Monday, November 24, 2014

Implementasi Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan




Implementasi Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan
The World Commission On Environment and Development (Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan/WCED) di bawah naungan PBB Tahun 1987 menyusun laporan yang berjudul “Our Common Future” (Hari Depan Kita Bersama). Isi buku secara garis besar berupa pesan-pesan penting peringatan dan keprihatinan yang mendasar dan serius kepada dunia (kita semua) yang harus
diperhatikan dan ditindaklanjuti secara serius tentang gambaran hari depan (kehidupan) kita yang terancam (terutama generasi mendatang), jika pembangunan tidak dijalankan secara bijaksana dan kelestarian fungsi lingkungan tidak dijaga dengan baik.

Semua pihak diminta ikut berkomitmen, berpartisipasi dan bertanggung jawab terhadap masa depan (kehidupan) kita sendiri dan terutama kehidupan manusia generasi mendatang, yaitu anak-cucu kita agar kesejahteraan mereka terjamin. Ancaman terjadinya pemanasan global karena efek rumah kaca dan bocornya lapisan ozon akibat pencemaran dari aktifitas industri dan transportasi, bencana banjir, longsor, kekeringan dan penggurunan lahan pertanian serta kepunahan keanekaragaman hayati akibat penggundulan hutan alam, bahaya radiasi nuklir, bahaya pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali, tingkat kemiskinan yang semakin tinggi dan kesenjangan sosial yang kian lebar dalam suatu negara maupun antar negara, terutama negara-negara yang sedang berkembang, semuanya telah diungkapkan secara jelas dan gamblang pada saat itu.

Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut ditekankan perlunya adanya kesadaran dan tindakan (aksi) nyata bersama (kerjasama) antar berbagai pihak (kalangan) dalam suatu negara maupun antar negara. Tanpa adanya kesadaran dan aksi bersama tersebut masalah tersebut tidak akan dapat diatasi, bahkan makin lama akan semakin rumit (pelik) karena kerusakan akan semakin parah.

Tim WCED yang dipimpin oleh Mrs G.H. Brundtland (seorang wanita dan Perdana Menteri Norwegia saat itu), beranggotakan 21 orang terdiri atas wakil dari kelompok negara-negara maju, seperti Amerika, Jerman, Kanada, Italia dan Jepang; dan negara sedang berkembang seperti Indonesia, China, Saudi Arabia, India, Brasil, Nigeria, termasuk wakil Ketua Komisi (dari Sudan) dan anggota ex officio (dari Kanada).

Mereka berasal dari latar belakang berbeda-beda namun sangat kaya dengan pengalaman di bidangnya masing-masing, baik sebagai akademisi, anggota kebinet dan ahli ekonomi senior di negaranya masing-masing dengan integritas kepribadian dan intelektualitas yang sangat tinggi pula, telah bekerja keras menuangkan pandangan dan pemikirannya yang jernih dan netral terlepas dari kepentingan pribadi dan nasionalisme negaranya masing-masing. Indonesia diwakili oleh Prof. Dr. Emil Salim. Mereka semua sepakat bahwa lingkungan yang didefinisikan sebagai “tempat kita semua hidup” dan pembangunan yang didefinisikan sebagai “apa saja yang kita (semua) lakukan dalam upaya memperbaiki dan meningkatkan nasib kita”, keduanya saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya.

Membicarakan masalah pembangunan berarti juga harus sekaligus dibicarakan masalah lingkungan. Tindakan atau kebijakan pembangunan yang dijalankan oleh siapapun tanpa mengindahkan norma-norma atau kaidah-kaidah hukum lingkungan yang berlaku akan berakibat tidak baik dan berdampak negatif, bahkan berdampak sistemik (fatal), terhadap keduanya, yaitu pembangunan akan terhenti (tidak berlanjut) dan lingkungan dengan sumberdaya alamnnya (SDA) akan rusak berat tidak dapat dipulihkan lagi.

