PENDAHULUAN
Pembentukan undang-undang adalah
bagian dari ativitas dalam mengatur masyarakat yang terdiri dari gabungan
individu – individu manusia dengan segala dimensinya, sehingga merancang dan
membentuk undang – undang yang dapat di terima masyarakat luas merupakan suatu
pekerjaan yang sulit. Kesulitan ini terletak pada kenyataan bahwa kegiatan
pembentukan undang – undang adalah suatu bentuk komunikasi antara lembaga yang
menetapkan yaitu pegang kekuasaan legislatif dengan rakyar dalam suatu negar dalam
proses pembentukan undang – undang ini. di dalamnya terdapat transfotmasi visi,
misi dan nilai yang di inginkan oleh lembaga pembentuk undang – undang dengan
masyarakat dalam suatu bentuk aturan hukum. Pembentuk undang-undang sejak awal
proses perancangan, telah di tuntu agar undang – undang yang di hasilkan mampu
memenuhi berbagai kebutuhan. Pertama mampu di laksanakan. Kedua dapat di
tegakkan. Ketiga sesuai dengan prinsip – prinsip jaminan hukum dan persamaan
hak-hak sasaran yang di atur dan keempar mampu menyerap aspirasi masyarakt.
Selin berbagai kesulitan tersebut, pembentuk undang-undang berpacu dengan
dinamika perkembangan masyarakat yang terus b berubah sejalan dengan
nilai-nilai yang di anggap baik oleh masyarakat. Jadi pembentukan undang-undang
sebagai bagian dari proses pembentukan sistem hukum yang lebih luas tidaklah
statis, tetapi mengalami dinamika perubahan.
Berbagai kesulitan dalam pembentukan
undang-undang tersebut, tampaknya telah lama di rasakan oleh bangsa indonesia
sebagai negara yang berkembang. Kesulitan – kesulitan dalam pembentukan
undang-undang ini, sekarang lebih di rasakan oleh bangsa indonesia yang tengah
menghadapi berbagai problem sosial. Secara mendasar pada permasalahan
struktural dan kultural yang multi dimensi. Padahal pembentukan undang-undang
ini sekarang dan di masa yang akan datang akan terus mengalami peningkatan
sebagai respon atas tuntutan masyarakat seiring dengan bertambah kompleksnya
perkembangan dan kondisi masyarakat.
Bertalian dengan pembentukan
undang-undang yang partisipatif ini, di dalamnya mengandung dua makna yaitu
proses dan substansi. Proses adalah mekanisme dalam pembentukan undang-undang
yang harus dilakukan secara transparan sehingga masyarakat dapat berpartisipasi
memberikan masukan dalam mengatur suatu persoalan. Subtansi adalah materi yang
di atur harus di tujukan bagi kepentingan masyarakat luas sehingga menghasilkan
suatu undang-undang yang demokrastis berkarakter responsif/populistis. Dengan
demikian, antara partisipasi,transparansi dan demokratisasi dalam pembentukan
undang-undang merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat di pisahkan
dalam suatu negara demokrasi.
Adanya partisipasi masyarakat ini
tidak dapat diabaikan begitu saja oleh lembaga legislatif. Terlebih lagi dengan
dibentuknya mahkamah konstitusi yang salah satu kewenangannya adalah melakukan
pengujian terhadap undang-undang, maka partisipasi masyarakat akan menjadi
lebih bermakna. Masyarakat yang kepentingannya diabaikan dan di ruikan oleh
adanya undang-undang dapat mengajukan tuntutan pengujian terhadap suatu
undang-undang.
Tanpa adanya penataan yang seimbang
antara kekuasaan legislatif dengan tuntutan transparansi,partisipatif dan
demokratisasi, undang-undang yang di hasilkan akan tetap kurang responsif.
Hasil yang di capai tidak akan dapat secara optimal menampung berbagai
kepentingan yang secara riil ada dalam tatanan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
PERMASALAHAN
Dengan mengacu pada pemaparan latar
belakang masalah di muka, dapat dikemukakan satu rumusan masalah pokok yaitu:
1. ApakahPengaruh
partisipasi masyarakat dalam pembentukan undang-undang ?
|
PEMBAHASAN
A. PERUBAHAN UNDANG-UNDANG
Dalam bermacam-macam Hukum Tata
Negara dan Ilmu Politik menjelaskan perubahan konstitusi dapat dilakukan dengan
empat (4) cara, Keempat cara ini bersumber dari pendapat C.F Strong dalam bukunya yang berjudul
Modern political Constitution sebagai
berikut :
1. Oleh kekuasaan Legislatif, tetapi dengan pembatasan tertentu
cara ini dapat dilakukan dalam tiga (3) cara :
·
Bahwa untuk melakukan perubahan terhadap konstitusi
Badan Legislatif dalam sidang-sidangnya harus dihadiri oleh paling sedikit 2/3
atau 4/5 dari jumlah legisltif. Kemudian putusan-putusan tentang perubahan itu
sah apabila usul perubahan disetujui oleh suara terbanyak yang ditentukan 2/3
atau 4/5 yang hadir menyetujui.
