ILMU
POLITIK
PENGELOMPOKAN
DEFINISI MENURUT PARA TOKOH
A. Tradisi Klasik (Plato dan
Aristoteles)
Plato hidup pada masa ketika
negara-kota Athena menjadi rebutan dari orang-orang yang tidak memenuhi syarat
untuk memimpin. Plato mempromosikan filsafat politiknya demi memberi arahan
yang benar seputar bagaimana menyeenggarakan kehidupan bernegara.
Bagi Plato, kehidupan negara
yang sempurna akan tercapai jika prinsip-prinsip keadilan ditegakkan. Keadilan
---menurut Plato--- adalah tatanan keseluruhan masyarakat yang selaras dan
seimbang. Masyarakat yang adil adalah masyarakat yang dipersatukan oleh tatanan
yang harmonis, di mana masig-masing anggota memperoleh kedudukan sesuai dengan
kodrat dan tingkat pendidikan mereka.
Negara, bagi Plato, terdiri atas
tiga golongan besar, yaitu (1) para penjamin makanan (pekerja); (2) para
penjaga; dan, (3) para pemimpin. Para pekerja
terdiri atas mereka yang bekerja agar barang-barang kebutuhan manusia dapat
tersedia: para petani, tukang, pedagang, buruh, pengemudi kereta, dan pelaut.
Karena mereka hanya memahami kepentingan mereka sendiri, mereka harus harus
diatur agar hidupnya selaras dengan kepentingan umum oleh para penjaga.
Golongan kedua (para penjaga)
mengabdikan seluruh hidupnya demi kepentingan umum. Untuk itu, golongan penjaga
dilarang untuk memuaskan kepentingan pribadi masing-masing. Mereka dilarang
berkeluarga, wanita dan anak dimiliki bersama, tidak boleh punya milik pribadi,
serta hidup, makan serta tidur bersama-sama. Golongan penjaga 'disapih' sejak
umur 2 tahun, diberi pendidikan yang materinya mengarah pada tertib dan
kebijaksanaan seperti filsafat, gimnastik, dan musik.
Golongan ketiga (para pemimpin)
dipilih di antara para penjaga, khususnya mereka yag paling memahami filsafat
(ahlinya: filosof). Dengan demikian, seorang penguasa bagi Plato harus seorang
filosof-raja. Dengan menguasai filsafat, seorang raja akan mampu memahami
melihat hakikat-hakikat rohani di belakang bayang-bayang inderawi yang selalu
berubah-ubah ini. Hal ini mungkin dilakukan oleh sebab filsuf-raja telah
melepaskan diri dari ikatan-ikat nafsu dan indera serta bebas dari pamrih.
Sebab itu dapat dikatakan ahwa sumber kekuasaan adalah PENGETAHUAN yang dicapai
melalui pendidikan.
Pemikiran Plato mengenai politik
dapat dilihat pada skema berikut :
|
Sarana
|
|
Tujuan
|
Para Penguasa
|
Otoritas
|
→
|
Keadilan
|
(1)
|
(2)
|
||
|
↑
|
|
↓
|
Rakyat
|
Pekerjaan
|
←
|
Potensialitas
|
(4)
|
(3)
|
Keterangan :
Penguasa menggunakan kekuasaan
untuk mencapai kepentingan umum sebagai hasil dari kecerdasan mereka.
Kepentingan umum sebaliknya, merupakan pemenuhan setiap potensi-pontesi yang
ada pada diri individu. Otoritas akan dijalankan oleh filosof-raja yang
memerintah untuk menegakkan keadilan. Keadilan diberikan kepada rakyat untuk
diselenggarakan pada pemenuhan potensi-potensi yang dicapai melalui pekerjaan.
Pekerjaan akhirnya akan menghasilkan sumber-sumber yang perlu untuk otoritas.