Oleh karena itu, diperlukan adanya rancangan kebijakan baru yang bersifat holistik dan integratif dengan memasukkan kepentingan pembangunan dan kepentingan lingkungan sekaligus serta diimplementasikan secara konsisten dan konsekwen. Pembangunan tidak sekadar bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia seperti: sandang (pakaian), pangan, papan (rumah), pendidikan, kesehatan dan energi serta lain-lain dari generasi sekarang (saat ini), tapi juga kebutuhan dari generasi mendatang (anak-cucu kita dan seterusnya) secara berkesinambungan serta peningkatan kualitas hidup (aspek ekonomi) dan kehidupan (aspek sosial) secara merata kepada semua lapisan masyarakat di semua negara dengan tetap menjaga dan memelihara kelestarian fungsi lingkungan (ekosistem).
Konsep kebijakan yang demikian dalam buku “Our Common Future” tersebut diberi istilah ”Pembangunan yang Berkelanjutan” (sustanaible development). Konsep Pembangunan Berkelanjutan tersebut diharapkan dapat dilaksanakan oleh semua negara di seluruh dunia dan menjadi komitmen mereka dengan melibatkan semua pihak yang terkait, termasuk peran aktif masyarakat.

Implementasi Konsep Pembangunan Berkelanjutan ide awalnya digagas pada 1972 saat berlangsung KTT PBB pertama tentang pembangunan dan lingkungan di Stockholm (Swedia), namun baru didefinisikan secara eksplisit pada tahun 1987 oleh WCED dalam buku “Our Common Future”. Diartikan Pembangunan Berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri “(sustainable development is development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs)”.

Walaupun rumusan tentang Pembangunan Berkelanjutan tersebut sudah ada dan diketahui, namun dalam kurun waktu 1987 sampai saat menjelang dilangsungkannya KTT-Bumi  di Rio de Jeniro, Brasil, tahun 1992, pemahaman dan interpretasi orang (termasuk para pakar) di berbagai negara tentang istilah dan konsep pembangunan berkelanjutan masih sangat beragam (bervariasi). Hal tersebut terlihat dari cara masing-masing negara yang berbeda dalam menempatkan masalah lingkungan dalam konteks program (kebijakan) pembangunannya.

Di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia, Selandia Baru, Uni Eropa dan juga Jepang agenda program penyelamatan, pemeliharaan dan pelestarian serta perlindungan lingkungan menjadi prioritas utama sejajar dengan agenda program pembangunan di bidang ekonomi, politik dan pertahanan mereka. Alokasi anggaran dan perangkat kelembagaan untuk penanganan masalah lingkungan dan kerusakann sumberdaya alam (SDA) juga disiapkan sangat memadai.

Adapun di negara-negara yang sedang berkembang, seperti Indonesia dan beberapa negara Asia lainnya seperti Vietnam, Pakistan, Filipina, Bangladesh dan lain-lain serta negara-negara yang relatif masih belum berkembang seperti negara-negara Afrika walaupun masalah lingkungan pada umumnya sudah ditangani oleh kementerian tersendiri, namun prioritas penanganannya sering kali tidak utama. Demikian pula dengan alokasi anggaran dan perangkat kelembagaan yang disiapkan pada umunya sangat terbatas.

Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh kondisi negara dan sosial-ekonomi-budaya masyarakatnya. Di negara-negara maju kondisi negaranya relatif stabil dan kondisi sosial ekonomi masyarakatnya relatif jauh lebih baik, tingkat pendapatan relatif tinggi, kemiskinan dan pengangguran juga relatif rendah, sehingga sikap dan perilaku masyarakatnya relatif lebih tanggap, santun dan peduli, aktif bahkan proaktif serta kritis terhadap masalah-masalah lingkungan yang terjadi di sekitarnya, bahkan yang terjadi di luar negaranya.

Sebaliknya, di negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia dan negara-negara yang belum berkembang seperti Afrika, kondisi negara pada umumnya tidak atau belum stabil dan kondisi sosial ekonomi masyarakatnya relatif miskin, tingkat pendapatan rendah, tingkat pengangguran tinggi, sehingga sikap dan perilaku masyarakatnya relatif kurang peduli, pasif dan cenderung anarkistis (kurang beradab) terhadap masalah-masalah lingkungan yang terjadi di sekitarnya, bahkan cenderung menjadi bagian dari tambah rumitnya masalah lingkungan tersebut, seperti perambahan hutan, pemukiman kumuh di perkotaan dan bantaran sungai dan lain-lain.

Oleh karena itu, implementasi dari kebijakan Pembangunan Berkelanjutan di setiap negara juga sangat beragam. Rancangan kebijakan pembangunan dan lingkungan di negara-negara yang sudah maju pada umumnya sudah baik, demikian pula implementasinya di lapangan juga baik karena ada kemauan politik yang kuat dari pemerintah didukung juga oleh alokasi anggaran yang memadai serta didukung penuh oleh masyarakatnya dan semua pihak yang terkait.