·
Sebelum perubahan itu, dilakukan Badan Legislatif
dibubarkan kemudian diadakan pemilu yang baru. Badan Legislatif yang baru akan
bertindak sebagai Konstituante.
·
Untuk mengubah konstitusi dua (2) lembaga perwakilan
rakyat pada negara yang menganut sistem
bicameral harus melakukan sidang gabungan saru badan, keputusan sidang
gabungan itu mengenai perubahan konstitusi sah, apabila disetujui dengan suara
terbanyak dapat dengan suara terbanyak mutlak (1/2 + 1) dan dapat pula suara
terbanyak tertentu, misalnya 2/3 atau 4/5 jumlah suara.
2. Oleh rakyat Melalui Referendum.
Perubahan
konstitusi yang dilakukan oleh rakyat melalui referendum dengan persyaratan
tertentu, apabila mayoritas setuju maka perubahan konstitusi dapat dilakukan,
baik secara keseluruhan, sebahagian atau bagian tertentu saja.
Di Indonesia
referendum di atur dalam UU No 5/1985
sebagai pelaksanaan dari ketetapan MPR
No IV/MPR/1983, kalau kita
perhatikan lembaga referendum ini sebelumya kurang di kenal dalam
penyelenggaraan ketatanegaraan RI.
3. Oleh sejumlah negara bagian, khususnya
negara serikat caranya hanya di kenal pada negara yang di bentuk negara serikat
(federal), oleh pembentuk negara
tersebut dilakukan atas konsensus dari negara-negara bagian yang di atur dalam
suatu konstitusi. Perubahan terhadap konstitusi itu haruslah dilakukan oleh
sejumlah negara bagian dengan syarat-syarat yang telah disepakati. Perubahan
yang diajukan oleh sekurang-kurangnya 2/3 jumlah anggota kedua kongres (DPR dan
SENAT) dengan ratifikasi oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah badan
perwakilan rakyat negara-negara bagian.
4. Dengan Konvensi Ketatanegaraan (by a special
Convention).
Cara ini
dilakukan, apabila untuk mengubah konstitusi harus di bentuk suatu badan khusus
yang diberikan wewenang untuk mengubah konstitusi. Cara ini pernah di atur
dalam UUDS 1950 dan untuk
mengubah bagian UUD harus di bentuk sebuah badan yang dinamakan Majelis Perubahan UUD (pasal 140 UUDS 1950).
Majelis ini
terdiri dari anggota DPRS dan anggota Komite Nasional Pusat yang tidak menjadi
anggota DPRS. Majelis bekerja, apabila ada usul perubahan UUD dengan suatu amanat
presiden kepada majelis dan wewenang dari majelis itu khusus mengubah UUD dan
apabila telah disahkan oleh pemerintah maka tugas majelis berakhir.
Beralih
konstitusi UUD 1945 (proklamasi). Istilah UUD 1945 baru di kenal ketika
diberlakukan kembali UUD 1945 melalui Dekrit
Presiden 9 Juli 1959. ke konstitusi UUD seperti yang di atur dalam
pasal 37. Demikian pula ketika UUD 1945 (proklamasi) berlaku kembali, yang
kemudia di kenal dengan sebutan UUD 1945 yang dijalankan secara murni dan
konsekwen, tidak melalui ketentuan perubahan konstitusi yang di atur dalam pasal 134 yang menyatakan "Konstituante bersama-sama dengan
pemerintah selekas-lekasnya menetapkan UUD RI yang akan menggantikan UUD
ini" dan pasal 140 UUDS
1950 menyatakan :
Ayat I : "segala usul untuk mengubah UUD menunjuk dengan tegas
perubahan yang diusulkan".
Ayat 2 : "Usul perubahan yang telah dinyatakan dengan UU itu oleh
pemerintah dengan amanat presiden disampaikan kepada suatu badan bernama
Majelis Perubahan UUD, yang terdiri dari anggota-anggota DPRS dan
anggota-anggota Komite Nasional Pusat yang tidak menjadi anggota-anggota DPRS.
Ayat 3 ; "yang ditetapkan dalam pasal 66, 72, 74, 75, 91 dan 94
berlaku demikian juga bagi majelis perubahan UUD" .