Aristoteles (384-322 sM)
mempersamakan tujuan negara dengan tujuan manusia: Menciptakan kebahagiaan
(Eudaimonia). Manusia adalah makhluk sosial sekaligus zoon politikon (makhluk
politik), sebab manusia tidak dapat berbuat banyak demi mencapai kebahagiaan
tanpa bantuan orang lain. Sebab itu, manusia harus mau berinteraksi di dalam
negara (berinteraksi dengan orang lain) demi mencapai kebahagiaan hidup sendiri
dan bersama.
Dengan demikian, tugas negara
bagi Aristoteles pun jelas: Mengusahakan kebahagiaan hidup warganegaranya.
Aristoteles menentang gagasan Plato untuk menyerahkan kekuasaan negara hanya
kepada filosof-raja yang tanpa konstitusi. Sebaliknya, Aristoteles menyarankan
pembetukan suatu negara bernama POLITEIA (negara yang berkonstitusi). Pemimpin
negara adalah orang yang ahli dan teruji kepemimpinannya secara praktis, bukan
filsuf yang hanay duduk di 'menara gading.' Sumber kekuasaan dalam Politeia
adalah hukum.
Bagi Aristoteles, kekuasaan suatu
negara harus berada di tangan banyak orang agar suatu keputusan tidak dibuat
secara pribadi melainkan kolektif. Namun, kekuasaan tersebut jangan berada di
tangan golongan miskin atau kaya, melainkan golongan menengah. Artinya, bentuk
kekuasaanya berada di tengah-tengah antara oligarki dengan demokrasi. Satu hal
penting lain, seluruh penguasa harus takluk kepada hukum. Bagi Aristoteles pun,
negara sama seperti organisme: Ia mampu berkembang dan mati.
Secara sederhana, pemikiran
Aristoteles mengenai politik dapat dilihat pada skema berikut ini :
|
Sarana
|
|
Tujuan
|
Warganegara Individual
|
Pilihan
|
←
|
Kebijaksanaan
(praktis)
|
(4)
|
(3)
|
||
|
↓
|
|
↑
|
Polis (negara)
|
Konstitusi
Campuran
|
→
|
Kebahagiaan
|
(1)
|
(2)
|
Aristoteles menekankan
pentingnya konstitusi campuran yang merupakan aturan dasar kehidupan bernegara.
Kontitusi ini harus menunjuk kebahagiaan setiap individu sebagai hal ideal yang
harus dicapai suatu negara. Kebahagiaan secara praktis diturunkan ke dalam
bentuk kebijaksanaan-kebijaksanaan praktis. Setiap kebijaksanaan menghasilkan
pilihan-pilihan baru bagi para warganegara yang nantinya diwujudkan ke dalam
bentuk konstitusi campuran.
B. Tradisi Abad Pertengahan
(Santo Agustinus, Thomas Aquinas, dan Martin Luther)
Santo Agustinus (13
Nopember 354 M - 28 Agustus 430 M)
Agustinus menulis magnum
opus-nya De Civitate Dei (Kota Tuhan). Ia membagi negara ke dalam dua
substansi: Sekuler dan Surgawi. Negara sekuler (diaboli) adalah negara yang
jauh dari penyelenggaraan hukum-hukum Tuhan, sementara negara surgawi
sebaliknya. Negara Surgawi (disebut pula negara Allah) ditandai oleh
penjunjungan tinggi atas kejujuran, keadilan, keluhuran budi, serta keindahan.
Negara sekuler ditandai oleh kebohongan, pengumbaran hawa nafsu, ketidakadilan,
penghianatan, kebobrokan moral, dan kemaksiatan. Konsepsi negara surgawi dan
diaboli dianalogikan Agustinus seperti kisah Kain dan Habel. Perilaku Kain yang
negatif mencerminkan pengumbaran hawa nafsu, sementara perilaku Habel
mencerminkan ketaatan pada Tuhan.
Santo Thomas Aquinas
(1225-1274 M).
