Saturday, March 31, 2012

MAKALAH ILMU BUDAYA DASAR

II Perumusan Masalah

a. Menganalisis bagaimana ATEISME menjadi perangkap dan kemudian menjelma menjadi evolusi cara berfikir yang keliru

b.Bagaimana mengatasi problema mengenai cara berfikir seseorang yang notabene melekat dalam dirinya sabagai mahluk individu yang bebas serta fondasi seperti apa yang harus ditanamkan pada jiwa agar tidak mudah terombang ambing pada pandangan hidup yang seharusnyah kokoh .

III PEMBAHASAN

SEJARAH ATEIS

Istilah ateisme berasal dari Bahasa Yunani θεος (atheos), yang secara peyoratif digunakan untuk merujuk pada siapapun yang kepercayaannya bertentangan dengan agama/kepercayaan yang sudah mapan di lingkungannya. Dengan menyebarnya pemikiran bebas, skeptisisme ilmiah, dan kritik terhadap agama, istilah ateis mulai dispesifikasi untuk merujuk kepada mereka yang tidak percaya kepada tuhan. Orang yang pertama kali mengaku sebagai "ateis" muncul pada abad ke-18. Pada zaman sekarang, sekitar 2,3% populasi dunia mengaku sebagai ateis, manakala 11,9% mengaku sebagai nonteis. Sekitar 65% orang Jepang mengaku sebagai ateis, agnostik, ataupun orang yang tak beragama; dan sekitar 48%-nya di Rusia.[7] Persentase komunitas tersebut di Uni Eropa berkisar antara 6% (Italia) sampai dengan 85% (Swedia).

Banyak ateis bersikap skeptis kepada keberadaan fenomena paranormal karena kurangnya bukti empiris. Yang lain memberikan argumen dengan dasar filosofis, sosial, atau sejarah.

Pada kebudayaan Barat, ateis seringkali diasumsikan sebagai tak beragama (ireligius).

Beberapa aliran Agama Buddha tidak pernah menyebutkan istilah 'Tuhan' dalam berbagai upacara ritual, namun dalam Agama Buddha konsep ketuhanan yang dimaksud mempergunakan istilah Nibbana. Karenanya agama ini sering disebut agama ateistik. Walaupun banyak dari yang mendefinisikan dirinya sebagai ateis cenderung kepada filosofi sekuler seperti humanisme,] rasionalisme, dan naturalisme, tidak ada ideologi atau perilaku spesifik yang dijunjung oleh semua ateis.

Berikut adalah jawaban penganut ateis terhadap beberapa pertanyaan

Kenapa memilih ateis? Bagi mereka, ateis itu pilihan hidup karena tidak ingin di indoktrinasi dengan ajaran agama yang bagi mereka cenderung membatasi pola pikir mereka. Mereka mempercayai bahwa kehidupan berjalan secara natural, tanpa ada pengaruh supranatural.

Kenapa tidak beragama? Menjadi ateis berarti menolak kepercayaan agama yang buat mereka terlihat tidak logis, karena patuh pada sesuatu yang keberadaannya tidak bisa di buktikan. Seorang ateis menghargai setiap alasan logis, menghargai kebebasan dan kesamaan. Mereka menerapkan prinsip untuk memperlakukan orang lain seperti mereka ingin diperlakukan oleh orang lain. Mereka juga meyakin bahwa etika tidak perlu di ajarkan lewat agma, dan hidup tidak memerlukan penguasa yang fiktif (maksudnya pasti tentang keberadaan Tuhan). Faham atheis bisa menjelaskan berbagai persoalan dunia melalui ilmu pengetahuan dan cara berfikir yang logis. Bagi mereka, faham agama hanya menginformasikan apa yang harus di lakukan dan bukan bagaimana melakukannya. Sehingga buat mereka hal ini membanggakan karena mereka bebas menggali semua bidang keilmuan dengan menjunjung kebebasan berfikir.

