Thursday, February 13, 2014

ILMU POLITIK




ILMU POLITIK

PENGELOMPOKAN DEFINISI MENURUT PARA TOKOH
A. Tradisi Klasik (Plato dan Aristoteles)
Plato hidup pada masa ketika negara-kota Athena menjadi rebutan dari orang-orang yang tidak memenuhi syarat untuk memimpin. Plato mempromosikan filsafat politiknya demi memberi arahan yang benar seputar bagaimana menyeenggarakan kehidupan bernegara.
Bagi Plato, kehidupan negara yang sempurna akan tercapai jika prinsip-prinsip keadilan ditegakkan. Keadilan ---menurut Plato--- adalah tatanan keseluruhan masyarakat yang selaras dan seimbang. Masyarakat yang adil adalah masyarakat yang dipersatukan oleh tatanan yang harmonis, di mana masig-masing anggota memperoleh kedudukan sesuai dengan kodrat dan tingkat pendidikan mereka.
Negara, bagi Plato, terdiri atas tiga golongan besar, yaitu (1) para penjamin makanan (pekerja); (2) para penjaga; dan, (3) para pemimpin. Para pekerja terdiri atas mereka yang bekerja agar barang-barang kebutuhan manusia dapat tersedia: para petani, tukang, pedagang, buruh, pengemudi kereta, dan pelaut. Karena mereka hanya memahami kepentingan mereka sendiri, mereka harus harus diatur agar hidupnya selaras dengan kepentingan umum oleh para penjaga.
Golongan kedua (para penjaga) mengabdikan seluruh hidupnya demi kepentingan umum. Untuk itu, golongan penjaga dilarang untuk memuaskan kepentingan pribadi masing-masing. Mereka dilarang berkeluarga, wanita dan anak dimiliki bersama, tidak boleh punya milik pribadi, serta hidup, makan serta tidur bersama-sama. Golongan penjaga 'disapih' sejak umur 2 tahun, diberi pendidikan yang materinya mengarah pada tertib dan kebijaksanaan seperti filsafat, gimnastik, dan musik.
Golongan ketiga (para pemimpin) dipilih di antara para penjaga, khususnya mereka yag paling memahami filsafat (ahlinya: filosof). Dengan demikian, seorang penguasa bagi Plato harus seorang filosof-raja. Dengan menguasai filsafat, seorang raja akan mampu memahami melihat hakikat-hakikat rohani di belakang bayang-bayang inderawi yang selalu berubah-ubah ini. Hal ini mungkin dilakukan oleh sebab filsuf-raja telah melepaskan diri dari ikatan-ikat nafsu dan indera serta bebas dari pamrih. Sebab itu dapat dikatakan ahwa sumber kekuasaan adalah PENGETAHUAN yang dicapai melalui pendidikan.



Pemikiran Plato mengenai politik dapat dilihat pada skema berikut :

Sarana

Tujuan
Para Penguasa
Otoritas
Keadilan
(1)
(2)


Rakyat
Pekerjaan
Potensialitas
(4)
(3)
Keterangan :
Penguasa menggunakan kekuasaan untuk mencapai kepentingan umum sebagai hasil dari kecerdasan mereka. Kepentingan umum sebaliknya, merupakan pemenuhan setiap potensi-pontesi yang ada pada diri individu. Otoritas akan dijalankan oleh filosof-raja yang memerintah untuk menegakkan keadilan. Keadilan diberikan kepada rakyat untuk diselenggarakan pada pemenuhan potensi-potensi yang dicapai melalui pekerjaan. Pekerjaan akhirnya akan menghasilkan sumber-sumber yang perlu untuk otoritas.
Aristoteles (384-322 sM) mempersamakan tujuan negara dengan tujuan manusia: Menciptakan kebahagiaan (Eudaimonia). Manusia adalah makhluk sosial sekaligus zoon politikon (makhluk politik), sebab manusia tidak dapat berbuat banyak demi mencapai kebahagiaan tanpa bantuan orang lain. Sebab itu, manusia harus mau berinteraksi di dalam negara (berinteraksi dengan orang lain) demi mencapai kebahagiaan hidup sendiri dan bersama.
Dengan demikian, tugas negara bagi Aristoteles pun jelas: Mengusahakan kebahagiaan hidup warganegaranya. Aristoteles menentang gagasan Plato untuk menyerahkan kekuasaan negara hanya kepada filosof-raja yang tanpa konstitusi. Sebaliknya, Aristoteles menyarankan pembetukan suatu negara bernama POLITEIA (negara yang berkonstitusi). Pemimpin negara adalah orang yang ahli dan teruji kepemimpinannya secara praktis, bukan filsuf yang hanay duduk di 'menara gading.' Sumber kekuasaan dalam Politeia adalah hukum.
Bagi Aristoteles, kekuasaan suatu negara harus berada di tangan banyak orang agar suatu keputusan tidak dibuat secara pribadi melainkan kolektif. Namun, kekuasaan tersebut jangan berada di tangan golongan miskin atau kaya, melainkan golongan menengah. Artinya, bentuk kekuasaanya berada di tengah-tengah antara oligarki dengan demokrasi. Satu hal penting lain, seluruh penguasa harus takluk kepada hukum. Bagi Aristoteles pun, negara sama seperti organisme: Ia mampu berkembang dan mati.