Magnum opus Aquinas adalah
"Summa Theologia." Berbeda dengan Agustinus, Aquinas menyatakan bahwa
negara adalah sama sekali sekuler. Negara adalah alamiah sebab tumbuh dari
kebutuhan-kebutuhan manusia yang hidup di dunia. Namun, kekuasaan untuk
menjalankan negara itulah justru yang berasal dari Hukum Tuhan (Divine Law).
Sebab itu, kekuasaan harus diperguakan sebaik-baiknya dengan memperhatikan
hukum Tuhan.
Penguasa harus ditaati selama ia
mengusahakan terselanggaranya keptingan umum. Jika penguasa mulai melenceng,
rakyat berhat untuk mengkritik bahkan menggulingkannya. Namun, Aquinas
menyarakankan "Jangan melawan penguasa yang tiran, kecuali sungguh-sungguh
ada seseorang yang mampu menjamin stabilitas setelah si penguasa tiran tersebut
digulingkan."
Martin Luther (1484-1546
M)
Tahun 1517 memberontak terhadap
kekuasaan gereja Roma. Sebab-sebab pemberontakannya adalah mulai korupnya
kekuasaan Bapa-Bapa gereja, isalnya mengkomersilkan surat pengampunan dosa (surat Indulgencia). Luther juga meulai
prithatin akan gejala takhayulisme dan mitologisasi patung-patung orang-orang
suci gereja. Keprihatinan lain Luther adalah anggapan suci yang berlebihan atas
para pemuka agama, sebab sesungguhnya mereka pun manusia biasa.
Sebab itu, berbeda dengan
pemikiran Katolik pertengahan, Luther menyarakan pemisahan kekuasaan gereja
(agama) dengan kekuasaan negara (sekuler). Luther menuntut Paus agar mengakui
kekuasaan para raja dengan tidak mengintervensi penyelenggaraan kekuasaan
dengan dalih-dalih penafsiran kitab suci. Akhirnya, gereja harus ditempatkan di
bawah pengawasan negara. Penyembahan Tuhan lalu dijadikan penghayatan oleh
subyek bukan terlembaga seperti gereja Katolik.
Secara umum, pemikiran
Agustinus, Aquinas, dan Luther berada dalam konsep umum teokrasi (pemerintahan
berdasarkan prinsip-prinsip ketuhanan). Secara sederhana, dapat dirangkum ke
dalam bagan berikut :
|
Sarana
|
|
Tujuan
|
Yang Mengatur
|
Negara Manusia
(akal)
|
←
|
Masyarakat Baik
Sebagai Kota Tuhan (wahyu)
|
(2)
|
(1)
|
||
|
↓
|
|
↑
|
Yang Diatur
|
Kepatuhan Pada
Hukum Positif
|
→
|
Kejayaan (Grace)
|
(3)
|
(4)
|
Keterangan :
Wahyu turun dari Tuhan. Dari
wahyu muncul nalar, dan dari nalar tampil hukum alam. Dari hukum alam maka
lahir hukum praktis yang mengatur harta benda, warisan, dinas militer, dan
kewajiban-kewajiban lain. Hukum praktis ini dibuat oleg rakyat dan disebut
hukum positif, yaitu hukum yang menunjukkan apa apa yang harus dilakukan dan
bagaimana melakukannya. Hukum ini dimaksudkan demi menciptakan kejayaan
(grace).
C. Tradisi Pencerahan
(kembali ke persoalan duniawi)
Niccolo Machiavelli
(1469-1527 M).
Dalam magnum opus-nya "Il
Principe" (sang pangeran), Machiavelli menandaskan bahwa kekuasaan
merupakan awal dari terbentuknya negara. Negara adalah simbol kekuasaan politik
tertinggi yang sifatnya mencakup semua dan mutlak. Berbeda dengan pemikiran
Agustinus, Aquinas, dan Luther, bagi Machiavelli kekuasaan ada di dalam dirinya
sendiri, mutlak, bukan berasal dari Tuhan atau doktrin agama manapun. Justru,
agama, moral bahkan Tuhan, dijadikan alat untuk memperoleh kekuasaan oleh para
penguasa.