Siapa aja anggota ateis? Yang menarik lagi, banyak orang atheis terlibat di organisasi hak asasi manusia, lingkungan hidup atau organisasi sosial lain dengan tujuan mencapai dunia yang lebih baik. Dalam kehidupan ini, mereka ingin juga berkontribusi positif untuk masa depan yang lebih baik. Dan mereka menyadari bahwa hidup ini cuma sebentar, sehingga mereka cenderung bertindak yang positif, dan tidak takut untuk menghadapi yang negatif.

Bagaimana tentang kematian manusia? Kematian bisa terjadi dimana saja, dan kapan saja. Bisa terjadi saat masih dalam kandungan, bayi, anak-anak, remaja, dewasa atau masa tua. Jadi sesudah meninggal maka otak akan berhenti bekerja, dan tidak ada lagi kehidupan sesudahnya. dan mereka tidak mempercayai kehidupan sesudah kematian.

Dan masih banyak lagi argumen mereka untuk kenapa mereka menjadi ateis. Buat pembaca kompasianer kalau saya boleh sarankan untuk membaca dengan hati-hati dan pikiran terbuka. Karena penulisan mereka sangat logis, sehingga kemungkinan bisa membutakan mata kita yang mempercayai keberadaan Illahi.

Kembali ke teman saya Garry. Sesudah mengetahui kepercayaan dia, dan juga mengenal sosok pribadi seorang Garry, paradigma saya terhadap orang ateis jadi berubah. Ternyata dalam kehidupan sosial, mereka sama seperti kita, manusia biasa, yang tentunya ada yang baik atau juga sebaliknya. Mereka hanya ingin mempercayai sesuatu yang terlihat dan dapat di nalar secara logika. Dan agama bagi mereka suatu dogma yang sulit mereka ikuti, karena tidak ada fakta akurat yang bisa mereka percayai. Seeing is

Ateisme adalah sebuah momok di negeri ini, hampir sejelek sang iblis itu sendiri. Ia disamakan dengan pemadat, pelacur, pembunuh, dan pemerkosa. Ia tak punya tempat hidup di negeri yang “beragama” ini. Di lain pihak, negeri yang sangat agamis ini tidaklah menjadi sebuah negeri yang makmur, aman dan tentram. Justru beberapa negara yang kecenderungan ateistiknya berkembang menunjukkan ciri-ciri negara maju yang makmur, aman, tentram bahkan manusiawi.[1] Apa yang salah di sini?

Untuk itu marilah kita mundur dalam sejarah. Ateisme lahir dari sejarah yang panjang, sebagai salah satu anak dari modernisme. Meskipun cikal bakal ateisme sebenarnya sudah muncul dari Xenophanes di zaman Yunani Kuno, yang mengatakan bahwa dewa-dewa yang ada hanyalah gambaran manusia saja dan tidak mungkin dewa yang agung kelakuannya sama dengan manusia, modernisme tetap menjadi ibu kandung dari ateisme, terlebih ateisme yang menjadi lawan dari teisme, khususnya teisme versi Yudeo-Kristiani.

Modernisme lahir di dalam sebuah kondisi di mana dogma merajalela, dan manusia tidak mempunyai tempat. Semua segi kehidupan dilihat dari sudut pandang agama yang dogmatis. Manusia tidak memiliki tempat di dunia ini, sebuah panggung sandiwara di mana ia menjadi pemain di dalamnya. Hidupnya bukanlah miliknya, melainkan milik Tuhan yang menilainya, yang memberinya surga bila ia memainkan perannya dengan sesuai, dan neraka untuk yang menentangnya, tanpa berpikir mengapa sesuatu boleh atau tidak boleh dilakukan.

Modernisme, dipicu juga oleh gerakan Reformasi Protestan, yang melahirkan subjektivisme, yaitu percaya pada pemikiran sendiri, seperti tercermin dalam semboyan pencerahan “sapere aude”, aku berpikir untuk diriku sendiri. Protestanisme, walaupun pada dirinya masih dogmatis dengan hanya percaya pada kitab suci, ia telah membuka jalan ke subjektivisme dengan memberikan kebebasan dalam mengartikan kitab suci. Tafsir kitab suci yang mulanya hanya menjadi hak kaum pendeta, menjadi milik semua umat beriman karena Tuhan diyakini menyapa setiap orang secara sama melalui kitab suci.