Secara sederhana, pemikiran Aristoteles mengenai politik dapat dilihat pada skema berikut ini :

Sarana

Tujuan
Warganegara Individual
Pilihan
Kebijaksanaan (praktis)
(4)
(3)


Polis (negara)
Konstitusi Campuran
Kebahagiaan
(1)
(2)
Aristoteles menekankan pentingnya konstitusi campuran yang merupakan aturan dasar kehidupan bernegara. Kontitusi ini harus menunjuk kebahagiaan setiap individu sebagai hal ideal yang harus dicapai suatu negara. Kebahagiaan secara praktis diturunkan ke dalam bentuk kebijaksanaan-kebijaksanaan praktis. Setiap kebijaksanaan menghasilkan pilihan-pilihan baru bagi para warganegara yang nantinya diwujudkan ke dalam bentuk konstitusi campuran.













B. Tradisi Abad Pertengahan (Santo Agustinus, Thomas Aquinas, dan Martin Luther)
Santo Agustinus (13 Nopember 354 M - 28 Agustus 430 M)
Agustinus menulis magnum opus-nya De Civitate Dei (Kota Tuhan). Ia membagi negara ke dalam dua substansi: Sekuler dan Surgawi. Negara sekuler (diaboli) adalah negara yang jauh dari penyelenggaraan hukum-hukum Tuhan, sementara negara surgawi sebaliknya. Negara Surgawi (disebut pula negara Allah) ditandai oleh penjunjungan tinggi atas kejujuran, keadilan, keluhuran budi, serta keindahan. Negara sekuler ditandai oleh kebohongan, pengumbaran hawa nafsu, ketidakadilan, penghianatan, kebobrokan moral, dan kemaksiatan. Konsepsi negara surgawi dan diaboli dianalogikan Agustinus seperti kisah Kain dan Habel. Perilaku Kain yang negatif mencerminkan pengumbaran hawa nafsu, sementara perilaku Habel mencerminkan ketaatan pada Tuhan.
Santo Thomas Aquinas (1225-1274 M).
Magnum opus Aquinas adalah "Summa Theologia." Berbeda dengan Agustinus, Aquinas menyatakan bahwa negara adalah sama sekali sekuler. Negara adalah alamiah sebab tumbuh dari kebutuhan-kebutuhan manusia yang hidup di dunia. Namun, kekuasaan untuk menjalankan negara itulah justru yang berasal dari Hukum Tuhan (Divine Law). Sebab itu, kekuasaan harus diperguakan sebaik-baiknya dengan memperhatikan hukum Tuhan.
Penguasa harus ditaati selama ia mengusahakan terselanggaranya keptingan umum. Jika penguasa mulai melenceng, rakyat berhat untuk mengkritik bahkan menggulingkannya. Namun, Aquinas menyarakankan "Jangan melawan penguasa yang tiran, kecuali sungguh-sungguh ada seseorang yang mampu menjamin stabilitas setelah si penguasa tiran tersebut digulingkan."
Martin Luther (1484-1546 M)
Tahun 1517 memberontak terhadap kekuasaan gereja Roma. Sebab-sebab pemberontakannya adalah mulai korupnya kekuasaan Bapa-Bapa gereja, isalnya mengkomersilkan surat pengampunan dosa (surat Indulgencia). Luther juga meulai prithatin akan gejala takhayulisme dan mitologisasi patung-patung orang-orang suci gereja. Keprihatinan lain Luther adalah anggapan suci yang berlebihan atas para pemuka agama, sebab sesungguhnya mereka pun manusia biasa.




