Monday, November 24, 2014

Konsep Teori Kebijakan Publik



A.    Konsep Dasar Kebijakan Publik
Semenjak analisis kebijakan (policy analysis) menjadi disiplin intelektual terapan terhadap masalah publik (public problems), Policy telah menjadi fokus utama (central focus) analisis kebijakan, termasuk pengertian dan subtansi kebijakan. (Leslie A. Pal dalam Joko Widodo, 2007:9).
Isitilah kebijakan publik bukan hal asing bagi kita. Kata policy  sering kita dengar dalam kehidupan sehar-hari dan dalam kegiatan-kegiatan akademik. Istilah policy digunakan secara luas seperti “Kebijakan Ekonomi Indonesia”, “Kebijakan Pendidikan Nasional”, “Kebijakan Impor dan Eksport” dan atau “Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia”.    Atau bisa juga dipakai untuk sesuat yang lebih mikro khususnya  kebijakan dalam pemerintahan seperti “Kebijakan Presiden”, “Kebijakan Menteri”, “Kebijakan Gubernur”, “Kebijakan Bupati/Walikota” dan sebagainya.
Thomas R. Dye (1995) dan James Anderson (1984) yang dikutip Leo Agustino (2008) ada tiga alasan yang melatarbelakangi mengapa kebijakan public perlu dipelajari. Pertama, pertimbangan atau alasan ilmiah (scientific reasons). Kebijakan public dipelajari dalam rangka untuk menambah pengetahuan yang lebih mendalam. Mulai dari asalnya, prosesnya, perkembangannya serta akibat-akibat yang ditimbulkan bagi masyarakat. Kedua, pertimbangan atau alasan professional (professional reasons). Don K. Price (1965:123-135) memberikan pemisahan antara scientific-estate  yang hanya mencari untuk kepentingan ilmu pengetahuan dengan professional-estate, yang berusaha menerapkan ilmu pengetahuan untuk memecahkan masalah sosial secara praktis. Dalam bahasa sederhana studi kebijakan digunakan sebagai alas untuk menerapkan pengetahuan ilmiah dalam rangka memecahkan masalah atau menyelesaikan masalah sehari-hari. Ketiga, pertimbangan atau alasan politis (political reasons). Kebijakan public dipelajari pada dasarny agar setiap perundangan dan regulasi yang dihasilkan dapat tepat guna mencapai tujuan yang sesuai target.
Untuk memudahkan apa itu kebijakan publik, terlebih dahulu kita harus memahami pengertian kebijakan. Secara umum istilah “kebijakan” atau “policy” digunakan untuk menunjuk perilaku seorang aktor (misalnya seorang pejabat, suatu kelompok, maupun suatu lembaga pemerintah) atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu.
Sedangkan Menurut Charles O. Jones istilah kebijakan (policy term) digunakan dalam praktek sehari-hari namun digunakan  untuk menggantikan kegiatan atau keputusan yang sangat berbeda. Istilah ini sering dipertukarkan dengan tujuan (goals),  program, keputusan (decisions), standard, proposal dan grand design.
Sementara pengertian Kebijakan Publik menurut Robert Eyestone dalam bukunya The Theards Of Publik Policy  (1971) mendefenisikan kebijakan publik sebagai “hubungan antara unit pemerintah dengan lingkungannya”. Menurut Dye (1995:1) mendefenisikan kebijakan publik adalah apa yang dipilih oleh pemerintah untuk dikerjakan atau dikerjakan.  Sedangkan Richard Rose (1969) mendefinisikan kebijakan publik sebagai sebuah rangkaian panjang dari banyak atau sedikit kegiatan yang saling berhubungan dan memiliki konsekuensi bagi yang berkepentingan sebagai keputusan yang berlainan.
Definisi lain mengenai kebijakan publik disampaikan Carl Friedrich (1969:79) yang mengatakan kebijakan adalah “serangkaian tindakan/kegiatan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dimana terdapat hambatan-hambatan (kesulitan-kesulitan) dan kemungkinan-kemungkinan (kesempatan-kesempatan) dimana kebijakan tersebut diusulkan agar berguna dalam mengatasinya untuk mencapai tujuan yang dimaksud”.
James Anderson (1984:3) dalam bukunya Public Policy Macking, memberikan defenisi kebijakan public, adalah  “serangkaian kegiatan yang mempunyai maksud/tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang aktor atau sekompok aktor yang berhubungan dengan suatu permasalahan atau suatu hal yang diperhatikan”. Konsep kebijakan ini menitikberatkan pada apa yang sesungguhnya dikerjakan daripada apa yang diusulkan atau dimaksud. Dan hal inilah yang membedakan kebijakan dari suatu keputusan yang merupakan pilihan diantara beberapa alternatif yang ada.
Menurut Anderson, konsep kebijakan publik ini kemudian mempunyai implikasi yakni: pertama, titik perhatian kita dalam membicarakan kebijakan publik berorientasi pada maksud atau tujuan dan bukan perilaku secara serampangan. Kebijakan publik secara luas dalam sistem politik modern bukan sesuatu yang terjadi begitu saja melainkan direncanakan oleh aktor-aktor yang terlibat di dalam  sistem politik. Kedua, kebijakan merupakan arah atau pola tindakan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah dan  bukan merupakan keputusan-keputusan yang tersendiri. Suatu kebijakan mencakup tidak hanya keputusan untuk menetapkan undang-undang mengenai suatu hal, tetapi juga keputusan-keputusan beserta dengan pelaksanannya. Ketiga, kebijakan adalah apa yang sebenarnya dilakukan oleh pemerintah dalam mengatur perdagangan, mengendalikan inflansi, atau mempromosikan perumahan rakyat dan bukan apa yang diinginkan oleh pemerintah.