Kemajuan ilmu pengetahuan yang terpicu oleh pencerahan juga ikut menyuburkan lahan untuk tumbuhnya ateisme. Alam semesta yang mulanya dianggap dijalankan oleh Tuhan, kini tidak memerlukan Tuhan lagi sebagai pemelihara, melainkan dapat berjalan sendiri begitu hukum-hukum alam diciptakan, yang dikenal dengan faham deisme. Meskipun deisme masih mengakui bahwa alam semesta diciptakan oleh Tuhan, mereka telah menjadi pembuka jalan bagi ateisme, yang melihat bahwa Tuhan tidak perlu ada..

Tuhan adalah Angan Ciptaan Manusia

Ateisme secara rasional dilahirkan oleh seorang filsuf Jerman abad ke-19 bernama Ludwig Feuerbach. Ia melihat, seperti halnya Xenophanes, bahwa Tuhan hanyalah angan-angan ciptaan manusia. Ia menyebutnya dengan istilah proyeksi. Tuhan hasil produk proyeksi manusia ini, mirip dengan manusia, ia adil, baik, kasih, namun juga cemburu, dan pemarah, dan ditambahkan dengan kualitas maha, maka ia mahaadil, mahabaik, mahakasih, juga mahacemburu dan mahapemarah. Celakanya manusia lupa bahwa Tuhan ini adalah ciptaannya sendiri. Ia kagum akan ciptaannya sendiri, bahkan merasa tunduk dan menyembahnya.

Manusia memang dilahirkan dengan kemampuan memproyeksikan dirinya. Dengan memproyeksikan dirinya keluar, ia lebih mampu mengenal dirinya sendiri. Dan ia bisa memproyeksikan dirinya sampai tak hingga. Jika ia baik, ia bisa membayangkan sesuatu yang mahabaik. Jika ia jahat pun, ia bisa membayangkan sesuatu yang mahajahat. Masalahnya, menurut Feuerbach adalah, bahwa ia lupa bahwa itu adalah proyeksi, cermin, dari dirinya sendiri. Ia malah seperti kagum, bahkan takut, pada bayangannya sendiri.

Feuerbach dengan ateismenya ini sebenarnya mengkritik praktek beragama yang kerdil. Ia melihat bahwa Tuhan yang disembah manusia, banyak di antaranya adalah bayangan yang diciptakan manusia sendiri. Ini bisa dilihat dengan jelas dari ciri-ciri Tuhan yang mirip dengan manusia: bertahta, mendengar, melihat, mendengar, mencinta, cemburu, membalas, dll. Apakah ini memang Tuhan yang sebenarnya, atau Tuhan ciptaan manusia.

Pada mulanya bisa jadi Tuhan digambarkan secara manusiawi supaya bisa lebih dijangkau oleh awam, berbeda dengan Tuhan filosofis dan mistik yang biasa diperbincangkan para filsuf dan mistikus yang jauh dari pemahaman biasa. Di satu pihak bisa mendekatkan orang biasa kepada Tuhan, tetapi di pihak lain beresiko menggambarkan Tuhan secara kurang tepat.

Tuhan Membuat Manusia Mandul

Kritik model ini dikembangkan oleh seorang filsuf Jerman lain yang lebih terkenal yaitu Karl Marx. Karl Marx melanjutkan logika yang dikembangkan Feuerbach dengan mengatakan bahwa bukan saja agama yang demikian membuat manusia takluk pada ciptaannya sendiri, melainkan membuat ia mandul dalam membuat perubahan sosial. Ia berserah diri pada Tuhan, memohon dan berdoa, ketimbang turun tangan sendiri membenahi ketidakadilan.

Tuhan mahakuasa yang diciptakan manusia ini begitu kuatnya sehingga membuat manusia tidak berdaya di hadapannya. Manusia lupa bahwa merekalah yang menciptakan bayangan itu. Mereka bukan sekedar takut, melainkan menyerahkan seluruh hidupnya kepadanya. Mereka tidak berbuat apa-apa untuk mengubah nasibnya melainkan pasrah kepada Tuhan ciptaannya.