Ayat 4 : "Pemerintah harus dengan segera mengesahkan rancangan
perubahan UUD yang telah di terima oleh Majelis Perubahan UUD.
Perubahan
dan pembentukan konstitusi yang sesuai dengan ketentuan konstitusi adalah
seperti yang terjadi pada pembentukan UUDS melalui UU No 7/1950, sesuai dengan bunyi pasal 190 UUDS 1950 yaitu : "Dengan tidak mengurangi yang ditetapkan dalam pasal 51 ayat kedua,
maka konstitusi ini hanya dapat di ubah dengan UU Federal dan menyimpang dari
ketentuan-ketentuannya hanya diperkenankan atas kuasa UU Federal, baik dewan
perwakilan maupun senat tidak boleh bermufakat ataupun mengambil keputusan
tentang usul untuk itu, jika tidak sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota
sidang menghadiri rapat". Demikian juga yang terjadi pada perubahan
I - IV UUD 1945 dalam kurun waktu tahun 1999 sampai dengan tahun 2002, merujuk
kepada ketentuan pasal 37 UUD 1945. Sungguhpun pada saat perubahan UUD 1945 itu
ada sebahagian anggota masyarakat yang mengusulkan agar tidak melalui koridor
pasal 37 tersebut, melainkan melalui "Komisi
Konstitusi" yang sengaja di bentuk untuk melakukan amandemem UUD
1945. Keinginan demikia hampir sama seperti keinginan mantan Presiden Soeharto,
yang pernah mengusulkan kepada MPR agar tidak menyerahkan sepenuhnya perubahan
UUD 1945, akan tetapi harus terlebih dahulu melalui referendum. Usulan
pemerintah itu dapat di terima oleh sidang MPR No. IV/MPR/1983 tentang Referendum, yang mengatur hak penentuan usul perubahan UUD ada
pada rakyat yang akan ditentukan melalui referendum.
Secara
teoritis, ketentuan TAP MPR ini merupakan tambahan tahapan dalam proses
perubahan konstitusi. Tahapan adalah tahapan pengesahan usul atau inisiatif
untuk mengubah konstitusi. Jadi, apakah inisiatif mengubah konstitusi itu akan
di terima atau dibatalkan, tergantung kepada hasil keputusan referendum. maka
dengan demikian, MPR tidak boleh lagi secara langsung melakukan perubahan
konstitusi. Ini berarti mengurangi kewenangan MPR yang di atur dalam pasal 3 dan 37 UUD 1945. Terlepas dari penguurangan kewenangan MPR tersebut,
sebenarnya ide referendum itu di pandang lebih demokratis karena lebih banyak
melibatkan suara rakyat dalam memberikan keputusan. Oleh karenanya, dapat
dikatakan bahwa dengan dikeluarkannya TAP MPR tentang referendum tersebut,
berarti secara material telah terjadi perubahan atas pasal 37 UUD 1945.
Dengan
demikian, kesamaan keduanya (Tap MPR No
IV/MPR/ 1983 dan gagasan komisi
konstitusi) adalah sama-sama ingin mengurangi kewenangan MPR, sedangkan
perbedaannya adalah terletak pada latar belakang pemikiran perlunya Komisi
Konstitusi dan Tap MPR tersebut.
Tahapan
pengesahan inisiatif perubahan konstitusi oleh referendum yang muncul melalui
Tap MPR tersebut sekarang telah di adopsi dalam pasal 37 ayat I yang berbunyi : "Usul perubahan pasal-pasal UUD dapat diagendakan dalam sidang MPR
apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR".
Cara Perubahan UUD
1945 Menurut Pasal 37 Sebelum Perubahan.
UUD 1945 mengatur perubahan konstitusinya dalam dua
ketentuan yaitu Pertama,
ketentuan mengatur kewenangan MPR menetapkan UUD dan Kedua, ketentuan yang mengatur cara perubahan UUD yang terdiri
dari persyaratan kuorom dan pengesahan perubahan. Menurut pasal 37, sahnya
perubahan UUD adalah apabila disetujui oleh 2/3 dari jumlah anggota majelis
yang hadir yaitu 2/3 dari jumlah seluruh anggota majelis. Maka dengan demikian,
secara matematis hanya dibutuhkan suara terbesar 2/3 kali 2/3 kali seluruh
jumlah anggota majelis, atau 4/9 atau sama dengan 44,4 % suara dari seluruh
jumlah anggota majelis. Oleh karena persyaratan keabsahan perubahan UUD itu
kurang dari 50 % dari seluruh anggota majelis, maka di lihat dari sisi jumlah
suara, cara demikian itu dapat diklarifikasikan sebagai cara yang mudah.