B.    Tahap-Tahap Kebijakan    
Proses pembuatan kebijakan publik merupakan proses yang kompleks karena melibatkan  banyak proses maupun variabel yang harus dikaji. Oleh karena itu, beberapa ahli politik yang menaruh minat untuk mengkaji kebijakan publik membagi proses-proses penyusunan kebijakan publik ke dalam beberapa tahap. Menurut William Dunn (1999) tahapan-tahapan kebijakan publik adalah sebagai berikut :
1.     Tahap penyusunan agenda
Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda politik. Sebelum masalah-masalah ini berkompetisi terlebih dahulu untuk dapat masuk ke dalam agenda kebijakan. Pada akhirnya, beberapa masalah masuk ke agenda kebijakan para perumus kebijakan. Pada tahap ini suatu masalah mungkin tidak disentuh sama sekali, sementara masalah yang lain ditetapkan menjadi focus pembahasan atau ada pula masalah karena alasan-alasan tertentu ditunda untuk waktu yang lama.
2.     Tahap Formulasi Kebijakan
Masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif  atau pilihan kebijakan (policy alternative/policy options) yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk ke dalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan  yang diambil untuk memecahkan masalah. Pada tahap ini, masing-masing actor akan “bermain” untuk mengusulkan pemecahan masalah terbaik.
3.     Tahap adopsi kebijakan
Dari sekian banyak alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh para perumus kebijakan, pada akhirnya salah satu dari alternatif kebijakan tersebut diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, consensus antara direktur lembaga atau keputusan peradilan.

4.     Tahap Implementasi kebijakan
Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan elit, jika program tersebut tidak diimplementasikan. Oleh karena itu keputusan program kebijakan yang telah diambil sebagai alternative pemecahan masalah harus diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan-badan administrasi maupun agenda-agenda pemerintah di tingkat bawah. Kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang memobilisasikan sumberdaya finansial dan manusia. Pada tahap implementasi ini berbagai kepentingan akan saling bersaing. Beberapa implementasi kebijakan mendapat dukungan para pelaksana (implementors) , namun beberapa yang lain mungkin akan ditentang oleh para pelaksana.
5.     Tahap evaluasi kebijakan
Pada tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi, untuk melihat sejauhmana kebijakan yang dibuat telah mampu memecahkan masalah. Kebijakan publik pada dasarnya dibuat untuk meraih dampak yang diinginkan. Dalam hal ini, memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat.