Il Principe menceritakan soal
apa yang seharusnya dilakukan seorang raja untuk mempertahankan atau menambah
kekuasaannya. Raja harus licik sekaligus jujur. Tujuan seorang penguasa adalah
mempertahankan kekuasaan dan untuk itu, ia harus menyelenggarakan kesejahteraan
rakyat secara umum agar si penguasa tersebut semakin dicintai dan didukung
rakyat agar terus berkuasa.
Thomas Hobbes (1588-1679
M).
Magnum opus-nya Thomas Hobbes
adalah "Leviathan." Bagi Hobbes, manusia adalah serigala bagi
sesamanya (homo homini lupus), sebab manusia secara mendasar memiliki
naluri-naluri 'buas' di dalam dirinya. Situasi dalam masyarakat sebelum adanya
negara adalah Bellum Omnium Contra Omnes (perang semua lawan semua). Untuk
mengatasi situasi perang tersebut perlu dibentuk negara guna menciptakan
stabilitas dan kedamaian.
Hobbes berbeda dengan
Aristoteles sebab memperbolehkan pemerintahan tanpa konstitusi. Bagaimana raja
terjaga dari kemungkinan penyelewengan kekuasaan? Hobbes menjawa: "Tidak
mungkin sebab raja dituntun oleh hukum moral di alam dirinya!"
John Locke (1632-1704 M)
Magnum opusnya John Locke
"Two Treatises of Government." Menurut Locke, manusia pada dasarnya
adalah baik, tetapi ia berangsur-angsur memburuk perilakunya karena menjaga
harta milik dari jarahan individu lain. Sebab itu, negara dibutuhkan untuk menjamin
hak milik pribadi.
Namun, negara yang dibentuk
harus berdasarkan konstitusi dan kekuasaan yang ada harus dibeda-bedakan. Locke
berbeda dengan Hobbes, bahwa kekuasaan seorang raja harus dibatasi. Dan tidak
hanya itu, Locke menyarankan adanya 3 bentuk kekuasaan yang terpisah, yaitu :
- Legislatif (pembuat UU)
- Eksekutif (pelaksana UU)
- Federatif (hubungan dengan luar negeri) ---- sementara dipegang eksekutif.
Locke menyarankan
diselenggarakannya demokrasi perwakilan, di mana wakil-wakil rakyat yang
membuat undang-udang. Namun, "rakyat" yag diwakili tersebut adalah
laki-laki, dan berasal dari kelas borjuis.
Montesquieu (1689-1755 M).
Magnum opus dari Montesquieu
adalah "The Spirit of the Laws." Buku ini terdiri atas 31 buku yang
dibagi ke dalam 6 bagian, dengan rincian berikut :
- hukum secara umum dan bentuk-bentuk pemerintahan
- pengaturan militer dan pajak
- ketergantugan adat kebiasaan atas iklim dan kondisi alam suatu wilayah
- perekonomian.
- agama
6. uraian tentang hukum Romawi,
Perancis, dan Feodalisme.
Untuk menjamin kebebasan
warganegara, Montesquieu merasa perlu untuk memisahkan tiga jenis kekuasaan,
yaitu Legislatif (membuat UU), Eksekutif (melaksanakan UU), dan Yudikatif
(mengawasi pembuatan dan pelaksanaan UU).
Jean Jacques Rousseau
(1712-1778 M).
Magnum opus Rousseau adalah
"The Social Contract." Dalam karya tersebut, Rousseau menyebutkan
bahwa negara terbentuk lewat suatu perjanjian sosial. Artinya,
individu-individu dalam masyarakat sepakat untuk menyerahkan sebagian hak-hak,
kebebasan dan kekuasaan yang dimilikinya kepada suatu kekuasaan bersama.
