A.
Konsep
Dasar Kebijakan Publik
Semenjak
analisis kebijakan (policy analysis)
menjadi disiplin intelektual terapan terhadap masalah publik (public problems), Policy telah menjadi fokus utama (central focus) analisis kebijakan, termasuk pengertian dan subtansi
kebijakan. (Leslie A. Pal dalam Joko Widodo, 2007:9).
Isitilah
kebijakan publik bukan hal asing bagi kita. Kata policy sering kita dengar
dalam kehidupan sehar-hari dan dalam kegiatan-kegiatan akademik. Istilah policy digunakan secara luas seperti “Kebijakan Ekonomi Indonesia”, “Kebijakan Pendidikan Nasional”, “Kebijakan Impor dan Eksport” dan atau “Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan di
Indonesia”. Atau bisa juga dipakai
untuk sesuat yang lebih mikro khususnya
kebijakan dalam pemerintahan seperti “Kebijakan Presiden”, “Kebijakan Menteri”, “Kebijakan Gubernur”,
“Kebijakan Bupati/Walikota” dan sebagainya.
Thomas
R. Dye (1995) dan James Anderson (1984) yang dikutip Leo Agustino (2008) ada
tiga alasan yang melatarbelakangi mengapa kebijakan public perlu dipelajari. Pertama, pertimbangan atau alasan ilmiah
(scientific reasons). Kebijakan
public dipelajari dalam rangka untuk menambah pengetahuan yang lebih mendalam.
Mulai dari asalnya, prosesnya, perkembangannya serta akibat-akibat yang
ditimbulkan bagi masyarakat. Kedua, pertimbangan atau alasan professional (professional reasons). Don K. Price
(1965:123-135) memberikan pemisahan antara scientific-estate
yang hanya mencari untuk kepentingan
ilmu pengetahuan dengan professional-estate,
yang berusaha menerapkan ilmu pengetahuan untuk memecahkan masalah sosial
secara praktis. Dalam bahasa sederhana studi kebijakan digunakan sebagai alas
untuk menerapkan pengetahuan ilmiah dalam rangka memecahkan masalah atau
menyelesaikan masalah sehari-hari. Ketiga,
pertimbangan atau alasan politis (political
reasons). Kebijakan public dipelajari pada dasarny agar setiap perundangan
dan regulasi yang dihasilkan dapat tepat guna mencapai tujuan yang sesuai
target.
Untuk
memudahkan apa itu kebijakan publik, terlebih dahulu kita harus memahami
pengertian kebijakan. Secara umum istilah “kebijakan” atau “policy” digunakan
untuk menunjuk perilaku seorang aktor (misalnya seorang pejabat, suatu
kelompok, maupun suatu lembaga pemerintah) atau sejumlah aktor dalam suatu
bidang kegiatan tertentu.
Sedangkan
Menurut Charles O. Jones istilah kebijakan (policy
term) digunakan dalam praktek sehari-hari namun digunakan untuk
menggantikan kegiatan atau keputusan yang sangat berbeda. Istilah ini sering
dipertukarkan dengan tujuan (goals),
program, keputusan (decisions), standard,
proposal dan grand design.
Sementara
pengertian Kebijakan Publik menurut Robert Eyestone dalam bukunya The Theards Of Publik Policy (1971) mendefenisikan kebijakan publik sebagai
“hubungan antara unit pemerintah dengan lingkungannya”. Menurut Dye (1995:1)
mendefenisikan kebijakan publik adalah apa yang dipilih oleh pemerintah untuk
dikerjakan atau dikerjakan. Sedangkan
Richard Rose (1969) mendefinisikan kebijakan publik sebagai sebuah rangkaian
panjang dari banyak atau sedikit kegiatan yang saling berhubungan dan memiliki
konsekuensi bagi yang berkepentingan sebagai keputusan yang berlainan.
Definisi
lain mengenai kebijakan publik disampaikan Carl Friedrich (1969:79) yang
mengatakan kebijakan adalah “serangkaian tindakan/kegiatan yang diusulkan oleh
seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dimana
terdapat hambatan-hambatan (kesulitan-kesulitan) dan kemungkinan-kemungkinan
(kesempatan-kesempatan) dimana kebijakan tersebut diusulkan agar berguna dalam
mengatasinya untuk mencapai tujuan yang dimaksud”.
