Saturday, March 31, 2012

DEMOKRASI

1. Kapabilitas Ekstraktif, yaitu kemampuan daripada sistem politik dalam mengelola sumber-sumber material dan manusiawi dari lingkungan dalam maupun luar. Kemampuan ini dapat dilihat dari berbagai segi, salah satunya adalah jumlah sumber yang masuk ke dalam sistem politik dari berbagai tingkatan – baik tingkatan nasional, regioanal, maupun lokal – serta darimana sumber-sumber itu berasal.
2. Kapabilitas Regulatif, yakni kemampuan daripada sistem politik untuk mengendalikan atau mengatur tingkah laku individu-individu atau kelompok individu yang ada di dalam suatu sistem politik. Point ini biasanya dilakukan dengan cara menerapkan peraturan-peraturan secara umum, dimana tolok ukur penilaiannya terletak pada sejauh mana pola-pola tingkah laku dari pada individu-individu yang ada beserta berbagai bidang di dalamnya dapat diatur oleh suatu sistem politik.
3. Kapabilitas Distributif, yakni kemampuan suatu sistem politik dalam mengalokasikan atau mendistribusikan sumber-sumber material dan jasa-jasa kepada individu dan kelompok yang ada di dalam masyarakat.
4. Kapabilitas Simbolik, yakni kemampuan yang memeberikan gambaran tentang efektifitas mengalirnya symbol-simbol daripada suatu sistem politik ke dalam maupun ke luar. Kurangya kepercayaan lingkungan atas symbol-simbol itu, bisa menyebabkan timbulnya kritikan dan ejekan terhadapnya. Daan efektif tidaknya kepercayaan lingkunagan atas symbol tersebut, merupakan salah satu faktor penting yang menetuklan tingkat kemampuan sistem politik.
5. Kapabilitas Responsif, yakni kemampuan sistem politik untuk menanggapi tuntutan-tuntutan, tekanan-tekanan, ataupun dukungan-dukungan yang berasal dari lingkungan dalam mapun luar. Tinggi-rendahnya kemampuan ini dapat diukur dari tingkat kepekaan sistem politik terhadap arus tuntutan, tekanan, atau dukungan itu tadi.
6. Kapabilitas Domestik dan Internasional, yakni kemampuan yang memperlihatkan suatu keberadaan sistem politik di lingkungan dalam (domestik) maupun luar (internasional).
Dengan alat Bantu (tools) enam parameter kemampuan diatas, kita harus dapat berupaya membaca apa sebenarnya dasar permasalahan terjadi dalam pemerintahan kita. Dan hal ini harus kita lakukan secara kasus-per kasus, kalaupun kita bisa menemukan korelasinya secara implicit maupun eksplisit penyelsaiannya pun juga harus bisa dilakuakan sama-sama secara seksama.
Tingkah laku suatu system politik dapat dilihat dari kemampuan-kemampuan/kapabilitas sekstraktif, regulatife, distributife, responsive dan simbolik secara internasional.
Factor-faktor yang mempengaruhi kemampuan/kapabilitas system politik adalah :
a. Tanggapan/respon dari para elit politik terhadap input (tuntutan-dukungan), baik dari masyarakat sendiri maupun dari masyarakat internasional.
b. Sumber-sumber material yang diperlukan untuk melaksanakan/menjalankan system poltik.
c. Aparat-aparat organisasi/birokrasi dari system politik dengan kata lain : apakah birokrasi berjalan secara efektif.
d. Tingkat dukungan terhadap system politik itu.
Sejak reformasi sistem politik Indonesia menunjukkan kinerja yang buruk. Hal ini bisa dilihat dari rendahnya keseluruhan kapabilitas yang dimiliki oleh sistem politik, yakni kapabilitas ekstraktif, kapabilitas distributif, kapabilitas simbolik, kapabilitas responsif, dan kapabilitas regulatif.
Ketidakmampuan sistem politik tampak dalam mendayagunakan sumber-sumber material dan sumber daya manusia yang melimpah. Sekalipun Indonesia memiliki sumber alam yang melimpah yang bisa digunakan untuk menyelesaikan persoalan kemiskinan dan pengangguran misalnya, tetapi sistem politik tidak mempunyai komitmen yang sungguh-sungguh dalam menyelesaikan persoalan kemiskinan. Sumber daya alam tetap menjadi monopoli kelompok masyarakat tertentu, dan kemiskinan tetap menjadi persoalan yang tetap tidak pernah diselesaikan dari waktu ke waktu. Buruknya kapabilitas ekstraktif di atas juga berimbas pada buruknya kapabilitas distributif sistem politik Indonesia.