Sebab itu, berbeda dengan pemikiran Katolik pertengahan, Luther menyarakan pemisahan kekuasaan gereja (agama) dengan kekuasaan negara (sekuler). Luther menuntut Paus agar mengakui kekuasaan para raja dengan tidak mengintervensi penyelenggaraan kekuasaan dengan dalih-dalih penafsiran kitab suci. Akhirnya, gereja harus ditempatkan di bawah pengawasan negara. Penyembahan Tuhan lalu dijadikan penghayatan oleh subyek bukan terlembaga seperti gereja Katolik.
Secara umum, pemikiran Agustinus, Aquinas, dan Luther berada dalam konsep umum teokrasi (pemerintahan berdasarkan prinsip-prinsip ketuhanan). Secara sederhana, dapat dirangkum ke dalam bagan berikut :

Sarana

Tujuan
Yang Mengatur
Negara Manusia (akal)
Masyarakat Baik Sebagai Kota Tuhan (wahyu)
(2)
(1)


Yang Diatur
Kepatuhan Pada Hukum Positif
Kejayaan (Grace)
(3)
(4)
Keterangan :
Wahyu turun dari Tuhan. Dari wahyu muncul nalar, dan dari nalar tampil hukum alam. Dari hukum alam maka lahir hukum praktis yang mengatur harta benda, warisan, dinas militer, dan kewajiban-kewajiban lain. Hukum praktis ini dibuat oleg rakyat dan disebut hukum positif, yaitu hukum yang menunjukkan apa apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukannya. Hukum ini dimaksudkan demi menciptakan kejayaan (grace).