C.        Aktor dan Pelaku Pembuat Kebijakan Publik
Para pembuat kebijakan adalah orang yang mempunyai wewenang yang sah untuk ikut serta dalam formulasi hingga penetapan kebijakan publik.  Yang termasuk dalam pembuat kebijakan secara normatif adalah legislatif, eksekutif, administratur dan para hakim. Dalam tulisan James Anderson (1979), Charles Lindblom (1980), maupun James P. Lester dan Joseph Steward, Jr (2000), aktor-aktor atau pemeran serta dalam proses pemnbentukan kebijakan dapat dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu para pemeran serta resmi dan para pemeran serta tidak resmi. Yang termasuk kedalam pemeran serta resmi adalah agen-agen pemerintah (birokrasi), presiden (eksekutif), legislative dan yudikatif. Sedangkan yang termasuk dalam kelompok peran serta tidak resmi meliputi kelompok-kelompok kepentingan, partai politik dan warganegara individu.
Secara umum sesungguhnya aktor ini dapat dikategorikan dalam tiga yaitu aktor publik, aktor privat dan aktor masyarakat (civil society). Ketiga aktor ini sangat berperan dalam sebuah proses penyusunan kebijakan publik (Moore 1995:112). Berikut ini disajikan para pemeran dalam perumusan kebijakan publik.


Pemeran  Serta Resmi dalam Perumusan Kebijakan :

1.     Badan-badan administasi (agen-agen pemerintah)
Sistem administrasi di seluruh dunia mempunyai perbedaan dalam hal karakteristik-karakteristik seperti ukuran dan kerumitan, organisasi , struktur hierarkhis dan tingkat otonomi. Walaupun doktrin mengatakan bahwa badan-badan administasi dianggap sebagai badan pelaksana telah diakui secara umum dalam ilmu politik, namun bahwa politik dan administrasi telah bercampur aduk menjadi satu juga telah menjadi aksioma yang diakui kebenarannya. Hal ini terutama didasarkan atas konsep adminsitrasi baru yang diintrodusir oleh George Frederickson melalui bukunya New Publik Administration  (1980) yang tak lagi membahas dikotomi administrasi public dan politik.
        Dalam masyarakat-masyarakat industri yang mempunyai tingkat kompleksitas yang tinggi, badan-badan administrasi sering membuat banyak keputusan mempunyai konsekuensi-konsekuensi politik dan kebijakan yang luas. Hal ini terjadi karena disamping tingkat kompleksitas masyarakat industri itu sendiri, juga disebabkan oleh alasan-alasan teknis, banyaknya masalah kebijakan, kebutuhan untuk melestarikan control serta waktu dan informasi dari para anggota legislative sehingga banyak sekali wewenang yang didelegasikan.

2.     Presiden (eksekutif)
        Presiden sebagai kepala eksekutif mempunyai peran yang penting dalam perumusan kebijakan. Keterlibatan presiden dalam perumusan kebijakan dapat dilihat dalam komisi-komisi presidensial maupun dalam rapat-rapat kabinet. Dalam beberapa kasus, presiden terlibat secara personal dalam perumusan kebijakan, seperti misalnya keterlibatan Presiden Jimmy Carter dalam perumusan kebijakan presiden. Dia suka terlihat lebih aktif dalam memberikan inisiatif pembuatan perundang-undangan dan menggunakan stafnya untuk mempersiapkan lebih banyak peraturan perundang-undangan untuk keperluan congressional review. Selain keterlibatan secara langsung yang dilakukan oleh presiden juga membentuk kelompok-kelompok atau komisi-komisi penasehat yang terdiri dari warganegara swasta maupun pejabat-pejabat yang ditujukan untuk menyelidi kebijakan tertentu dan mengembangkan usul-usul kebijakan.

3.     Lembaga Yudikatif
        Lembaga ini memainkan peran yang besar dalam pembentukan kebijakan di Amerika Serikat. Namun sejauhmana badan ini mempunyai pengaruh di dalam pembentukan kebijakan di Indonesia tentunya memerlukan telaah lebih lanjut, walaupun jika didasarkan pada undang-undang dasar badan ini mempunyai kekuasaan yang cukup besar untuk mempengaruhi kebijakan public melalui pengujian kembali suatu undang-undang atau peraturan.
        Pada dasanya tinjauan yudisial merupakan kekuasaan pengadilan untuk menentukan apakah tindakan-tindakan yang diambil oleh cabang-cabang eksekutif maupun legisaltif sesuai dengan konstitusi atau tidak. Bila keputusan-keputusan tersebut melawan atau bertentangan dengan konstitusi Negara, maka badan yudikatif berhak membatalkan atau menyatakan tidak sah terhadap peraturan atau undang-undang yang telah ditetapkan.

