhoyono dan Megawati yang akhirnya dimenangi oleh pasangan Yudhoyono-Jusuf Kalla.
Pergantian kekuasaan berlangsung mulus dan merupakan sejarah bagi Indonesia yang belum pernah mengalami pergantian kekuasaan tanpa huru-hara. Satu-satunya cacat pada pergantian kekuasaan ini adalah tidak hadirnya Megawati pada upacara pelantikan Yudhoyono sebagai presiden.

Pemilu 2009
Pilpres 2009 diselenggarakan pada 8 Juli 2009. Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono berhasil menjadi pemenang dalam satu putaran langsung dengan memperoleh suara 60,80%, mengalahkan pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto dan Muhammad Jusuf Kalla-Wiranto.

Berikut adalah bagan “Sejarah Pemilu di Indonesia” (1955-2004)

Tahun Pemilu
Sistem Pemilu
1955
Menggunakan Sistem Proposional. Jumlah anggota DPR ditetapkan berdasarkan imbangan jumlah penduduk. Tiap 300.000 penduduk diwakili 1 anggota DPR. Menggunakan Stelsel Daftar Mengikat dan Stelsel Daftar bebas. Pemilih dapat memberikan suaranya kepada calon yang ada di dalam daftar (ini merupakan ciri sistem distrik) dan bisa juga diberikan kepada partai. Suara yang diberikan kepada calon akan diperhitungkan sebagai perolehan suara calon yang bersangkutan, sedangkan yang diberikan kepada partai, oleh partai akan diberikan kepada calon sesuai nomor urut. Seseorang secara perorangan, tanpa melalui partai, juga dapat menjadi peserta pemilu.
Calon yang terpilih adalah yang memperoleh suara sesuai BPPD (Bilangan Pembagi Pemilih Daftar). Apabila tidak ada calon yang memperoleh suara sesuai BPPD, suara yang diberikan kepada partai akan menentukan. Calon dengan nomor urut atas akan diberi oleh suara partai, namun prioritas diberikan kepada calon yang memperoleh suara melampaui setengah BPPD.
Kursi yang tidak habis dalam pembagian di daerah pemilihan akan dibagikan di tingkat pusat dengan menjumlahkan sisa – sisa suara dari daerah – daerah pemilihan yang tidak terkonversi menjadi kursi.
1971
1977
1982
1987
1992
1997
1999
Menggunakan Sistem Proporsional dengan Stelsel Daftar Tertutup. Pemilih memberikan suaranya hanya kepada partai, dan partai akan memberikan suaranya kepada calon dengan nomor urut teratas. Suara akan diberikan kepada urutan berikutnya bila calon dengan nomor urut teratas sudah mendapat bagian suara cukup untuk kuota 1 kursi.
Untuk pemilu anggota DPRD, pemilihannya adalah wilayah provinsi, sedangkan DPRD I, daerah pemilihannya adalah satu provinsi yang bersangkutan , dan untuk DPRD II, daerah pemilihannya pada Dati Iiyang bersangkutan. Namun ada sedikit warna Sistem Distrik di dalamnya, karena setiap kabupaten diberi jatah 1 kursi anggota DPR untuk mewakili daerah tersebut.
Pada pemilu tahun – tahun ini, setiap anggota DPR mewakili 400.000 penduduk.
2004
Ada satu lembaga baru di dalam lembaga legislatifyaitu DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Untuk pemilu anggota DPD digunakan sistem distrik tetapi dengan 4 Kursi untuk setiap provinsi. Daerah pemilihannya adalah wilayah provinsi. Pesertanya adalah individu. Karena setiap provinsi / daerah pemilihan mempunyai jatah 4 kursi, dan suara dari kontestan yang kalah tidak dapat dialihkan maka sistem yang digunakandisini dapat disebut dengan Sistem Distrik dengan Wakil Banyak (Block Vote).
Untuk pemilihan anggota DPR dan DPRD digunakan Sistem Proposional, dengan Stelsel Daftar Terbuka, sehingga pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung kepada calon yang dipilih. Dalam hal ini, pemilih memberikan suaranya kepada partai, calon yang berada pada urutan teratas mempunyai peluang besar untuk terpilih karena suara pemilih yang diberikan kepada partai menjadi hak calon yang berada di urutan teratas. Jadi, terdapat kemiripan sistem yang digunakan dalam Pemilu anggota DPR dan DPD tahun 2004 dan 1955. bedanya, pada pemilu 1955 terdapat prioritas untuk memberikan suara lebih dan setengah BPPD.



BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Pemilu dengan partai politik merupakan dua konsep yang tidak bisa dipisahkan. Pemilu membutuhkan partai politik sebagai kontestannya. Sedangkan partai politik membutuhkan pemilu sebagai sarana memilih wakil-wakilnya yang akan duduk dalam legislatif maupun kabinet.
Dari beberapa hasil studi menyimpulkan bahwa hampir semua negara di dunia ini memiliki partai. Tak terkecuali negara-negara yang tergolong sebagai negara berkembang, Indonesia. Partai telah diyakini sebagai komponen penting dalam sistem pemerintahan buat membangun sistem politik yang demokratis. Dengan adanya politik partai diharapkan semua aspirasi rakyat yang heterogen dapat terakomodasi secara proporsional lewat pemilu. Melalui hasil pemilu roda pemerintahan dijalankan untuk mencapai negara sejahtera (welfare state) seperti yang dicita-citakan. Di Indonesia sistem kepartaian mempunyai sejarah yang cukup panjang. Pada era pasca revolusi sistem kepartaian mengalami masa boom partai. Tetapi banyaknya partai justru menjadikan instabilitas di semua sektor. Reformasi partai politik dimulai pada masa Orde Baru dengan melakukan fusi dari multi partai menjadi beberapa partai dan mengurangi kekuatan partai dengan floating mass dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 3 Tahun 1975. Sedangkan pada tahun 1999 terdapat 48 partai politik yang berhak mengikuti pemilihan umum.
Di Indonesia, pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Sebagai wujud konkret kedaulatan rakyat maka pelaksanaan pemilu terus diupayakan kesempurnaan dalam penyelenggaraan. Kesempurnaan dalam kaitan ini akan menentukan kualitas pemilu itu sendiri. Dan hal ini pada gilirannya akan memberikan citra yang lebih baik terhadap pelaksanaan demokrasi seperti yang dicita-citakan. Salah satu instrumen untuk meningkatkan kualitas pemilu adalah pelaksanaan asas LUBER dan JURDIL yaitu kepanjangan akronim Langsung, Umum, Bebas, Rahasia dan Jujur dan Adil.
Pemilihan umum sering dikatakan sebagai ujung tombak pelaksanaan sistem demokrasi. Hal ini lantaran dalam pemilihan umum setiap warga dapat mengapresiasikan hak suaranya untuk memilih wakil yang dipercayai mewakili lembaga legislatif. Dalam ilmu politik ada dua prinsip utama pelaksanaan sistem pemilihan umum, yakni pemilihan umum menggunakan sistem distrik dan proporsional atau sistem perwakilan berimbang. Pada sistem distrik jumlah wakil rakyat dalam DPR ditentukan berdasarkan jumlah distrik. Setiap distrik mempunyai satu wakil dari masing-masing parpol kontestan pemilu. Sedangkan pada sistem perwakilan berimbang suatu negara dipecah-pecah ke dalam suatu daerah pemilihan. Setiap daerah memilih sejumlah wakil sesuai dengan jumlah penduduk yang ada dalam daerah pemilihan tersebut. Jumlah wakil yang akan duduk di DPR tergantung dari perolehan suara hasil pemilu. Baik sistem distrik maupun proporsional keduanya mempunyai kelebihan dan kekurangan.



REFERENSI


Budiarjo,Miriam. Dasar – Dasar Ilmu Politik 2007. Jakarta: PT. Ikrar Mandidrabadi

http://ahmadsidqi.wordpress.com/
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/07/07/03350926
http://google.com/
http:// lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2009042807215742
http://wikipedia.com/