Hingga saat ini, masalah kesenjangan dalam distribusi pendapatan dan kekayaan tidak pernah mendapatkan perhatian secara serius. Malahan ada kecenderungan semakin memburuk mengenai hal ini. Kebijakan ekonomi neoliberal yang semakin intensif dilakukan oleh pemerintahan SBY telah membuat ketimpangan dan kesenjangan antara kelompok yang kaya dan kelompok yang miskin semakin memprihatinkan. Biaya pendidikan semakin mahal sehingga hanya kelompok tertentu saja yang mampu mengakses, demikian pula dalam pelayanan kesehatan. Semakin mahalnya biaya kesehatan membuat masyarakat miskin tidak lagi memperoleh pelayanan kesehatan yang layak, sementara kelompok yang kaya dapat memilih jenis pelayanan kesehatan apapun, termasuk pelayanan standar internasional.
Buruknya kapabilitas simbolik bisa dilihat dari perilaku elite politik yang tidak bisa melakukan empati diri di tengah kemiskinan yang berlangsung akut. Para elite politik tetap hidup dengan gaji dan gaya hidup yang sangat berlebihan, sementara pada waktu yang sama, sebagian besar masyarakat hidup dalam serba kekurangan dan penderitaan yang mengenaskan. Buruknya kapabilitas responsif ditunjukkan oleh sistem politik terhadap tuntutan-tuntutan rakyat. Sistem politik demokrasi pada dasarnya bukan hanya sistem politik yang semata-mata menyandarkan pada ada tidaknya proses pemilihan pemimpin secara adil dan jujur, berlangsung secara reguler menurut tradisi demokrasi Schumpeterian.
Lebih dari itu, sistem politik demokrasi adalah sistem politik yang mempunyai tingkat kepekaan dan tanggung jawab (accountability) terhadap masyarakat luas atau warganegara. Dalam kenyataannya, sistem politik demokrasi yang muncul pada era reformasi tidak menunjukkan responsivitas terhadap tuntutan-tuntutan dari masyarakat luas. Sistem politik masih tetap merepresentasikan dirinya sebagai sistem patrimonial otoriter yang sebenarnya tidak berbeda jauh dengan sistem politik Orde Baru.
Di sisi lain, pelembagaan politik melalui partai berlangsung sangat lamban. Partai politik yang seharusnya menjadi media partisipasi, artikulasi, dan agregasi kepentingan masyarakat luas, pada kenyataannya hanya menjadi alat meraih kekuasaan politik, dan elite partai politik terlibat dalam konflik-konflik yang tidak produktif. Sementara itu, kapabilitas regulatif sistem politik juga tidak kalah buruknya. Jika sistem politik dimaknai sebagai semua interaksi yang mempengaruhi semua penggunaan paksaan fisik yang sah, maka dapat dilihat bagaimana ketidakefektifan sistem politik dalam hal ini. Dalam sistem politik demokrasi yang mendasarkan pada legalitas hukum, sebagaimana di Indonesia, teramat mudah ditemukan kelompok-kelompok preman yang sewaktu-waktu dapat memaksakan kehendak dan kepentingan mereka dengan kekerasan tanpa aparat negara mampu mencegahnya. Kasus-kasus pengrusakan kantor atau tempat ibadah dapat dijadikan contoh dalam hal ini. Tentunya, kondisi seperti ini sangat buruk bagi kinerja sistem politik.
Bagaimanapun sistem politik harus mampu untuk melindungi warganegara dan hak miliknya dari tindakan kekerasan dan pengrusakan. Rendahnya kapabilitas regulatif bisa dilihat pula dari ketidakmampuan sistem politik dalam mengadili para koruptor kelas kakap dan para pelanggar HAM. Buruknya kapabilitas sistem politik tentunya berimbas pada buruknya atau rendahnya kinerja sistem politik Indonesia. Hal ini tentunya tidak bisa dilepaskan dari ketiadaan perubahan budaya politik yang menopangnya. Sekalipun struktur politiknya telah mengalami perubahan menjadi lebih demokratis, tetapi tidak pada budaya politiknya. Budaya politik era reformasi tetap masih bercorak patrimonial, berorentasi kepada kekuasaan dan kekayaan (power and wealth), dan bersifat sangat paternalistik.
Buruknya kinerja sistem politik tentu sangat merncemaskan bagi kelangsungan hidup bangsa dan negara dalam sebuah era globalisasi neoliberal. Untuk bisa survive, dan sekaligus tidak menjadi pecundang (the looser), negara harus kuat dan tangguh dalam pengertian memiliki power and wealth. Namun dalam kenyataannya, Indonesia telah menjadi negara yang sangat lemah (a very weak state), padahal mempunyai sumber daya alam yang sangat melimpah. Ini karena buruknya kinerja sistem politik dalam memecahkan persoalan-persoalan bangsa dan negara. Dalam pandangan Chomsky, Indonesia bisa dimasukkan ke dalam apa yang disebutnya sebagai negara yang gagal atau a failed state.