Kekuasaan bersama ini kemudian dinamakan negara.
Negara berdaulat selama diberi
mandat oleh rakyat. Kedaulatan tersebut akan tetap absah selama negara tetap
menjalankan fungsi sesuai kehendak rakyat. Dalam menjalankan hidup keseharian
negara, Rousseau tidak menghendaki demokrasi perwakilan melainkan lagsung.
Artinya, setiap masyarakat tidak mewakilkan kepentinga politiknya pada
seseorang atau sekelompok orang, tetapi sendiri melakukannya di kehidupan
publik. Masing-masing rakyat datang ke pertemuan umum dan menegosiasikan
kepentingannya dengan individu lain.
Secara umum, pendekatan filsafat
politik tradisi pencerahan dapat dilihat pada bagan berikut :
|
Sarana
|
|
Tujuan
|
Para Penguasa
|
Kekuasaan
|
→
|
Stabilitas dan
Ketertiban
|
(3)
|
(4)
|
||
|
↑
|
|
↓
|
Yang Dikuasai
|
Dukungan
|
←
|
Hak-Hak
|
(2)
|
(1)
|
Keterangan :
Hal paling penting dalam tradisi
pencerahan adalah hak-hak individu manusia (bukan Tuhan atau masyarakat). Untuk
menjamin terselenggaranya hak tersebut, mereka memberi dukungan pada seseorang
atau sekelompok orang untuk mengatur mereka. Dukungan melahirkan kekuasaan, dan
kekuasaan demi menjaga stabilitas dan ketertiban agar setiap individu mampu
menikmati hak-hak mereka dengan rasa aman.
D. Tradisi Modern
Georg Wilhelm Friedrich
Hegel
Magnum Opus-nya : "The
Phenomenology of Mind." Menurut Hegel ada satu kekuatan absolut yang
sedang bekerja di dunia ini. Kekuatan tersebut ia sebut Ide Mutlak. Ide mutlak
bergerak dalam sejarah dan bentuk yang paling sempurna adalah negara. Negara
berasal dari gerak dialektis (pertentangan) di tengah masyarakat. Pertentangan
mengalami penyelesaian melalui media terbentuk dan terselenggaranya negara.
Dengan demikian, negara adalah bentuk tertinggi pengorganisasian manusia dan ia
mengatasi kepentingan-kepentingan individu. Kepentingan negara harus
didahulukan ketimbang yang terakhir.
Karl Heinrich Marx
Magnum opus-nya Manifesto
Komunis (bersama Friedrich Engels). Marx (murid Hegel) menentang gurunya . Ia
menyatakan bahwa negara cuma sekadar alat dari kelas 'kaya' ekonomis untuk
mengisap kelas 'miskin' (proletar). Dengan adanya negara, penindasan kelas
pertama atas yang kedua berlanjut. Penindasan hanya dapat dihentikan jika
negara dihapuskan. Pengahapusan negara melalui revolusi proletariat.
John Stuart Mill
Magum opusnya "On Liberty." Mill amat
menjunjung tinggi kehidupan politik yang negosiatif. Baginya, negara muncul
hanya sebagai instrumen untuk menjamin kebebasan individu. Bagi Mill, hal yang
harus diperbuat negara adalah menciptakan Greatest Happines for Greates Number
(kebahagian terbesar untuk jumlah yang terbesar). Bagi Mill, dengan demikian,
prinsip mayoritas harus dijunjung tinggi dalam suatu negara. Baginya, yang
'banyak' harus didahulukan ketimbang yang sedikit.
Pendekatan Institusional
Pendekatan filsafat politik
menekankan pada ide-ide dasar seputar dari mana kekuasaan berasal, bagaimana
kekuasaan dijalankan, serta untuk apa kekuasaan diselenggarakan. Pendekatan
institusional menekankan pada penciptaan lembaga-lembaga untuk mengaplikasikan
ide-ide ke alam kenyataan.