Sungguhpun demikian, jika di lihat dari sisi
persyaratan kuorm sidang yang harus dihadiri oleh 2/3 (66,66%) dari jumlah
anggota majelis, maka sebenarnya cara perubahan demikian dapat dilakukan
tergolong sulit, karena kurang dari satu orang anggota saja yang tidak hadir
dalam kuorom dinyatakan tidak sah.
Selanjutnya, pelaksanaan perubahan konstitusi itu di
atur dalam Ketetapan MPR NO.
II/MPR/1999 tentang Peraturan
Tata tertib MPR RI. Tap
MPR ini sebenarnya bersifat umum, sebagi pedoman majelis dalam melaksanakan
perubahan UUD. Dalam pasal 29 Tap MPR di atur tingkatan pembicaraan untuk
membahas materi-materi dalam rapat atau sidang MPR. Tingkatan pembicaraan itu
adalah sebagai berikut :
Tingkat I : Pembahasan oleh badan pekerja majelis
terhadap bahan-bahan yang masuk. Hasil dari perubahan tersebut merupakan
rancangan ketetapan/keputusan majelis sebagai bahan pokok pembicaraan tingkat
II.
Tingkat II : Pembicaraan oleh rapat paripurna majelis yang
yang didahului oleh penjelasan pimpinan dan dilanjutkan dengan pemandangan umum
fraksi-fraksi.
Tingkat III : Pembahasan oleh komisi dan panitia Ad Hoc
majelis semua hasil pembicaraan tingkat I dan II. Hasil pembahasan pada tingkat
III merupakan rancangan ketetapan/keputusan majelis.
Tingkat IV : Pengambilan keputusan oleh rapat paripurna
majelis setelah mendengar laporan dari pimpinan komisi/panitia Ad Hoc dan bilamana
perlu dengan kata terakhir dari fraksi-fraksi.
Dengan berpedoman kepada pasal 37 UUD 1945 dan tata tertib tersebut, MPR untuk pertama
kalinya melaksanakan kewenanngnya merubah UUD 1945. Perubahan UUD ini terjadi
pada tahun 1999 sampai dengan tahun 2002. Proses perubahan ini terjadi dengan
urut-urutan sebagi berikut :
Pertama : Pembahasan perubahan UUD oleh
Badan Pekerja MPR yang dilaksanakan oleh Panitia Ad Hoc I (PAH I). Dalam tahap
ini, PAH I menyertakan tim ahli yang terdiri dari para guru besar Hukum Tata
Negara dan ahli politik dari berbagai perguruan tinggi negeri ataupun swasta,
untuk di dengar pandangan-pandangan mereka sehubungan dengan perubahan UUD
1945.
Kedua : pemandangan umum fraksi-fraksi
MPR dalam sidang paripurna MPR atas rancangan UUD hasil badan pekerja.
Ketiga : Pembahasan di Komisi A terhadap
semua hasil pembicaraan tahap pertama dan kedua itu. Hasil pembahasan pada
tahap ini merupakan rancangan/keputusan majelis mengenai draf perubahan UUD
1945. Draf perubahan itu kemudian diajukan oleh Komisi A dalam rapat paripurna
sidang majelis.
Pendapat
terakhir fraksi-fraksi MPR atas rancangan perubahan UUD hasil Komisi A
dan pengambilan putusan atau pengesahan atas rancangan perubahan tersebut.
B. PARTISIPASI MASYARAKAT
Pokok pikiran yang melandasi
perlunya partisipasi masyarakat dikemukakan oleh Hardjasoemantri (1993 : 2- 4),
yaitu :
(1) Memberi informasi
kepada pemerintah
Partisipasi masyarakat sangat
diperlukan untuk memberi pasukan kepada pemerintah tentang masalah yang dapat ditimbulkan
oleh suatu rencana tindakan pemerintah dengan berbagai konseksuensinya. Dengan
demikian, pemerintah akan dapat mengetahui adanya berbagai kepentingan yang
dapat terkena tindakan tersebut yang perlu diperhatikan.
Pengetahuan tambahan dan pemahaman
mengenai aspek tertentu yang diperoleh
dari pengetahuan masyarakat tentang masalah-masalah yang mungkin timbul yang
diperoleh sebagai masukan partisipasi masyarakat bagi proses pengambilan
keputusan dalam bentuk peraturan perundang-undangan, akan dapat meningkatkan
kualitas keputusan tersebut dan dengan demikian partisipasi masyarakat tersebut
akan dapat meningkatkan kualitas tindakan Negara dibidang tersebut.