C. Tradisi Pencerahan (kembali ke persoalan duniawi)
Niccolo Machiavelli (1469-1527 M).
Dalam magnum opus-nya "Il Principe" (sang pangeran), Machiavelli menandaskan bahwa kekuasaan merupakan awal dari terbentuknya negara. Negara adalah simbol kekuasaan politik tertinggi yang sifatnya mencakup semua dan mutlak. Berbeda dengan pemikiran Agustinus, Aquinas, dan Luther, bagi Machiavelli kekuasaan ada di dalam dirinya sendiri, mutlak, bukan berasal dari Tuhan atau doktrin agama manapun. Justru, agama, moral bahkan Tuhan, dijadikan alat untuk memperoleh kekuasaan oleh para penguasa.
Il Principe menceritakan soal apa yang seharusnya dilakukan seorang raja untuk mempertahankan atau menambah kekuasaannya. Raja harus licik sekaligus jujur. Tujuan seorang penguasa adalah mempertahankan kekuasaan dan untuk itu, ia harus menyelenggarakan kesejahteraan rakyat secara umum agar si penguasa tersebut semakin dicintai dan didukung rakyat agar terus berkuasa.
Thomas Hobbes (1588-1679 M).
Magnum opus-nya Thomas Hobbes adalah "Leviathan." Bagi Hobbes, manusia adalah serigala bagi sesamanya (homo homini lupus), sebab manusia secara mendasar memiliki naluri-naluri 'buas' di dalam dirinya. Situasi dalam masyarakat sebelum adanya negara adalah Bellum Omnium Contra Omnes (perang semua lawan semua). Untuk mengatasi situasi perang tersebut perlu dibentuk negara guna menciptakan stabilitas dan kedamaian.
Hobbes berbeda dengan Aristoteles sebab memperbolehkan pemerintahan tanpa konstitusi. Bagaimana raja terjaga dari kemungkinan penyelewengan kekuasaan? Hobbes menjawa: "Tidak mungkin sebab raja dituntun oleh hukum moral di alam dirinya!"
John Locke (1632-1704 M)
Magnum opusnya John Locke "Two Treatises of Government." Menurut Locke, manusia pada dasarnya adalah baik, tetapi ia berangsur-angsur memburuk perilakunya karena menjaga harta milik dari jarahan individu lain. Sebab itu, negara dibutuhkan untuk menjamin hak milik pribadi.
Namun, negara yang dibentuk harus berdasarkan konstitusi dan kekuasaan yang ada harus dibeda-bedakan. Locke berbeda dengan Hobbes, bahwa kekuasaan seorang raja harus dibatasi. Dan tidak hanya itu, Locke menyarankan adanya 3 bentuk kekuasaan yang terpisah, yaitu :
  • Legislatif (pembuat UU)
  • Eksekutif (pelaksana UU)
  • Federatif (hubungan dengan luar negeri) ---- sementara dipegang eksekutif.
Locke menyarankan diselenggarakannya demokrasi perwakilan, di mana wakil-wakil rakyat yang membuat undang-udang. Namun, "rakyat" yag diwakili tersebut adalah laki-laki, dan berasal dari kelas borjuis.
Montesquieu (1689-1755 M).
Magnum opus dari Montesquieu adalah "The Spirit of the Laws." Buku ini terdiri atas 31 buku yang dibagi ke dalam 6 bagian, dengan rincian berikut :
  1. hukum secara umum dan bentuk-bentuk pemerintahan
  2. pengaturan militer dan pajak
  3. ketergantugan adat kebiasaan atas iklim dan kondisi alam suatu wilayah
  4. perekonomian.
  5. agama
6. uraian tentang hukum Romawi, Perancis, dan Feodalisme.
Untuk menjamin kebebasan warganegara, Montesquieu merasa perlu untuk memisahkan tiga jenis kekuasaan, yaitu Legislatif (membuat UU), Eksekutif (melaksanakan UU), dan Yudikatif (mengawasi pembuatan dan pelaksanaan UU).
Jean Jacques Rousseau (1712-1778 M).
Magnum opus Rousseau adalah "The Social Contract." Dalam karya tersebut, Rousseau menyebutkan bahwa negara terbentuk lewat suatu perjanjian sosial. Artinya, individu-individu dalam masyarakat sepakat untuk menyerahkan sebagian hak-hak, kebebasan dan kekuasaan yang dimilikinya kepada suatu kekuasaan bersama. Kekuasaan bersama ini kemudian dinamakan negara.
Negara berdaulat selama diberi mandat oleh rakyat. Kedaulatan tersebut akan tetap absah selama negara tetap menjalankan fungsi sesuai kehendak rakyat. Dalam menjalankan hidup keseharian negara, Rousseau tidak menghendaki demokrasi perwakilan melainkan lagsung. Artinya, setiap masyarakat tidak mewakilkan kepentinga politiknya pada seseorang atau sekelompok orang, tetapi sendiri melakukannya di kehidupan publik. Masing-masing rakyat datang ke pertemuan umum dan menegosiasikan kepentingannya dengan individu lain.





Secara umum, pendekatan filsafat politik tradisi pencerahan dapat dilihat pada bagan berikut :

Sarana

Tujuan
Para Penguasa
Kekuasaan
Stabilitas dan Ketertiban
(3)
(4)


Yang Dikuasai
Dukungan
Hak-Hak
(2)
(1)
Keterangan :
Hal paling penting dalam tradisi pencerahan adalah hak-hak individu manusia (bukan Tuhan atau masyarakat). Untuk menjamin terselenggaranya hak tersebut, mereka memberi dukungan pada seseorang atau sekelompok orang untuk mengatur mereka. Dukungan melahirkan kekuasaan, dan kekuasaan demi menjaga stabilitas dan ketertiban agar setiap individu mampu menikmati hak-hak mereka dengan rasa aman.