Kekuasaan (asal-usul, pemegang,
dan cara penyelenggaraannya) dimuat dalam konstitusi. Obyek konstitusi adalah
menyediakan UUD bagi setiap rezim pemerintahan. Konstitusi menetapkan kerangka
filosofis dan organisasi, membagi tanggung jawab para penyelenggara negara,
bagaimana membuat dan melaksanakan kebijaksanaan umum.
Dalam konstitusi dikemukakan
apakah negara berbentuk federal atau kesatuan, sistem pemerintahannya berjenis
parlementer atau presidensil. Negara federal adalah negara di mana otoritas dan
kekuasaan pemeritah pusat dibagi ke dalam beberapa negara bagian. Negara
kesatuan adalah negara di mana otoritas dan kekuasaan pemerintah pusat
disentralisir.
Badan pembuat UU (legislatif)
berfungsi mengawasi penyelenggaraan negara oleh eksekutif. Anggota badan ini
berasal dari anggota partai yang dipilih rakyat lewat pemilihan umum.
Badan eksekutif sistem
pemerintahan parlementer dikepalai Perdana menteri, sementara di sistem
presidensil oleh presiden. Para menteri di
sistem parlementer dipilih perdana menteri dari keanggotaan legislatif,
sementara di sistem presidensil dipilih secara prerogatif oleh presiden.
Badan Yudikatif melakukan
pengawasan atas kinerja seluruh lembaga negara (legislatif maupun eksekutif).
Lembaga ini melakukan penafsiran atas konstitusi jika terjadi persengketaan
antara legislatif versus eksekutif.
Lembaga asal-muasal pemerintahan
adalah partai politik. Partai politik menghubungkan antara kepentingan
masyarakat umum dengan pemerintah via pemilihan umum. Di samping partai,
terdapat kelompok kepentingan, yaitu kelompok yang mampu mempengaruhi keputusan
politik tanpa ikut ambil bagian dalam sistem pemerintahan. Terdapat juga
kelompok penekan, yaitu suatu kelompok yang secara khusus dibentuk untuk
mempengaruhi pembuatan kebijaksanaan umum di tingkat parlemen.
Dalam menjalankan fungsinya,
eksekutif ditopang oleh (administrasi negara). Ia terdiri atas
birokrasi-birokrasi sipil yang fungsinya elakukan pelayanan publik.
Pendekatan Behavioral
Jika pendekatan
Institusionalisme meneliti lembaga-lembaga negara (abstrak), pendekatan
behavioralisme khusus membahas tingkah laku politik individu. Behavioralisme
menganggap individu manusia sebagai unit dasar politik (bukan lembaga, seperti
pendekatan Institusionalisme). Mengapa satu individu berperilaku politik
tertentu serta apa yang mendorong mereka, merupakan pertanyaan dasar dari
behavioralisme.
Misalnya, behavioralisme
meneliti motivasi apa yang membuat satu individu ikut dalam demonstrasi, apakan
individu tertentu bertoleransi terhadap pandangan politik berbeda, atau mengapa
si A atau si B ikut dalam partai X bukan partai Y?
Pendekatan Plural
Pendekatan ini memandang bahwa
masyarakat terdiri atas beraneka ragam kelompok. Penekanan pendekatan
pluralisme adalah pada interaksi antar kelompok tersebut. C. Wright Mills pada
tahun 1961 menyatakan bahwa interaksi kekuasaan antar kelompok tersusun secara
piramidal. Robert A. Dahl sebaliknya, pada tahun 1963 menyatakan bahwa
kekuasaan antar kelompok relatif tersebar, bukan piramidal. Peneliti lain, yaitu Floyd Huter menyatakan
bahwa karakteristik hubungan antar kelompok bercorak top-down (mirip seperti
Mills).