(2) Meningkatkan
kesediaan masyarakat untuk menerima keputusan seorang warga masyarakat yang
memperoleh kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan
cenderung untuk memperlihatkan kesediaan yang lebih besar guna menerima dan
menyesuaikan diri dengan keputusan tersebut. Dengan demikian, akan dapat banyak
mengurangi kemungkinan timbulnya pertentangan, asal pertisipasi tersebut
dilaksanakan pada waktu yang tepat.
Akan tetapi perlu dipahami, bahwa
suatu keputusan tidak pernah akan memuaskan kepentingan, semua golongan atau
warga golongan masyarakat, namun kesediaan masyarakat untuk menerima keputusan
akan dapat ditingkatkan.
(3) Membantu
perlindungan hukum
Apabila sebuah keputusan akhir
diambil dengan memerhatikan keberatan-keberatan yang diajukan oleh masyarakat
selama proses pengambikan keputusan proses pengambikan keputusan berlangsung,
maka setelah keputusan diambil keberatan dari warga masyarakat akan berkurang
atau kecil kemungkinannya, karena semua alternatif sudah dibicarakan
setidak-tidaknya sampai tingkat tertentu.
Apabila sebuah keputusan dapat
mempunyai konsekuensi begitu jauh, sangat diharapkan setiap orang yang terkena
akibat keputusan itu perlu diberitahu dan dikasih kesempatan untuk mengajukan
keberatan-keberatannya sebelum keputusan itu diambil.
(4) Mendemokrasikan
pengambilan keputusan
Didalam hubungan dengan partisipasi
masyarakat ini, ada pendapat yang menyatakan, bahwa dalam pemerintahan dengan
sistem perwakilan, maka hak untuk melaksanakan kekuasaan ada pada wakil-wakil
rakyat yang di pilih oleh rakyat.
Dengan demikian, tidak ada keharusan
adanya bentuk-bentuk dari partisipasi masyarakat karena wakil rakyat itu
bertindak untuk kepentingan untuk rakyat. Dikemukakan pula argumentasi bahwa
dalm sistem perwakilan, partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan
keputusan akan menimbulkan masalah keabsahan demokrasis, karena warga
masyarakat, kelompok atau organisasi yang turut serta dalam proses pengambilan
keputusan tidaklah dipilih atau diangkat secara demokratis. Terhadap kritik
tersebut diatas, Gundling mengemukakan pendapatnya yaitu :
(1) Bahwa demokrasi
dengan sistem perwakilan adalah salah satu bentuk demokrasi, bukan
satu-satunya.
(2) Bahwa sistem
perwakilan tidak menuntut bentuk-bentuk demokrasi langsung.
(3) Bahwa bukanlah warga
masyarakat, kelompok warga masyarakat, atau organisasi yang sesungguhnya
mengambil keputusan. Mereka hanya berperan serta/berpartisipasi dalam
tahap-tahap persiapan pengambilan kesimpulan.
(4) Monopoli lembaga
negara dan lembaga-lembaganya untuk mengambil keputusan tidaklah dipersoalkan
oleh adanya peran serta masyarakat ini. Peran serta masyarakat/ partisipasi
masyarakat dapatlah dipandang untuk membantu negara dan lembaga-lembaganya guna
melaksanakan tugas dengan cara yang lebih dapat diterima dan berhasil guna.
Di dalam catatan sejarah peraturan
perundang-undangan misalnya dalam undang-undang di Indonesia undang-undang
tentang penanggulangan keadaan bahaya merupakan undang-undang yang paling
banyak menelan korban dan terjadinya insiden pada tanggal 24 september 1999.
Demontrasi masa yang melibatkan ribuan mahasiswa dan rakyat telah membuktikan
besarnya penolakan sekaligus pengorbanan yang harus dibayar dalam menentang
Raperda yang mengadung watak militerisme dan anti demikrasi (Ahmad, 2003 :102).
Departemen dalam negeri belum pernah
melakukan konsultasi publik menyangkut UU 22
Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah. Seperti apa yang dilakukan oleh
sekretaris umum asosiasi DPRD kota Indonesia Tabah Iskandar, bahwa kami menolak
revisi UU 22 Tahun 1999 oleh tim kerhja dipdagri jika tidak didahului
konsultasi publik, supervisi, dan evaluasi karena itulah tahapannya. Demikian
kata Tabah Iskandar yang juga adalah ketua DPRD kota batam usai menyampaikan
pandangan ADEKSI terhadap revisi dimaksudkan
kepada menko polkam Susilo Bambang Yudhoyono dikantor menko polkam 31
januari 2003 (Ahmad, 2003 : 104). Kisah pembentukan peraturan
perundang-undangan yang partisipatif bukanlah hal yang mencengangkan di negeri
ini. Dua kutipan diatas berusaha
mengutip ingatan untuk kembali memberi perhatian terhadap konsekuensi serius
yang bisa timbul dari mondisi demikian.