Pembangunan Berkelanjutan dirancang untuk mencapai tiga tujuan (dimensi) sekaligus, yaitu (1) dimensi ekonomi untuk peningkatan pendapatan masyarakat, pendapatan daerah dan juga pendapatan negara, (2) dimensi sosial untuk menjamin terciptanya rasa aman, nyaman dan damai sehingga terwujud solidaritas sosial yang harmonis, bebas dari konflik, (3) dimensi ekologi untuk menjamin tetap terpeliharanya kelestarian fungsi lingkungan dan produktivitas ekosistem. Adapun rancangan kebijakan pembangunan dan lingkungan di negara-negara sedang berkembang dan belum berkembang mungkin saja sudah relatif baik, namun implementasinya di lapangan masih jauh dari harapan atau bahkan belum sama sekali dijalankan, termasuk yang terjadi di Indonesia

Implementasi Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia
Tataran Konsep dan Peraturan


Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup selama ini (sejak tahun 1972) sebenarnya aktif terlibat mengikuti dan berperan serta dalam berbagai pertemuan internasional serta KTT tentang pembangunan dan lingkungan yang diadakan oleh PBB maupun organisasi lingkungan atau negara-negara maju lainnya, mulai dari KTT pertama PBB Tahun 1972 di Stockholm (Swedia), Forum antar negara di Nairobi (1982), KTT Bumi di Rio de Jeniro di Brazil (1992) dan terakhir KTT Pembangunan Berkelanjutan di Johanesburg, Afrika Selatan (2002).

Demikian juga dalam konferensi tahunan yang membahas tentang dampak perubahan iklim (COP 1 sampai COP 16) yang diselenggarakan secara bergilir di berbagai negara, Indonesia tidak pernah absen, tak terkecuali dalam konferensi tentang keanekaragaman hayati yang merupakan agenda tidak lanjut dari KTT Bumi di Rio. Beberapa hasil konferensi berupa kesepakatan (konvensi) internasional baik yang mengikat maupun yang tidak mengikat telah ditindaklanjuti (diratifikasi) oleh Indonesia menjadi Peraturan Pemerintah (PP) bahkan Intruksi Presiden (Inpres), seperti Konvensi tentang keanekaragaman hayati, pengurangan emisi karbon (CO2), pengelolaan lahan gambut dan lain-lain.

Oleh karena itu, jika ditinjau dari tingkat keaktifan dan keikutsertaan Indonesia dalam berbagai forum nasional dan internasional tentu saja Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat aktif terlibat dalam pembahasan tentang berbagai isu dan permasalahan lingkungan dan pembangunan baik skala regional maupun internasional (global). Indonesia juga termasuk yang cukup bahkan sangat tanggap dalam meratifikasi berbagai kesepakatan (konvensi maupun protocol) internasional menjadi Peraturan Pemerintah atau Keputusan Menteri, yang dapat diartikan bahwa secara konseptual dan perangkat peraturan sudah sangat siap dan sangat memahami tentang pentingnya menjalankan strategi pembangunan dengan konsep pembangunan berkelanjutan.

Dalam hal ini, Indonesia sejak tahun 1982 sudah mempunyai UU tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (KPPLH), agar lingkungan hidup dikelola secara arif dan bijaksana. Lima belas tahun kemudian (tahun 1997) UU tersebut direvisi menjadi UU No. 23 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Selanjutnya, tahun 2009 (12 tahun kemudian) UU tersebut direvisi lagi menjadi UU.32 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan (PPLH). Ketentuan wajib AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) bagi kegiatan usaha yang diprakirakan akan berdampak penting terhadap lingkungan hidup sudah dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.29 Tahun 1986, yang kemudian direvisi menjadi PP No.51 Tahun 1993 serta direvisi kembali menjadi PP No.27 Tahun 1999.

Berbagai peraturan lainnya yang terkait dengan ketentuan baku mutu lingkungan (BML) pada air, udara dan buangan limbah industri semua juga tersedia dalam bentuk PP maupun Keputusan Menteri (Kepmen) dan Peraturan Menteri (Permen), baik dari Menteri Lingkungan Hidup dan semua Menteri Teknis lainnya (PU, Kehutanan, Pertanian, Industri, Pertambangan dan lain-lain).