Pendekatan Struktural
Penekanan utama pendekatan ini
adalah pada anggapan bahwa fungsi-fungsi yang ada di sebuah negara ditentukan
oleh struktur-struktur yang ada di tengah masyarakat, buka oleh mereka yang
duduk di posisi lembaga-lembaga politik. Misalnya, pada zaman kekuasaan Mataram
(Islam), memang jabatan raja dan bawahan dipegang oleh pribumi (Jawa). Namun,
struktur masyarakat saat itu tersusun secara piramidal yaitu Belanda dan Eropa
di posisi tertinggi, kaum asing lain (Cina, Arab, India)
di posisi tengah, sementara bangsa pribumi di posisi bawah. Dengan demikian,
meskipun kerajaan secara formal diduduki pribumi, tetapi kekuasaan dipegang
oleh struktur teratas, yaitu Belanda (Eropa).
Contoh lain dari strukturalisme
adalah kerajaa Inggris. Dalam analisa Marx, kekuasaan yang sesungguhnya di
Inggris ukan dipegang oleh ratu atau kaum bangsawasan, melainkan kaum kapitalis
yang 'mendadak' kaya akibat revolusi industri. Kelas kapitalis inilah (yang
menguasai perekonomian negara) sebagai struktur masyarakat yang benar-benar
menguasai negara. Negara, bagi Marx, hanya alat dari struktur kelas ini.
Pendekatan Developmental
Pendekatan ini mulai populer
saat muncul negara-negara baru pasca perang dunia II. Pendekatan ini menekankan
pada aspek pembangunan ekonomi serta politik yang dilakukan oleh negara-negara
baru tersebut. Karya klasik pendekatan ini diwakili oleh Daniel Lerner melalui
kajiannya di sebuah desa di Turki pada tahun 1958. Menurut Lerner, mobilitas
sosial (urbanisasi, literasi, terpaan media, partisipasi politik) mendorong
pada terciptanya demokrasi.
Karya klasik lain ditengarai
oleh karya Samuel P. Huntington dalam "Political Order in Changing
Society" pada tahun 1968. Karya ini membantah kesimpulan Daniel Lerner.
Bagi Huntington, mobilitas sosial tidak secara linear menciptakan demokrasi,
tetapi dapat mengarah pada instabilitas politik. Menurut Huntington, jika
partisipasi politik tinggi, sementara kemampuan pelembagaan politik rendah,
akan muncul situasi disorder.[20] Bagi Huntington, hal yang harus segera
dilakukan negara baru merdeka adalah memperkuat otoritas lembaga politik
seperti partai politik, parlemen, dan eksekutif.
Kedua peneliti terdahulu berbias
ideologi Barat. Dampak dari ketidakmajuan negara-negara baru tidak mereka
sentuh. Misalnya, negara dengan sumberdaya alam makmur megapa tetap saja
miskin. Penelitian jenis baru ini diperkenalkan oleh Andre Gunder Frank melalui
penelitiannya dalam buku "Capitalism and Underdevelopment in Latin America. Bagi Frank, penyebab terus miskinnya
negara-negara 'dunia ketiga' adalah akibat :
- modal asing
- perilaku pemerintah lokal yang
korup
- kaum borjuis negara satelit
yang 'manja' pada pemerintahnya
Frank menyarankan agar
negara-negara 'dunia ketiga' memutuskan seluruh hubungan dengan negara maju
(Barat)
Referensi :
·
Carlton Clymer Rodee, et al., Pengantar Ilmu
Politik, cet.5, (Jakarta:
Rajawali Press, 2002).
·
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah
Pengantar Populer, (Jakarta: Sinar Harapan, 1995).
·
Michael G. Roskin, et al., Political Science: An
Introduction, Fifth Edition, (New Jersey: Prentice-Hall Inc., 1994).