Sebagai gejala empiris,
sekurang-kurangnya empat undang-undang yang terbentuk akibat proses yang tidak
partisipatif, Yaitu :
(1) Undang-undang atau
peraturan tersebut tidak efektif dalam arti tidak mencapai tujuan yang diharapkan
seperti UU No. 14 Tahun 1992 tentang lalu lintas.
(2) Undang-undang
tersebut tidak implementatif, dalam arti tidak dapat dijalankan atau gagal
sejak dini sebagai contoh undang-undang pemberantasan korupsi Tahun 1999 harus segara di amandemen kurang
dari satu tahun sejak diundangkannya.
(3) Undang-undang atau
peraturan tersebut tidak responsif, yaitu sejak dirancang sampai diundangkan
mendapat penolakan keras dari masyarakat misalnya UUPKB.
(4) Undang-undang atau
peraturan yang bukannya memecahkan masalah sosial, tetapi malah menimbulkan
kesulitan baru di masyarakat, salah satu contohnya yaitu undang-undang yayasan
No. 16 Tahun 2001 yang berlaku sejak 6 Agustus 2002 yang lalu. Akibatnya,
muncul ketegangan hubungan tata pemerintahan, terlambatnya proses perubahan
ekonomi dan politik, meningkatnya skop jangkauan korupsi, semakin terhimpitnya
kehidupan kelompok-kelompok rentan, hingga melayang nyawa manusia.
Meskipun akibat-akibat itu berasal
dari adanya konbinasi masalah yang sangat kompleks, tetapi cara atau proses
pembentukan kebijakan peraturan perundang-undangan atau peraturan daerah tanpa
adanya partisipasi masyarakat memberikan sumbangan besar terhadap segala
permasalahan diatas.
Pada dasarnya partisipasi masyarakat
bukanlah tujuan akhir. Tujuan yang sebenarnya adalah memberikan ruang yang
lebih luas kepada masyarakat umumnya, kususnya bagi kelompok-kelompok
masyarakat yang terpinggirkan atau rentan, agar mampu memberikan pengaruh yang
berarti terhadap proses pemerintahan dalam arti luas mulai dari proses
pengambilam keputusan, pelaksanaan, serta evaluasinya.
Hans (1986 : 138), mengemukakan
keterbukaan dalam prosedur, memungkinkan masyarakat untuk ikut mengetahui (meeweten),
ikut memikirkan (meedenken); bermusyawarah (meespreken); dan
ikut memutuskan dalam rangka pelaksanaan (mebesllssen); serta hak ikut
memutus (medebes lissingsreecht)
Asas keterbukaaan dan peran serta
masyarakat merupakan suatu hal yang amat esensial dalam pembuatan peraturan
perundang-undangan.
Kesempatan masyarakat untuk turut
berpartisipasi di dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan sudah
diakomodasi dalam hukum positif. Penegasan ini diatur dalam pasal 139 ayat (1)
UU No. 32/2004 serta duanutnya asas keterbukaan[1][1] dalam kedua
UU tersebut. Pasal 53 UU No. 10/ 2004 menyatakan : “masyarakat berhak
memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penetapan maupun
pembahasan rancangan undang-undang atau rancangan peraturan daerah”.
C. PROSES PEMBENTUKAN MELIBATKAN
MASYARAKAT
Partisipasi dapat diartikan sebagai
ikutn serta, berperan serta dalam satu kegiatan , mulai dari perencanaan sampai
dengan evaluasi. Partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan peraturan daerah
dapat dikatagorikan sebagai partipasi politik. Oleh Hultington dan Nelson[2][2], partisipasi politik diartikan
sebagai kegiatan warga negara sipil (private kitizen) yang bertujuan
memengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah.
Partisipasi (kamus besar bahasa Indonesia,
2001 :831)berarti ada peran atau keikut sertaan (mengawasi, mengontrol, dan
memengarui) masyarakat dalam suatu kegiatan pembentukan peraturan mulai dari
perencanaan sampai dengan evaluasi pelaksanaan peraturan daerah. Oleh sebab
itu, partisipasi masyarkat termasuk dalam kategori partisipasi politik. Ada
beberapa konsep partisipasi :
1.
Partisipasi sebagai kebijakan
Konsep ini memandang partisipasi
sebagai prosedur konsultasi para pembuat kebijakan kepada masyarakat sebagai
sumber peraturan daerah.
2.
Partisipasi sebagai strategi
Konsep ini melihat partisipasi
sebagai salah satu strategi untuk mendapatkan dukungan nmasyarakat demi
kredibilitas kebijakan yang dikeluarkan pemerintah.
3.