James
Anderson (1984:3) dalam bukunya Public
Policy Macking, memberikan defenisi kebijakan public, adalah “serangkaian kegiatan yang mempunyai
maksud/tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang aktor atau
sekompok aktor yang berhubungan dengan suatu permasalahan atau suatu hal yang
diperhatikan”. Konsep kebijakan ini menitikberatkan pada apa yang sesungguhnya
dikerjakan daripada apa yang diusulkan atau dimaksud. Dan hal inilah yang
membedakan kebijakan dari suatu keputusan yang merupakan pilihan diantara
beberapa alternatif yang ada.
Menurut
Anderson, konsep kebijakan publik ini kemudian mempunyai implikasi yakni: pertama, titik perhatian kita dalam
membicarakan kebijakan publik berorientasi pada maksud atau tujuan dan bukan
perilaku secara serampangan. Kebijakan publik secara luas dalam sistem politik
modern bukan sesuatu yang terjadi begitu saja melainkan direncanakan oleh
aktor-aktor yang terlibat di dalam
sistem politik. Kedua,
kebijakan merupakan arah atau pola tindakan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat
pemerintah dan bukan merupakan
keputusan-keputusan yang tersendiri. Suatu kebijakan mencakup tidak hanya
keputusan untuk menetapkan undang-undang mengenai suatu hal, tetapi juga
keputusan-keputusan beserta dengan pelaksanannya. Ketiga, kebijakan adalah apa yang sebenarnya dilakukan oleh
pemerintah dalam mengatur perdagangan, mengendalikan inflansi, atau
mempromosikan perumahan rakyat dan bukan apa yang diinginkan oleh pemerintah.
B. Tahap-Tahap Kebijakan
Proses pembuatan kebijakan publik
merupakan proses yang kompleks karena melibatkan banyak proses maupun variabel yang harus
dikaji. Oleh karena itu, beberapa ahli politik yang menaruh minat untuk
mengkaji kebijakan publik membagi proses-proses penyusunan kebijakan publik ke
dalam beberapa tahap. Menurut William Dunn (1999) tahapan-tahapan kebijakan publik
adalah sebagai berikut :
1. Tahap
penyusunan agenda
Para
pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda politik.
Sebelum masalah-masalah ini berkompetisi terlebih dahulu untuk dapat masuk ke
dalam agenda kebijakan. Pada akhirnya, beberapa masalah masuk ke agenda
kebijakan para perumus kebijakan. Pada tahap ini suatu masalah mungkin tidak
disentuh sama sekali, sementara masalah yang lain ditetapkan menjadi focus
pembahasan atau ada pula masalah karena alasan-alasan tertentu ditunda untuk
waktu yang lama.
2. Tahap
Formulasi Kebijakan
Masalah
yang telah masuk ke agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat
kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan
masalah terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai
alternatif atau pilihan kebijakan (policy alternative/policy options) yang
ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk ke dalam agenda
kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan masing-masing alternatif bersaing
untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang
diambil untuk memecahkan masalah. Pada tahap ini, masing-masing actor akan
“bermain” untuk mengusulkan pemecahan masalah terbaik.
3. Tahap
adopsi kebijakan
Dari
sekian banyak alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh para perumus kebijakan,
pada akhirnya salah satu dari alternatif kebijakan tersebut diadopsi dengan
dukungan dari mayoritas legislatif, consensus antara direktur lembaga atau
keputusan peradilan.
4. Tahap
Implementasi kebijakan
Suatu
program kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan elit, jika program
tersebut tidak diimplementasikan. Oleh karena itu keputusan program kebijakan
yang telah diambil sebagai alternative pemecahan masalah harus
diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan-badan administrasi maupun
agenda-agenda pemerintah di tingkat bawah. Kebijakan yang telah diambil
dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang memobilisasikan sumberdaya
finansial dan manusia. Pada tahap implementasi ini berbagai kepentingan akan
saling bersaing. Beberapa implementasi kebijakan mendapat dukungan para pelaksana
(implementors) , namun beberapa yang
lain mungkin akan ditentang oleh para pelaksana.
5. Tahap
evaluasi kebijakan
Pada
tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi, untuk
melihat sejauhmana kebijakan yang dibuat telah mampu memecahkan masalah.
Kebijakan publik pada dasarnya dibuat untuk meraih dampak yang diinginkan.
Dalam hal ini, memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat.
C.