D. Tradisi Modern
Georg Wilhelm Friedrich Hegel
Magnum Opus-nya : "The Phenomenology of Mind." Menurut Hegel ada satu kekuatan absolut yang sedang bekerja di dunia ini. Kekuatan tersebut ia sebut Ide Mutlak. Ide mutlak bergerak dalam sejarah dan bentuk yang paling sempurna adalah negara. Negara berasal dari gerak dialektis (pertentangan) di tengah masyarakat. Pertentangan mengalami penyelesaian melalui media terbentuk dan terselenggaranya negara. Dengan demikian, negara adalah bentuk tertinggi pengorganisasian manusia dan ia mengatasi kepentingan-kepentingan individu. Kepentingan negara harus didahulukan ketimbang yang terakhir.
Karl Heinrich Marx
Magnum opus-nya Manifesto Komunis (bersama Friedrich Engels). Marx (murid Hegel) menentang gurunya . Ia menyatakan bahwa negara cuma sekadar alat dari kelas 'kaya' ekonomis untuk mengisap kelas 'miskin' (proletar). Dengan adanya negara, penindasan kelas pertama atas yang kedua berlanjut. Penindasan hanya dapat dihentikan jika negara dihapuskan. Pengahapusan negara melalui revolusi proletariat.
John Stuart Mill
Magum opusnya "On Liberty." Mill amat menjunjung tinggi kehidupan politik yang negosiatif. Baginya, negara muncul hanya sebagai instrumen untuk menjamin kebebasan individu. Bagi Mill, hal yang harus diperbuat negara adalah menciptakan Greatest Happines for Greates Number (kebahagian terbesar untuk jumlah yang terbesar). Bagi Mill, dengan demikian, prinsip mayoritas harus dijunjung tinggi dalam suatu negara. Baginya, yang 'banyak' harus didahulukan ketimbang yang sedikit.
Pendekatan Institusional
Pendekatan filsafat politik menekankan pada ide-ide dasar seputar dari mana kekuasaan berasal, bagaimana kekuasaan dijalankan, serta untuk apa kekuasaan diselenggarakan. Pendekatan institusional menekankan pada penciptaan lembaga-lembaga untuk mengaplikasikan ide-ide ke alam kenyataan.
Kekuasaan (asal-usul, pemegang, dan cara penyelenggaraannya) dimuat dalam konstitusi. Obyek konstitusi adalah menyediakan UUD bagi setiap rezim pemerintahan. Konstitusi menetapkan kerangka filosofis dan organisasi, membagi tanggung jawab para penyelenggara negara, bagaimana membuat dan melaksanakan kebijaksanaan umum.
Dalam konstitusi dikemukakan apakah negara berbentuk federal atau kesatuan, sistem pemerintahannya berjenis parlementer atau presidensil. Negara federal adalah negara di mana otoritas dan kekuasaan pemeritah pusat dibagi ke dalam beberapa negara bagian. Negara kesatuan adalah negara di mana otoritas dan kekuasaan pemerintah pusat disentralisir.
Badan pembuat UU (legislatif) berfungsi mengawasi penyelenggaraan negara oleh eksekutif. Anggota badan ini berasal dari anggota partai yang dipilih rakyat lewat pemilihan umum.
Badan eksekutif sistem pemerintahan parlementer dikepalai Perdana menteri, sementara di sistem presidensil oleh presiden. Para menteri di sistem parlementer dipilih perdana menteri dari keanggotaan legislatif, sementara di sistem presidensil dipilih secara prerogatif oleh presiden.
Badan Yudikatif melakukan pengawasan atas kinerja seluruh lembaga negara (legislatif maupun eksekutif). Lembaga ini melakukan penafsiran atas konstitusi jika terjadi persengketaan antara legislatif versus eksekutif.
Lembaga asal-muasal pemerintahan adalah partai politik. Partai politik menghubungkan antara kepentingan masyarakat umum dengan pemerintah via pemilihan umum. Di samping partai, terdapat kelompok kepentingan, yaitu kelompok yang mampu mempengaruhi keputusan politik tanpa ikut ambil bagian dalam sistem pemerintahan. Terdapat juga kelompok penekan, yaitu suatu kelompok yang secara khusus dibentuk untuk mempengaruhi pembuatan kebijaksanaan umum di tingkat parlemen.
Dalam menjalankan fungsinya, eksekutif ditopang oleh (administrasi negara). Ia terdiri atas birokrasi-birokrasi sipil yang fungsinya elakukan pelayanan publik.
Pendekatan Behavioral
Jika pendekatan Institusionalisme meneliti lembaga-lembaga negara (abstrak), pendekatan behavioralisme khusus membahas tingkah laku politik individu. Behavioralisme menganggap individu manusia sebagai unit dasar politik (bukan lembaga, seperti pendekatan Institusionalisme). Mengapa satu individu berperilaku politik tertentu serta apa yang mendorong mereka, merupakan pertanyaan dasar dari behavioralisme.
Misalnya, behavioralisme meneliti motivasi apa yang membuat satu individu ikut dalam demonstrasi, apakan individu tertentu bertoleransi terhadap pandangan politik berbeda, atau mengapa si A atau si B ikut dalam partai X bukan partai Y?
Pendekatan Plural
Pendekatan ini memandang bahwa masyarakat terdiri atas beraneka ragam kelompok. Penekanan pendekatan pluralisme adalah pada interaksi antar kelompok tersebut. C. Wright Mills pada tahun 1961 menyatakan bahwa interaksi kekuasaan antar kelompok tersusun secara piramidal. Robert A. Dahl sebaliknya, pada tahun 1963 menyatakan bahwa kekuasaan antar kelompok relatif tersebar, bukan piramidal.  Peneliti lain, yaitu Floyd Huter menyatakan bahwa karakteristik hubungan antar kelompok bercorak top-down (mirip seperti Mills).