4.     Lembaga Legislatif
Di Amerika Serikat lembaga ini dikenal sebagai kongres. Dalam kasus Indonesia lembaha ini sering kita sebut sebagai DPR. Lembaga ini bersama-sama dengan pihak eksekutif (presiden dan pembantu-pembantunya), memegang peranan yang cukup krusial di dalam perumusan kebijakan. Setiap undang-undang menyangkut persoalan-persoalan public harus mendapatkan persetujuan dari lembaga legislatif. Selain itu keterlibatan langsung legislative dalam perumusan kebijakan juga dapat dilihat dari mekanisme dengar pendapat, penyelidikan-penyelidikan dan kontak-kontak yang mereka lakukan dengan pejabat-pejabat adminsitrasi, kelompok-kelompok kepentingan dan lain sebagainya.

Pemeran Serta Tidak Resmi Dalam Perumusan Kebijakan
        Selain lermbaga-lembaga formal di atas yang terlibat dalam perumusan kebijakan  masih ada elemen lain yang berpartisipasi dalam proses perumusan kebijakan yakni :

1.     Kelompok Kepentingan
    Kelompok ini merupakan pemeran serta tidak resmi yang memainkan peran penting dalam pembentukan kebijakan di hamper semua  Negara. Perbedaan yang mugkin ada tergantung pada apakah Negara-negara tersebut demokratis atau otoriter, modern atau berkembang. Perbedaan itu menyangkut keabsahan serta hubungan antara pemerintah dengan kelompok-kelompok tadi. Dengan demikian dalam system politik demokratis kelompok-kelompok kepentingan akan lebih memainkan peran yang penting dengan kegiatan  yang lebih terbuka dibandingkan dengan sistem  otoriter. Hal ini terjadi karena dalam system politik demokrasi kekebasan berpendapat dilindungi, serta warganegara lebih mempunyai keterlibatan politik . Walaupun dalam kedua system yang disebutkan di atas kelompok-kelompok kepentingan berbeda dalam hal hubungan dan sifat aktivitasnya, namun disemua system tadi kelompok-kelompok kepentingan menjalankan fungsi artikulasi kepentigan yaitu mereka berfungsi menyatakan tuntutan-tuntutan dan memberikan alternative tindakan kebijakan. 
         Menurut Gbariel A. Almond jenis-jenis kelompok kepentingan meliputi : pertama,  Kelompok Anomic : kelompok yang terbentuk diantara unsure-unsur dalam masyarakat secara spontan dan hanya seketika dank arena itu tidak memiliki nilai-nilai dan norma-norma yang mengatur, maka kelompok ini seringa tumpang tindih (Overlap) dengan bentuk-bentuk partisipasi politik non konvesional, seperti demonstrasi,  kerusuhan, tindakan kekerasan politik dan lain-lain. Kedua, kelompok Non Assosiasional: kelompok yang termasuk kategori kelompok masyaralat awam (belum maju) dan tidak terorganisir rapid an kegiatannya bersifat temporer. Wujud kelompok ini antara lain kelompok keluarga, keturunan, etnis, regional yang menyatakan kepentingan secara kandangkala melalui individu-individu, kepala keluarga dan atau pemimpin agama. Ketiga, kelompok Institusional: kelompok formal yang memiliki struktur, visi, misi, tugas dan fungsi serta sebagai artikulasi kepentingan. Contohnya,  Partai Politik, Korporasi Bisnis, Badan Legislatif, Militer, Birokrasi dan lain-lain. Keempat, Kelompok Assosiasional: kelompok yang terbentuk dari masyarakat dengan fungsi untuk mengartikulasi kepentingan anggotanya kepada pemerintah atau perusahaan pemilik modal.   Contohnya, Serikat Buruh, KADIN, Paguyuban, MUI, NU, Muhammadiyah, KWI dan lain-lain.