Aktor
dan Pelaku Pembuat Kebijakan Publik
Para pembuat kebijakan adalah orang yang
mempunyai wewenang yang sah untuk ikut serta dalam formulasi hingga penetapan
kebijakan publik. Yang termasuk dalam
pembuat kebijakan secara normatif adalah legislatif, eksekutif, administratur
dan para hakim. Dalam tulisan James Anderson (1979), Charles Lindblom (1980),
maupun James P. Lester dan Joseph Steward, Jr (2000), aktor-aktor atau pemeran
serta dalam proses pemnbentukan kebijakan dapat dibagi ke dalam dua kelompok,
yaitu para pemeran serta resmi dan para pemeran serta tidak resmi. Yang
termasuk kedalam pemeran serta resmi adalah agen-agen pemerintah (birokrasi),
presiden (eksekutif), legislative dan yudikatif. Sedangkan yang termasuk dalam
kelompok peran serta tidak resmi meliputi kelompok-kelompok kepentingan, partai
politik dan warganegara individu.
Secara umum sesungguhnya aktor ini dapat
dikategorikan dalam tiga yaitu aktor publik, aktor privat dan aktor masyarakat
(civil society). Ketiga aktor ini sangat berperan dalam sebuah proses
penyusunan kebijakan publik (Moore 1995:112). Berikut ini disajikan para
pemeran dalam perumusan kebijakan publik.
Pemeran Serta
Resmi dalam Perumusan Kebijakan :
1. Badan-badan
administasi (agen-agen pemerintah)
Sistem administrasi di seluruh dunia mempunyai perbedaan
dalam hal karakteristik-karakteristik seperti ukuran dan kerumitan, organisasi
, struktur hierarkhis dan tingkat otonomi. Walaupun doktrin mengatakan bahwa
badan-badan administasi dianggap sebagai badan pelaksana telah diakui secara
umum dalam ilmu politik, namun bahwa politik dan administrasi telah bercampur
aduk menjadi satu juga telah menjadi aksioma yang diakui kebenarannya. Hal ini
terutama didasarkan atas konsep adminsitrasi baru yang diintrodusir oleh George
Frederickson melalui bukunya New Publik
Administration (1980) yang tak lagi
membahas dikotomi administrasi public dan politik.
Dalam
masyarakat-masyarakat industri yang mempunyai tingkat kompleksitas yang tinggi,
badan-badan administrasi sering membuat banyak keputusan mempunyai
konsekuensi-konsekuensi politik dan kebijakan yang luas. Hal ini terjadi karena
disamping tingkat kompleksitas masyarakat industri itu sendiri, juga disebabkan
oleh alasan-alasan teknis, banyaknya masalah kebijakan, kebutuhan untuk
melestarikan control serta waktu dan informasi dari para anggota legislative
sehingga banyak sekali wewenang yang didelegasikan.
2. Presiden
(eksekutif)
Presiden
sebagai kepala eksekutif mempunyai peran yang penting dalam perumusan
kebijakan. Keterlibatan presiden dalam perumusan kebijakan dapat dilihat dalam
komisi-komisi presidensial maupun dalam rapat-rapat kabinet. Dalam beberapa
kasus, presiden terlibat secara personal dalam perumusan kebijakan, seperti
misalnya keterlibatan Presiden Jimmy Carter dalam perumusan kebijakan presiden.
Dia suka terlihat lebih aktif dalam memberikan inisiatif pembuatan
perundang-undangan dan menggunakan stafnya untuk mempersiapkan lebih banyak
peraturan perundang-undangan untuk keperluan congressional review. Selain keterlibatan secara langsung yang
dilakukan oleh presiden juga membentuk kelompok-kelompok atau komisi-komisi
penasehat yang terdiri dari warganegara swasta maupun pejabat-pejabat yang
ditujukan untuk menyelidi kebijakan tertentu dan mengembangkan usul-usul
kebijakan.
3. Lembaga
Yudikatif
Lembaga ini
memainkan peran yang besar dalam pembentukan kebijakan di Amerika Serikat.
Namun sejauhmana badan ini mempunyai pengaruh di dalam pembentukan kebijakan di
Indonesia tentunya memerlukan telaah lebih lanjut, walaupun jika didasarkan
pada undang-undang dasar badan ini mempunyai kekuasaan yang cukup besar untuk
mempengaruhi kebijakan public melalui pengujian kembali suatu undang-undang
atau peraturan.