Partisipasi sebahai alat komunikasi. Konsep ini melihat partisipasi sebagai
alat komunikasi bagi pemerintah (sebagaiu pelayan rakyat) untuk mengetahui
keinginan rakyat.
4.
Partisipasi sebagai alat penyelesaian sengketa. Partisipasi sebagai alat
penyelesaian sengketa dan toleransi atas ketidakpercayaan dan kerancuan
yang ada dalam masyarakat.
Apapun konsep partisipasi yang
diterapkan oleh pemerintah, setidaknya keterlibatan masyarakat dapat memberikan
legitimasi terhadap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dan menimbulkan
kepercayaan adanya keberpihakan
pemerintah terhadap kepentingan masyarakat.
Bentuk
partisipasi masyarakat sangat bervariasi, tergantung pada situasi dan kondisi
di suatu tempat dan waktu dalam konsep negara demokrasi dengan sistim
perwakilan, kekuasaan pembentukan UU atau perda hanya ada ditangan kelompok
orang-orang yang telah dipilih melalui pemilihan umum. Didalam konsep ini,
bahwa tiap wakil itu akan bertarung di parlemen demi kepentingan umum dan bila
mereka bertindak sebaliknya, maka kursi yang didudukinya akan serta merta lepas
dalam pemilihan umum yang akan datang. Disinilah titik kontrol yang utama dari
rakyat kepada sang wakil. Disamping itu, dimungkinkan pula adanya kontrol dari
rakyat berupa demokrasi atau bentuk-bentuk pengerahan massa, atau melalui
prosedur hukum.
Konsep
tersebut mengabaikan kenyataan bahwa posisi tawar antara rakyat dan
negara/pemerintah masih tidak seimbang.
Didalam
negara seperti di indonesia ini kontrol dari rakyat melalui pemilihan umum
ternyata kurang berarti. Sumber legitimasi dari rakyat tidak ada lagi dari
rakyat, tetapi ada pada partai politik, modal, kekuatan politik lain yang
dominan.
Kasus
indonesia yaiut institusi politik rakyat yang sudah hancur akibat kebijakan
politik dimasa orde baru yang represif, menjadi sangat mudah dimanipulasi oleh
partai politik dan kekuatan-kekuatan politik dan ekonomi yang dominan sehingga
pengawasan rakyat jadi sangat kecil pengaruhnya (Ahmad, 2003: 106).
Pandangan
tersebut diatas mengabaikan realita sosial yang ada didalam masyarakat itu
sendiri, yaitu bahwa di dalam suatu masyarakat pasti ada kelas-kelas yang satu
sama lain yang berbeda kepentingannya yang mungkin saja bertentangan atau
berhadapan. Selain itu, timpang posisinya ketika berhadapan dengan negara, oleh
karena itu mengakui negara sebagi ruang netral dimana semua kalangan mampu
memberi pengaruhnya secara signifikan adalah sebuah sesat pikir. Kenyataan aktual
yang juga memperlihatkan bahwa wakil rakyat memilki beban ekonomi politik yang
nyata, baik institusional maupun personil.
Situasi ini yang mendorong tindakan-tindakan wakil raktyat dan institusi birokrasi bisa bertolak
belakang dengan kepentingan publik, oleh karena itu monopoli birokrasi dari
parlemen dalam proses pembantukan peraturan sudah tidak mungkin lagi
dipertahankan (Ahmad, 2003: 106-107).
Dengan
demikian, untuk mencapai tujuan Perundang-Undangan tersebut syarrat utama yang
harus dipatuhi adalah keterlibatan rakyat/partisipasi masyarakat di dalam suatu
proses pembentukan kebijakan atau peraturan tersebut mulai dari proses lahirnya
sampai pelaksanaannya di lapangan samapai tahap evaluasi.
Habermas
dalam Hardiman (2001: 46), menyatakan bahwa titik tolak yang dapat menjadi
acuan untuk menata ulang proses tersebut adalah memperluas perdebatan politis
di dalam parlemen ke masyarakat sipil. Bukan hanya aparat negara dan wakil
rakyat, melainkan juga seluruh warga negara berpartisipasi di dalam wacana
politis untuk mengambil keputusan politik bersama. Melalui radikalisasi konsep
negara hukum klasik kedaulatan rakyat bergeser dai proses pengambilan keputusan
di parlemen ke proses partisipasi dalam ruang publik. Kedaulatan rakyat bukanlah substansi yang
membeku dalam perkumpulan para wakil
rakyat, melainkan juga dipelbagai forum
warga negara, organisasi, nonpemerintah, gerakan sosial, atau singkatnya
dimanapun diskursus tentang kepentingan bersama warga negara di lancarkan.