2.     Partai Politik
        Dalam sistem demokrasi, partai-partai politik memegang peran penting. Dalam sistem tersebut, partai politik digunakan sebagai alat untuk meraih kekuasaan. Hal ini berarti bahwa partai politik  pada dasarnya lebih berorientasi kepada kekuasaan dibandingkan dengan kebijakan publik. Namun demikian peran serta dalam perumusan kebijakan publik cukup besar.
      Dalam masyarakat modern, partai-partai politik seringkali melakukan “agregasi kepentingan”. Partai Politik tersebut berusaha untuk mengubah tuntutan-tuntutan tertentu dari kelompok-kelompok kepentingan menjadi alternative-alternatif kebijakan. Dalam sistem dua partai predominan seperti di Amerika Serikat dan Inggris, keinginan untuk memperoleh dukungan pemilih mengharuskan partai-partai ini untuk memasukkan dalam “paket” kebijakan mereka tuntutan-tuntutan yang mempunyai dukungan luasdari para pemilih atau rakyat serta mencegah kelompok-kelompok yang menonjol untuk menjauhkan diri. Sementara dalam system multi partai seperti di Negara Prancis, partai-partai politik kurang memiliki peran dalam mengagregasikan kepentingan. Mereka biasanya bertindak sebagai wakil-wakil dan kepentingan-kepentingan yang terbatas. Pada umumnya, walaupun partai-partai politik ini mempunyai jangkauan yang lebih luas dibandingkan dengan kelompok-kelompok kepentingan, namun mereka lebih cenderung bertindak sebagai perantara daripada pendukung kepentingan-kepentingan tertentu dalam pembentukan kebijakan. Sedangkan dalam system satu partai, partai politik merupakan kekuatan yang predominan dalam pembentukan kebijakan.

3.     Warganegara Individu
      Dalam pembahasan mengenai pembuatan kebijakan, warganegara individu sering diabaikan dalam hubungannya dengan legislative, kelompok kepentingan serta pemeran serta lainnya yang lebih menonjol. Walaupun tugas pembentukan kebijakan pada dasarnya diserahkan kepada para pejabat public, namun dalam beberapa hal para individu warganegara individu ini masih dapat mengambil peran secara aktif dalam pengambilan keputusan.
      Peran serta warganegara dalam sistem politik, walaupun sistem politik tersebut merupakan sistem politik demokrasi, sering dianggap mempunyai peran serta yang rendah. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa banyak orang yang tidak memberikan suaranya pada waktu pemilihan umum, tidak ikut serta dalam kegiatan partai politik, serta tidak terlibat dalam kelompok-kelompok penekan serta mempunyai perhatian yang rendah terhadap sistem politik.
      Dinegara-negara yang mendasarkan diri pada sistem otoriter, kepentingan-kepentingan dan keinginan-keinginan para warga Negara biasanya merupakan akibat dari kebijakan-kebijakan publik. Para diktator dalam sistem otoriter tetap akan  menaruh perhatian terhadap apa yang menjadi keinginan rakyat agar kekacauan sedapat mungkin diminimalkan. Sementara itu di negara-negara demokratik pemilihan umum barangkali merupakan tanggapan tidak langsung terhadap tuntutan-tuntutan warga Negara.
      Dalam hal ini, Charles Lindblom menyatakan bahwa perbedaan yang paling menonjol antara rezim otoriter dengan rezim demokratik adalah bahwa dalam rezim demokratik para warganegara memilih para pembentuk kebijakan puncak dalam pemilihan-pemilihan yang murni. Beberapa ilmuwan berspekulasi bahwa pemberian suara dalam pemilihan-pemilihan yang murni mungkin merupakan suatu metode yang penting dari pengaruh warganegara dalam pembentukan kebijakan karena hal ini memungkinkan warganegara untuk memilih para pejabat dan sedikit banyak menginstrusikan pejabat-pejabat itu mengenai kebijakan tertentu. Oleh karena itu,  menurut Lindblom  keinginan para warga Negara perlu mendapat perhatian oleh para pembentuk kebijakan. Aturan yang dikemukan oleh Lindblom ini kadang-kadang dinyatakan dalam aphorisme bahwa warga negara mempunyai hak untuk didengar dan para pejabat mempunyai tugas untuk mendengarkan.


No comments:

Post a Comment