Pada dasanya
tinjauan yudisial merupakan kekuasaan pengadilan untuk menentukan apakah
tindakan-tindakan yang diambil oleh cabang-cabang eksekutif maupun legisaltif
sesuai dengan konstitusi atau tidak. Bila keputusan-keputusan tersebut melawan
atau bertentangan dengan konstitusi Negara, maka badan yudikatif berhak
membatalkan atau menyatakan tidak sah terhadap peraturan atau undang-undang
yang telah ditetapkan.
4. Lembaga
Legislatif
Di Amerika Serikat lembaga ini dikenal sebagai kongres.
Dalam kasus Indonesia lembaha ini sering kita sebut sebagai DPR. Lembaga ini
bersama-sama dengan pihak eksekutif (presiden dan pembantu-pembantunya),
memegang peranan yang cukup krusial di dalam perumusan kebijakan. Setiap
undang-undang menyangkut persoalan-persoalan public harus mendapatkan
persetujuan dari lembaga legislatif. Selain itu keterlibatan langsung
legislative dalam perumusan kebijakan juga dapat dilihat dari mekanisme dengar
pendapat, penyelidikan-penyelidikan dan kontak-kontak yang mereka lakukan
dengan pejabat-pejabat adminsitrasi, kelompok-kelompok kepentingan dan lain
sebagainya.
Pemeran Serta Tidak Resmi Dalam
Perumusan Kebijakan
Selain lermbaga-lembaga formal di atas
yang terlibat dalam perumusan kebijakan
masih ada elemen lain yang berpartisipasi dalam proses perumusan
kebijakan yakni :
1. Kelompok
Kepentingan
Kelompok
ini merupakan pemeran serta tidak resmi yang memainkan peran penting dalam
pembentukan kebijakan di hamper semua
Negara. Perbedaan yang mugkin ada tergantung pada apakah Negara-negara
tersebut demokratis atau otoriter, modern atau berkembang. Perbedaan itu
menyangkut keabsahan serta hubungan antara pemerintah dengan kelompok-kelompok
tadi. Dengan demikian dalam system politik demokratis kelompok-kelompok
kepentingan akan lebih memainkan peran yang penting dengan kegiatan yang lebih terbuka dibandingkan dengan sistem otoriter. Hal ini terjadi karena dalam system
politik demokrasi kekebasan berpendapat dilindungi, serta warganegara lebih
mempunyai keterlibatan politik . Walaupun dalam kedua system yang disebutkan di
atas kelompok-kelompok kepentingan berbeda dalam hal hubungan dan sifat
aktivitasnya, namun disemua system tadi kelompok-kelompok kepentingan
menjalankan fungsi artikulasi kepentigan yaitu mereka berfungsi menyatakan
tuntutan-tuntutan dan memberikan alternative tindakan kebijakan.
Menurut Gbariel A. Almond jenis-jenis kelompok
kepentingan meliputi : pertama, Kelompok Anomic : kelompok yang terbentuk
diantara unsure-unsur dalam masyarakat secara spontan dan hanya seketika dank
arena itu tidak memiliki nilai-nilai dan norma-norma yang mengatur, maka
kelompok ini seringa tumpang tindih (Overlap)
dengan bentuk-bentuk partisipasi politik non konvesional, seperti
demonstrasi, kerusuhan, tindakan
kekerasan politik dan lain-lain. Kedua,
kelompok Non Assosiasional: kelompok yang termasuk kategori kelompok masyaralat
awam (belum maju) dan tidak terorganisir rapid an kegiatannya bersifat
temporer. Wujud kelompok ini antara lain kelompok keluarga, keturunan, etnis,
regional yang menyatakan kepentingan secara kandangkala melalui
individu-individu, kepala keluarga dan atau pemimpin agama. Ketiga, kelompok Institusional: kelompok formal yang memiliki struktur, visi, misi,
tugas dan fungsi serta sebagai artikulasi kepentingan. Contohnya, Partai Politik, Korporasi Bisnis, Badan
Legislatif, Militer, Birokrasi dan lain-lain. Keempat, Kelompok Assosiasional: kelompok yang terbentuk dari
masyarakat dengan fungsi untuk mengartikulasi kepentingan anggotanya kepada
pemerintah atau perusahaan pemilik modal.
Contohnya, Serikat Buruh,
KADIN, Paguyuban, MUI, NU, Muhammadiyah, KWI dan lain-lain.