Marx seperti Feuerbach juga mengkritik praktek agama yang kerdil. Agama tidak menjadi penyelamat, melainkan menjadi tempat pelarian orang-orang tidak berdaya. Marx dengan filsafatnya yang materialis, yaitu filsafat berguna selama bisa dipraktekkan dalam ranah sosial, tentu saja melihat agama tidak cocok dengan filsafatnya.

Seperti yang sering dikutip dari Marx bahwa “agama adalah candu”. Agama yang menjanjikan penyelamatan di hari akhir telah memandulkan manusia untuk melakukan perubahan di bumi ini. Mereka hanya menipu diri mereka sendiri bahwa penderitaan mereka di dunia ini tidak akan sia-sia dan akan diganjar dengan surga di kehidupan mendatang.

Kritik Marx ini mau mengatakan bahwa agama telah melupakan salah satu nilai dasarnya, yaitu sebagai pembebas revolusioner. Semua agama adalah sebuah revolusi, yang mengubah cara pandang lama. Tetapi institusi agama setelah itu biasanya kehilangan nilai revolusi tersebut, dan cenderung menjadi mapan. Agama yang seharusnya memberikan energi untuk bertindak malah menjadi candu yang melemahkan.

Tuhan Membuat Manusia Tidak Dewasa

Pukulan berikutnya diberikan juga oleh seorang Jerman, kali ini seorang dokter jiwa bernama Sigmund Freud. Lewat teori psikoanalisis yang dikembangkan olehnya ia melihat bahwa manusia yang beragama secara kolektif adalah sekumpulan orang yang tidak dewasa, yang seperti seorang anak kecil yang terus merengek kepada orang tuanya. Sebagai seorang dewasa semestinya ia mengambil hidupnya sendiri, mengupayakan sendiri, ketimbang menggantungkan diri kepada Tuhan di atas sana.

Freud sampai pada kesimpulan ini melalui penelitian mitologi. Dari mitologi ia menteorikan bahwa di zaman dahulu, laki-laki yang kuat berkuasa dan memiliki seluruh perempuan. Laki-laki yang lain, yaitu anaknya, semuanya tunduk kepadanya. Meskipun mereka tunduk namun sebenarnya mereka iri pada kedudukan itu dan ingin mengalahkan sang ayah. Hingga suatu saat ia berani memberontak melawan ayahnya dan membunuhnya. Kisah seperti ini bisa dilihat seperti pada mitologi Yunani Oedipus yang membunuh ayahnya sendiri dan mengawini ibunya, atau pada pemberontakan Zeus bersaudara yang melawan Kronus ayahnya, dan membunuhnya dan menggantikan posisinya sebagai pimpinan para dewa.[2]

Selanjutnya manusia tenggelam dalam alam bawah sadar ini, dan menjadikan Tuhan sebagai suatu super-ayah yang selalu mengawasi dan menekan, dan kita tunduk kepadanya. Tindakan menjadi dewasa bisa dilihat sebagai semacam “membunuh ayah”, dan tidak tergantung kepadanya. Ia menjadi mandiri. Dan Freud melihat bahwa manusia beragama sama aja seperti anak kecil bila ia tidak melewati fase ini.

Ateisme sebagai Kritik Agama

Dapat dilihat dari penjelasan di atas bahwa ateisme dalam versi demikian[3] sebenarnya bukanlah ateisme yang melawan Tuhan secara langsung melainkan sebagai sebuah reaksi balik atas kebobrokan agama-agama. Adalah Tuhan ciptaan (institusi) agama yang dilawan oleh ateisme.

Institusi agamalah, bukan Tuhan (kalau Tuhan memang ada), yang membuat praktek beragama yang kerdil dan tidak membebaskan. Institusi agama telah mengembangkan Tuhan yang menggunakan teror untuk mengendalikan masyarakat. Logikanya mudah dilihat, orang yang dipenuhi teror menjadi mudah dikendalikan. Ini tentu saja berarti kelanggengan kekuasaan bagi mereka yang memegang institusi agama. Tuhan, yang tidak terjangkau keagungannya, tetap belum tersentuh oleh kritik ini.