Pendekatan Struktural
Penekanan utama pendekatan ini adalah pada anggapan bahwa fungsi-fungsi yang ada di sebuah negara ditentukan oleh struktur-struktur yang ada di tengah masyarakat, buka oleh mereka yang duduk di posisi lembaga-lembaga politik. Misalnya, pada zaman kekuasaan Mataram (Islam), memang jabatan raja dan bawahan dipegang oleh pribumi (Jawa). Namun, struktur masyarakat saat itu tersusun secara piramidal yaitu Belanda dan Eropa di posisi tertinggi, kaum asing lain (Cina, Arab, India) di posisi tengah, sementara bangsa pribumi di posisi bawah. Dengan demikian, meskipun kerajaan secara formal diduduki pribumi, tetapi kekuasaan dipegang oleh struktur teratas, yaitu Belanda (Eropa).
Contoh lain dari strukturalisme adalah kerajaa Inggris. Dalam analisa Marx, kekuasaan yang sesungguhnya di Inggris ukan dipegang oleh ratu atau kaum bangsawasan, melainkan kaum kapitalis yang 'mendadak' kaya akibat revolusi industri. Kelas kapitalis inilah (yang menguasai perekonomian negara) sebagai struktur masyarakat yang benar-benar menguasai negara. Negara, bagi Marx, hanya alat dari struktur kelas ini.
Pendekatan Developmental
Pendekatan ini mulai populer saat muncul negara-negara baru pasca perang dunia II. Pendekatan ini menekankan pada aspek pembangunan ekonomi serta politik yang dilakukan oleh negara-negara baru tersebut. Karya klasik pendekatan ini diwakili oleh Daniel Lerner melalui kajiannya di sebuah desa di Turki pada tahun 1958. Menurut Lerner, mobilitas sosial (urbanisasi, literasi, terpaan media, partisipasi politik) mendorong pada terciptanya demokrasi.
Karya klasik lain ditengarai oleh karya Samuel P. Huntington dalam "Political Order in Changing Society" pada tahun 1968. Karya ini membantah kesimpulan Daniel Lerner. Bagi Huntington, mobilitas sosial tidak secara linear menciptakan demokrasi, tetapi dapat mengarah pada instabilitas politik. Menurut Huntington, jika partisipasi politik tinggi, sementara kemampuan pelembagaan politik rendah, akan muncul situasi disorder.[20] Bagi Huntington, hal yang harus segera dilakukan negara baru merdeka adalah memperkuat otoritas lembaga politik seperti partai politik, parlemen, dan eksekutif.
Kedua peneliti terdahulu berbias ideologi Barat. Dampak dari ketidakmajuan negara-negara baru tidak mereka sentuh. Misalnya, negara dengan sumberdaya alam makmur megapa tetap saja miskin. Penelitian jenis baru ini diperkenalkan oleh Andre Gunder Frank melalui penelitiannya dalam buku "Capitalism and Underdevelopment in Latin America. Bagi Frank, penyebab terus miskinnya negara-negara 'dunia ketiga' adalah akibat :
- modal asing
- perilaku pemerintah lokal yang korup
- kaum borjuis negara satelit yang 'manja' pada pemerintahnya
Frank menyarankan agar negara-negara 'dunia ketiga' memutuskan seluruh hubungan dengan negara maju (Barat)






