Pada masa sekarang ini juga, sistem politik Indonesia Selalu saja ada perbedaan antara harapan masyarakat dengan realitas kebijakan lembaga-lembaga pemerintah. Entah itu lembaga eksekutif, legislatife, bahkan yudikatif sekalipun. Entah itu di tingkatan nasional, regional, dan lokal; bahkan tingkatan desa sekalipun.
Tentunya hal ini menjadi keprihatinan bagi kita semua yang merasakan adanya ketidakadilan didalamnya, yang merasakan adanya penghambatan atas yang hak dan – mungkin - pengutamaan akan yang bathil. Di saat semua kelembagaan pemerintahan dapat ikut bergerak bersama harapan ‘reformasi’ dari masyarakat, dan menjadi motor penggerak ke arah pembangunan demokrasi di negara ini.
Kegagalan secara mekanik dari lembaga-lembaga politik yang ada jelas salah satu contohnya ternyata menghasilkan kasus-kasus seperti. Selisih pendapat perihal pemanggilan Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan sebagai saksi yang mengakibatkan tertundanya sidang perkara Harini Wijoso dan Pono Waluyo membuat geregetan beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). mereka menuding penolakan ketua majelis hakim Kresna Menon atas permohonan penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi untuk menghadirkan Bagir sebagai bentuk esprit de corps untuk melindungi atasan. Selain itu, mereka mengecam indikasi intimidasi yang dilakukan oleh salah satu hakim agung dalam proses pemanggilan hakim tindak pidana korupsi (Tipikor).
Namun penjelasan yang mendalam terkait masing-masing kasus tidak bisa menggambarkan dimana letak kesalahan konseptual politik yang seharusnya. Dilihat dari logika kompetensi fungsi dan wewenang politik serta pengambil kebijakan (decision maker), pada dasarnya adalah kegagalan setiap lembaga politik beserta individu-individu yang ada didalamnya. Presiden-DPR-MA-Kejagung, Gubernur-DPRD Propinsi-PT-Kejati, Walikota/ Bupati-DPRD Kab/ Kota-PN-Kejari; bahkan hingga Kepala Desa-BPD sekalipun. Ini Adalah kegagalan mereka dalam untuk bekerja di dalam sistem politik dimana mereka berada.
Besarnya pengaruh kinerja lembaga-lembaga politik yang ada, - yang ada dalam sistem politik -, dapat dilihat dari eksistensi lembaga-lembaga (struktur-struktur) politik tersebut dalam sistem politik.
Ketika ada berbagai lembaga politik, yang tentunya sudah pasti berada dalam suatu sistem politik tertentu, tidak bisa mngejewantahkan ciri-ciri ini menjadi gambaran ‘kecil’ dari kinerjanya maka sudah tentu akan hanya ada satu sintesis yang biasa kita alamatkan padanya. Kegagalan. Kegagalan suatau sistem politik untuk bekerja secara maksimal di tengah iklim dan harapan politik yang begitu kondusif, merupakan hal yang patut disesali, walaupun sebenarnya bagi sebagian kalangan hal ini merupakan hal yang menarik untuk dipelajari.
Lembaga politik tersebut tidak bisa menunjukkan eksistensinya dengan memiliki keempat cirri-ciri tersebut. Dengan demikian permasalahan ini akan berdampak pada kualitas serta kuantitas kinerja yang dapat dilakukannya dalam sistem politik tersebut. Lihatlah peristiwa ’98 dimana Soeharto tidak mau menerima tuntutan dari mahasiswa kala itu untuk turun sehingga akhirnya dia harus menyerah juga. gambaran noumena ini adalah relaitas yang mudah ditemui di sekitar kita. Dalam berbagai tingkatan sistem politik di bumi pertiwi ini.
Di era pemerintahan SBY ini, sistem politik di Indonesia belum sepenuhnya berjalan dengan baik. Hal ini dapat dilihat rendahnya kapabilitas yang dimilki oleh sistem politik yaitu kapabilitas ekstraktif, kapabilitas distributif, kapabilitas simbolik, kapabilitas responsif, dan kapabilitas regulatif.
Buruknya kapabilitas simbolik bisa dilihat dari perilaku elit politik yang bisa melakukan empati di tengah kemiskinan. Dan di sisi lain kelembagaan politik berlangsung sangat lambat partai poltik seharusnya menjadi media partisipasi, artikulasi dan agregasi kepentingan luas tetapi kenyataanya hanya menjadi alat meraih kekuasaan politik dan elit politik terlibat dalam konflik-konflik yang tidak produktif.
Juga, sistem politik Indonesia Selalu saja ada perbedaan antara harapan masyarakat dengan realitas kebijakan lembaga-lembaga pemerintah. Baik itu lembaga eksekutif, legislatife, bahkan yudikatif sekalipun. Entah itu di tingkatan nasional, regional, dan lokal; bahkan tingkatan desa sekalipun.

No comments:

Post a Comment