Di dalam
kondisi inilah muncul gagasan sistim demokrasi yang melibatkan partisipasi yang
sekaligus bertujuan untuk meningkatkan kemampuan rakyat yang rendah dari segi ekonomi,
politik, dan sosial.
Konsep
partisipasi masyarakat mengalami pemaknaan yang berbeda-beda sehingga perlu
diperjelas tentang proses yang mana yang dapat di sebut partisipasi dan bukan,
sehingga terjadi kesamaan dan cara pandang
dalam menilai sebuah proses partisipasi di masa lalu, sekarang dan yang
akan datang.
Arenstein
(Ahmad, 2003:108), menyusun model yang
dapat membantu untuk menilai tingkat partisipasi di dalam suatu proses
pembentukan kebijakan atau peraturan secara umum Perundang-Undangan/perda.
Secara umum ada tiga derajat partisipasi masyarakat :
(1)
Tidak partisipatif (non participation);
(2)
Derajat semu (degress of tokenism)
; dan
3)
Kekuatan masyarakat ( degress of citizen power).
Dasar
penentuan derajat, buakan pada seberapa jauh masyarakat telah terlibat dalam
proses pembentukan kebijakan atau program yang dilaksanakan oleh negara, tetapi
seberapa jauh masyarakat dapat menentukan hasil akhir atau dampak dari
kebijakan atau program tersebut. Derajat terbawah terdiri dari dua tingkat
partisipasi, yaitu manipulasi (manipulation) dan terapi (therapy).
Di dalam
tingkat ini partisipasi hanya bertujuan untuk menata masyarakat dan mengobati
luka timbul akibat kegagalan sistim dan mekanisme pemerintahan. Tidak ada
niatan sedikitpun untuk melibatkan masyarakat dalam menyusun kegiatan atau
program pemerintah. Derajat menengah (yang semu), terdiri dari tiga tingkat partisipasi, yaitu :
pemberitahuan (informing); konsulatas (consultation) ; dan
peredaman (placation). Di dalam tahap ini sudah ada perluasan kadar
partisipasi, masyarakat sudah bisa mendengar (tingkat pemberitahuan) dan
didengar (tingkat konsultasi) namun begitu tahap ini belum menyediakan
jaminan yang jelas bagi masyarakat bahwa suara mereka diperhitungkan dalam
penentuan hasil dalam sebuah kebijakan publik. Sedangkan pada tahap peredaman
memang sudah memungkinkan masyarakat pada umumnya, khususnya yang rentan untuk
memberi masukan yang lebih signifikan
dalam penentuan hasil kebijakan publik, namun proses pengambilan
keputusan masih dipegang penuh oleh pemegang kekuasaan.
Derajat
tertinggi terdiri dari tiga tingkat partisipasi yakni kemitraan (partnerships),
delegasi kekuasaan (delegeted power), dan yang teratas adalah kendali
masyarakat (citizen control). Dalam tahap ini partisipasi masyarakat
termasuk yang rentan sudah masuk dalam ruang penentuan proses, hasil dan dampak
kebijakan. Masyarakat sudah bisa bernegosiasi dengan penguasa tradisional dalam
posisi politik yang sejajar (tingkat kemitraan) bahkan lebih jauh mampu
mengarahkan kebijakan karena ruang pengambilan keputusan telah dikuasai (tingkat
delegasi kekuasaan).
Sehingga
pada tahap akhir partisipasi telah sampai pada puncaknya yaitu ketika masyarakat secara politi maupun administratif
sudah mampu mengendalikan proses
pembentukan, pelaksanaan, dan kebijakan tersebut (tingkat kendali masyarakat)
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Bahwa dalam pembuatan undang-undang
yang melibatkan masyarakt. Pada dasarnya suatu bentuk ideal dalam peroses
pembentukan undang-undang yang partisipatif guna melahirkan undang-undang yang
responsif. Semua kekuatan politik secara riil termasuk masyarakat ada di
dalamnya. Akan tetapi karena belum ditopang oleh perangkat peraturan
perundang-undangan yang mengatur partisipasi masyarakat secara memadai. Maka
bentuk yang ideal tersebut belum dapat menghasilkan produk undang-undang yang
sepenuhnya responsif bagi keinginan masyarakat luas.
Saran
Perlu adanya satu pasal yang
mengatur tentang partisipasi masyarakat dalam UU no. 10 tahun 2004 tentang
pembentukan peraturan perundang-undangn dan di tindak lanjuti dengan adanya 3
pasal dalam peraturan tata tertib DPR-DI no.15/DPR RI/I/2004-2005 rasanya masih
belum mencukupi untuk mengatur persoalan.
DAFTAR PUSTAKA
No comments:
Post a Comment