·
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2000).
Robert E. Goodin and Hans-Dieter Klingemann, A New Handbook of Political
Science, (New York: Oxford University Press, 1996).
·
Ronald H. Chilcote, Theories of Comparative
Politics: The Search for a Paradigm, (Boulder, Colorado: Westview Press, 1981).
·
Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, (Jakarta:
Rajawali, 1997).
Footnote:
·
[1] Carlton Clymer Rodee, et al., Pengantar Ilmu
Politik, cet.5, (Jakarta:
Rajawali Press, 2002), h. 2-3.
·
[2] Robert E. Goodin and Hans-Dieter Klingemann, A
New Handbook of Political Science, (New York: Oxford University Press, 1996),
p.7.
·
[3] Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat,
(Jakarta: Rajawali, 1997), h.29.
·
[4] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah
Pengantar Populer, (Jakarta: Sinar Harapan, 1995), h.293.
·
[5] Ronald H. Chilcote, Theories of Comparative
Politics: The Search for a Paradigm, (Boulder, Colorado: Westview Press, 1981),
p..57
·
[6] Didasarkan atas Robert E. Goodin and
Hans-Dieter Klingemann, op.cit., p.103.
·
[7] Bidang-bidang ini merujuk pada Robert E. Goodin
and Hans-Dieter Klingemann, op.cit.. Seluruh bab.
·
[8] Terapan keenam pendekatan ini mengacu kepada
David E. Apter, Pengantar Analisa Politik, (Jakarta: Rajawali, 1985).
·
[9] Franz Magnis-Suseno, Etika Politik, (Jakarta:
Gramedia, 1999), h. 187-8.
·
[10] J.H. Rapar, Filsafat Politik Plato,
Aristoteles, Augustinus, Machiavelli, (Jakarta:
Rajawali Press, 2001), h.158-184.
·
[11] Mengacu pada Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik
Barat, (Jakarta:
Graedia, 2001).
·
[12] Lee Cameron McDonald, Western Political Theory
Part 2: From Machiavelli to Burke, (Pomona: Harcourt race Jovanovich, 1968),
p.194-207. Bahasan yang cukup populer (berupa cerita gambar) dapat dilihat
dalam Pax Benedanto, Politik Kekuasaan menurut Niccolo Machiavelli : Il
Principe, (Jakarta: Gramedia, 1999). Seluruh buku.
·
[13] Karl Marx dan Friedrich Engels, Manifesto
Partai Komunis, (Semarang:
ISEA, 2002). Seluruh buku.
·
[14] David E. Apter, Pengantar Analisa Politik,
(Jakarta: Rajawali, 1985), h.245.
·
[15] S.P. Varma, Teori Politik Modern, (Jakarta:
Rajawali Press, 1999), h. 94-102
·
[16] David E. Apter, Pengantar Analisa Politik,
(Jakarta: Rajawali, 1985), h.465-467. Lihat juga Ronald H. Chilcote, Theories
of Comparative Politics: The Search for a Paradigm, (Boulder, Colorado:
Westview Press, 1981), p.358.
·
[17] Robert A. Dahl. (ed.), Regimes and
Oppositions., (Yale University Press, 1974). Bab pendahuluan.
·
[18] Ronald H. Chilcote, Theories of Comparative
Politics: The Search for a Paradigm, (Boulder, Colorado: Westview Press, 1981),
p.358.
·
[19] Ronald H. Chilcote, Theories of Comparative
Politics: The Search for a Paradigm, (Boulder, Colorado: Westview Press, 1981),
p.195-6.
·
[20] Samuel P. Huntington. 1968. Political Order in
Changing Societies. New Haven:
Yale University Press. p.5.
·
[21] Ronald H. Chilcote, Theories of Comparative
Politics: The Search for a Paradigm, (Boulder, Colorado: Westview Press, 1981),
p..290-1
No comments:
Post a Comment