Implementasinya di Lapangan

Pertanyaan kita sekarang, apakah dengan sejumlah banyak peraturan yang ada terkait dengan pengelolaan lingkungan dalam bentuk UU, PP, Kepmen, Permen bahkan sampai Perda (Gubernur maupun Bupati) kondisi lingkungan dan sumberdaya alam di Indonesia sejak dimulainya proses pembangunan dulu masa orde baru, Pelita I (1969) sampai orde reformasi (2001-2011). Saat ini kondisi lingkungan dan SDA kita masih terpelihara baik, atau semakin rusak parah?

Jawabannya tentu saja kita sudah tahu semua bahwa dari data yang kita miliki dan dari uraian dalam tulisan terdahulu kondisi lingkungan dan SDA kita seperti: hutan, laut, sungai, tanah, air dan udara sudah mengalami pencemaran dan perusakan dari tingkatan ringan sampai berat. Dengan demikian implementasi strategi Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia baru di tataran konsep dan peraturan perundang-undangan, sedangkan implementasinya di lapangan belum berjalan.

Faktor Penyebab

Pertanyaan kita selanjutnya adalah kenapa strategi Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia yang di tataran konsep dan peraturan sudah cukup memadai tetapi dalam kenyataannya di lapangan belum atau bahkan tidak berjalan? Untuk bisa menjawab pertanyaan tersebut harus kita kenali dulu siapa saja aktor (pelaku) dan stakeholder (para pihak) yang terlibat di lapangan dalam aktivitas pembangunan tersebut.

Ambil saja contoh kasus aktual terkini adalah pengelolaan tambang batubara di Kalimantan Timur, tambang nikel di Nusa Tenggara Barat serta tambang gas Lapindo di Sidoarjo (Jawa Timur). Ketiga contoh kasus tersebut dalam beberapa bulan terakhir rame diberitakan di media massa bahwa masyarakat di sekitar kegiatan eksploitasi tambang melakukan demo kepada pemerintah dan investor menuntut ganti rugi atas keberadaan dan aktivitas para investor tersebut yang dianggap telah merugikan masyarakat, akibat terjadinya pencemaran (lingkungan), kerusakan lahan, bahkan kehilangan lahan dan rumah tempat tinggalnya akibat terendam oleh lumpur Lapindo sehingga pembangunan dalam hal ini berupa pengelolaan sumberdaya alam (tambang) tidak memberi manfaat (dampak positif) apapun kepada masyarakat, baik ekonomi, sosial maupun ekologi (lingkungan).

Bila kita simak kasus tersebut, maka aktor utama dalam hal ini adalah investor (pengusaha) sebagai pemilik modal dan pemerintah sebagai penguasa yang memberikan izin beroperasi. Di sisi lain terdapat masyarakat yang terkena dampak langsung oleh keberadaan aktifitas eksploitasi penambangan tersebut, baik positif maupun negatif. Jika proses (aktifitas) penambangan tersebut dilakukan berdasar prinsip pembangunan berkelanjutan, maka ketiga unsur yang terlibat dan terkait dalam proses penambangan tersebut, yaitu pengusaha, pemerintah dan masyarakat seharusnya sama-sama mendapatkan manfaat (dampak positif) baik secara ekonomi maupun sosial.

Dalam hal ini fakta yang terjadi di lapangan seringkali penguasa dan pengusaha selalu diuntungkan. Sebaliknya, masyarakat seringkali dirugikan atau menjadi korban. Dengan demikian, yang berlaku adalah prinsip ketidakadilan dan ketidaksetaraan. Oleh karena itu, jika kondisi demikian dibiarkan maka dalam jangka panjang yang akan terjadi adalah konflik antara pengusaha-penguasa dengan masyarakat. Sementara itu, kondisi sumberdaya alam akan terus terkuras habis dan rusak.

Solusi

Agar konflik sosial dan perusakan SDA tidak terjadi maka solusi yang bisa ditempuh adalah ketiga aktor dalam pembangunan tersebut, baik pengusaha maupun penguasa (pemerintah) serta masyarakat harus bertindak secara arif dan bijaksana, tunduk dan patuh pada peraturan dan perundang-undangan serta kaidah-kaidah (norma) serta hukum lingkungan yang berlaku. Pemerintah harus berperan sebagai regulator yang adil dan bijaksana, tapi juga tegas. Pengusaha harus peduli dan bertanggung jawab kepada masyarakat, sehingga terjalin komunikasi dan kebersamaan yang harmonis serta produktif antara keduanya. Demikian pula masyarakat harus berperan aktif dalam memantau jalannya pembangunan sehingga kondisi SDA dan lingkungan tetap terjaga kelestariannya.   

No comments:

Post a Comment