Ateisme di Indonesia

Indonesia sendiri, memiliki sejarah yang berbeda dengan bangsa Eropa yang telah mengalami abad pencerahan dan modernisme. Modernisme belum pernah menyentuh Indonesia, kecuali pada beberapa tahun menjelang kemerdekaan yang menyentuh kalangan elit terpelajar Indonesia. Sesudah Indonesia merdeka, gerakan modernisme malah mandek berganti dengan pertikaian politik dan diikuti oleh industrialisasi. Dengan kata lain tidak ada lahan subur untuk berkembangnya ateisme.

Gerakan komunisme di Indonesia yang mewakili garis perjuangan progresif revolusioner sempat mewakili gerakan ateisme di Indonesia. Namun mereka hanyalah sekelompok orang yang juga masih elitis yang belum merasuk ke dalam rakyat yang belum tersentuh modernisme. Apalagi setelah penghancuran gerakan komunisme setelah peristiwa G-30-S. Ateisme yang diidentikkan dengan komunisme benar-benar tidak mempunyai tempat lagi di bumi Indonesia.

Di pihak lain, golongan agama di Indonesia dari dulu memegang posisi yang kuat, lebih kuat dari para intelektual sekuler di awal kemerdekaan Indonesia. Ini tercermin dari sila pertama di Pancasila yang berbunyi Ketuhanan yang Maha Esa, yang merupakan hasil kompromi golongan nasionalis dengan para pengusul syariat Islam. Ini membuktikan sentimen beragama yang memang kuat di Indonesia, walaupun ia tidak menjadi sebuah negara Islam. Ini berbeda sekali dengan negara-negara di Eropa yang setelah pencerahan mengalami pemisahan antara gereja dan agama yang menjadi landasan yang kukuh untuk sebuah pemerintahan oleh akal sehat, bukan atas dasar agama apa pun.

Semua hal di atas membuat Indonesia boleh dibilang mandul dalam semangat berpikir bebas. Setelah generasi pemikir pertama yang memang sempat bersentuhan dengan gerakan modernisme Eropa, hampir tidak ada lagi pemikir yang dilahirkan di Indonesia. Ateisme bisa dibilang musnah di Indonesia. Agama tumbuh subur, dengan mesjid dan gereja bertebaran di mana-mana. Di pihak lain, penghargaan atas kemanusiaan sangat rendah. Korupsi merajalela, hak-hak sipil tidak dihargai, orang bisa dibunuh dengan sentimen agama atau ras. Kita seperti hidup di abad pertengahan Eropa sebelum modernisme. Industrialisasi yang membawa kemajuan tidak berjalan seiring dengan pola pikir masyarakat yang pra-industrialisasi. Jadilah sebuah masyarakat yang timpang, dengan alat-alat modern dan cara pandang yang terbelakang.

Di sinilah peran ateisme dapat masuk. Ia memang tidak benar dengan sendirinya. Tapi ia memaksa kaum beragama untuk berpikir keras untuk mempertanyakan seperti apa Tuhan mereka sebenarnya. Siapakah sebenarnya Tuhan yang mereka sembah, Tuhan yang sebenarnya atau Tuhan yang mereka ciptakan. Ketidakhadiran ateisme di Indonesia telah menjadi salah satu penyebab kebuntuan berpikir para agamawan yang tidak memiliki lawan. Agama pun merajalela. Ateisme memang belum tentu benar, namun ia menjadi pisau bedah yang membuang sel-sel kanker yang berkembang dari agama-agama, supaya menyisakan sel-sel sehat untuk bisa berkembang menjadi agama yang baik.

.Bagaimana mengatasi problema mengenai cara berfikir seseorang yang notabene melekat dalam dirinya sabagai mahluk individu yang bebas serta fondasi seperti apa yang harus ditanamkan pada jiwa agar tidak mudah terombang ambing pada pandangan hidup yang seharusnyah kokoh .

No comments:

Post a Comment