Referensi :
·  Carlton Clymer Rodee, et al., Pengantar Ilmu Politik, cet.5, (Jakarta: Rajawali Press, 2002).
·  Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Sinar Harapan, 1995).
·  Michael G. Roskin, et al., Political Science: An Introduction, Fifth Edition, (New Jersey: Prentice-Hall Inc., 1994).
·  Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2000). Robert E. Goodin and Hans-Dieter Klingemann, A New Handbook of Political Science, (New York: Oxford University Press, 1996).
·  Ronald H. Chilcote, Theories of Comparative Politics: The Search for a Paradigm, (Boulder, Colorado: Westview Press, 1981).
·  Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, (Jakarta: Rajawali, 1997).
Footnote:
·  [1] Carlton Clymer Rodee, et al., Pengantar Ilmu Politik, cet.5, (Jakarta: Rajawali Press, 2002), h. 2-3.
·  [2] Robert E. Goodin and Hans-Dieter Klingemann, A New Handbook of Political Science, (New York: Oxford University Press, 1996), p.7.
·  [3] Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, (Jakarta: Rajawali, 1997), h.29.
·  [4] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Sinar Harapan, 1995), h.293.
·  [5] Ronald H. Chilcote, Theories of Comparative Politics: The Search for a Paradigm, (Boulder, Colorado: Westview Press, 1981), p..57
·  [6] Didasarkan atas Robert E. Goodin and Hans-Dieter Klingemann, op.cit., p.103.
·  [7] Bidang-bidang ini merujuk pada Robert E. Goodin and Hans-Dieter Klingemann, op.cit.. Seluruh bab.
·  [8] Terapan keenam pendekatan ini mengacu kepada David E. Apter, Pengantar Analisa Politik, (Jakarta: Rajawali, 1985).
·  [9] Franz Magnis-Suseno, Etika Politik, (Jakarta: Gramedia, 1999), h. 187-8.
·  [10] J.H. Rapar, Filsafat Politik Plato, Aristoteles, Augustinus, Machiavelli, (Jakarta: Rajawali Press, 2001), h.158-184.
·  [11] Mengacu pada Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, (Jakarta: Graedia, 2001).
·  [12] Lee Cameron McDonald, Western Political Theory Part 2: From Machiavelli to Burke, (Pomona: Harcourt race Jovanovich, 1968), p.194-207. Bahasan yang cukup populer (berupa cerita gambar) dapat dilihat dalam Pax Benedanto, Politik Kekuasaan menurut Niccolo Machiavelli : Il Principe, (Jakarta: Gramedia, 1999). Seluruh buku.
·  [13] Karl Marx dan Friedrich Engels, Manifesto Partai Komunis, (Semarang: ISEA, 2002). Seluruh buku.
·  [14] David E. Apter, Pengantar Analisa Politik, (Jakarta: Rajawali, 1985), h.245.
·  [15] S.P. Varma, Teori Politik Modern, (Jakarta: Rajawali Press, 1999), h. 94-102
·  [16] David E. Apter, Pengantar Analisa Politik, (Jakarta: Rajawali, 1985), h.465-467. Lihat juga Ronald H. Chilcote, Theories of Comparative Politics: The Search for a Paradigm, (Boulder, Colorado: Westview Press, 1981), p.358.
·  [17] Robert A. Dahl. (ed.), Regimes and Oppositions., (Yale University Press, 1974). Bab pendahuluan.
·  [18] Ronald H. Chilcote, Theories of Comparative Politics: The Search for a Paradigm, (Boulder, Colorado: Westview Press, 1981), p.358.
·  [19] Ronald H. Chilcote, Theories of Comparative Politics: The Search for a Paradigm, (Boulder, Colorado: Westview Press, 1981), p.195-6.
·  [20] Samuel P. Huntington. 1968. Political Order in Changing Societies. New Haven: Yale University Press. p.5.
·  [21] Ronald H. Chilcote, Theories of Comparative Politics: The Search for a Paradigm, (Boulder, Colorado: Westview Press, 1981), p..290-1

No comments:

Post a Comment