2. Partai
Politik
Dalam sistem
demokrasi, partai-partai politik memegang peran penting. Dalam sistem tersebut,
partai politik digunakan sebagai alat untuk meraih kekuasaan. Hal ini berarti
bahwa partai politik pada dasarnya lebih
berorientasi kepada kekuasaan dibandingkan dengan kebijakan publik. Namun
demikian peran serta dalam perumusan kebijakan publik cukup besar.
Dalam
masyarakat modern, partai-partai politik seringkali melakukan “agregasi
kepentingan”. Partai Politik tersebut berusaha untuk mengubah tuntutan-tuntutan
tertentu dari kelompok-kelompok kepentingan menjadi alternative-alternatif
kebijakan. Dalam sistem dua partai predominan seperti di Amerika Serikat dan
Inggris, keinginan untuk memperoleh dukungan pemilih mengharuskan partai-partai
ini untuk memasukkan dalam “paket” kebijakan mereka tuntutan-tuntutan yang
mempunyai dukungan luasdari para pemilih atau rakyat serta mencegah
kelompok-kelompok yang menonjol untuk menjauhkan diri. Sementara dalam system
multi partai seperti di Negara Prancis, partai-partai politik kurang memiliki
peran dalam mengagregasikan kepentingan. Mereka biasanya bertindak sebagai
wakil-wakil dan kepentingan-kepentingan yang terbatas. Pada umumnya, walaupun
partai-partai politik ini mempunyai jangkauan yang lebih luas dibandingkan
dengan kelompok-kelompok kepentingan, namun mereka lebih cenderung bertindak
sebagai perantara daripada pendukung kepentingan-kepentingan tertentu dalam
pembentukan kebijakan. Sedangkan dalam system satu partai, partai politik
merupakan kekuatan yang predominan dalam pembentukan kebijakan.
3. Warganegara
Individu
Dalam
pembahasan mengenai pembuatan kebijakan, warganegara individu sering diabaikan
dalam hubungannya dengan legislative, kelompok kepentingan serta pemeran serta
lainnya yang lebih menonjol. Walaupun tugas pembentukan kebijakan pada dasarnya
diserahkan kepada para pejabat public, namun dalam beberapa hal para individu
warganegara individu ini masih dapat mengambil peran secara aktif dalam
pengambilan keputusan.
Peran
serta warganegara dalam sistem politik, walaupun sistem politik tersebut
merupakan sistem politik demokrasi, sering dianggap mempunyai peran serta yang
rendah. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa banyak orang yang tidak
memberikan suaranya pada waktu pemilihan umum, tidak ikut serta dalam kegiatan
partai politik, serta tidak terlibat dalam kelompok-kelompok penekan serta
mempunyai perhatian yang rendah terhadap sistem politik.
Dinegara-negara
yang mendasarkan diri pada sistem otoriter, kepentingan-kepentingan dan
keinginan-keinginan para warga Negara biasanya merupakan akibat dari
kebijakan-kebijakan publik. Para diktator dalam sistem otoriter tetap akan menaruh perhatian terhadap apa yang menjadi
keinginan rakyat agar kekacauan sedapat mungkin diminimalkan. Sementara itu di
negara-negara demokratik pemilihan umum barangkali merupakan tanggapan tidak
langsung terhadap tuntutan-tuntutan warga Negara.
Dalam
hal ini, Charles Lindblom menyatakan bahwa perbedaan yang paling menonjol
antara rezim otoriter dengan rezim demokratik adalah bahwa dalam rezim
demokratik para warganegara memilih para pembentuk kebijakan puncak dalam
pemilihan-pemilihan yang murni. Beberapa ilmuwan berspekulasi bahwa pemberian suara
dalam pemilihan-pemilihan yang murni mungkin merupakan suatu metode yang
penting dari pengaruh warganegara dalam pembentukan kebijakan karena hal ini
memungkinkan warganegara untuk memilih para pejabat dan sedikit banyak
menginstrusikan pejabat-pejabat itu mengenai kebijakan tertentu. Oleh karena
itu, menurut Lindblom keinginan para warga Negara perlu mendapat
perhatian oleh para pembentuk kebijakan. Aturan yang dikemukan oleh Lindblom
ini kadang-kadang dinyatakan dalam aphorisme bahwa warga negara mempunyai hak
untuk didengar dan para pejabat mempunyai tugas untuk mendengarkan.