Saturday, March 31, 2012

Parpol dan Pemilu : Studi Sistem Kepartaian dan Pemilu di Dunia dan Indonesia


Pendahuluan

Dalam sistem politik modern dewasa ini muncul suatu aksioma, bahwa tidak ada sistem politik yang dapat berlangsung tanpa partai politik. Aksioma ini memang ada pengecualian yakni pada sistem masyarakat tradisional dan beberapa masyarakat transisional[2]. Namun secara keseluruhan partai sebagai asosiasi politik, mobilisasi dan artikulasi kepentingan, mengakumulasinya serta memunculkan kepemimpinan politik merupakan sesuatu yang sulit terbantahkan saat ini.

Selain itu juga, sistem demokrasi yang dewasa ini sudah mulai “mendarah daging” di sebagian besar negara dunia yang akhirnya ada semisal syarat lanjutan pembangunan demokrasi yakni adanya partai politik. Walaupun ada beberapa opini dari sebagian ilmuwan yang menyatakan demokrasi bisa berjalan tanpa adanya partai politik, namun pada kenyataannya negara-negara dunia modern saat ini mengalami kesulitan mengaplikasikan demokrasi tanpa partai politik.



Partai Politik dan Asal Mula Kemunculannya

Partai politik menurut Mark H. Hagopian (1978:12) merupakan suatu organisasi yang secara ideal dimaksudkan untuk mengaktifkan dan memobilisasi rakyat, mewakili kepentingan tertentu, memberiakan jalan kompromi bagi pendapat yang saling bersaing serta menyediakan sarana suksesi kepemimpinan politik secara absah dan damai.

Selain batasan di atas, Mark N. Hagopian (dalam William Benton: 1960) menyebutkan bahwa partai politik merupakan organisasi yang dibentuk untuk mempengaruhi bentuk dan karakter kebijaksanaan publik dalam rangka prinsip-prinsip dan kepentingan ideologis tertentu melalui praktek kekuasaan secara langsung atau partisipasi rakyat dalam pemilihan.

Dari sekian banyak definisi yang diungkapkan oleh para ilmuwan politik, batasan definisi di atas sangat menarik, di mana terlihat sangat kentara bahwa basis sosiologis suatu partai adalah ideologi dan kepentingan yang diarahkan pada usaha untuk memperoleh kekuasaan. Hal ini juga yang seperti diungkap oleh Ichlasul Amal (1996: xv), bahwa tanpa kedua elemen politik, yakni ideologi dan kepentingan rakyat, partai tampaknya akan mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi dirinya, apalagi mampu memberikan solusi atas berbagai ketimpangan sosial-politik suatu negara.

Dalam negara modern dewasa ini perkembangan partai-partai biasanya sejalan dengan kepentingan demokrasi, terutama yang berkaitan dengan hak partisipasi politik rakyat dan hak pilih rakyat secara tidak langsung lewat parlemen. Dalam sejarahnya terutama di negara-negara Eropa Barat, semakin luas pertumbuhan fungsi-fungsi dan kebebasan majelis politik, maka semakin tumbuh kesadaran para anggotanya untuk membentuk kelompok di antara mereka dan bersaing dalam pentas politik. Perkembangan partai politik juga bisa terjadi di luar parlemen (ekstra-parlementary) maupun di dalam lingkungan parlemen (intra-parlementary), ciri-ciri di antara keduanya pun berbeda-beda.

Asal mula partai-partai yang tumbuh dalam lingkaran intra-parlementary banyak diulas misalnya oleh ilmuwan Sosiologi-Politik Maurice Duverger. Mekanismenya ada pembentukan kelompok-kelompok parlemen, kemudian biasanya diikuti dengan munculnya komite-komite pemilihan yang pada gilirannya secara akseleratif terjadi suatu hubungan permanen antara kedua elemen tersebut.

Selain itu juga, kemunculan partai di dalam intra-parlementary pada mulanya merupakan kelompok-kelompok kecil yang kemudian biasanya membentuk kelompok ideologis, yang memiliki kesamaan ide, gagasan, pemahaman, visi dan misi politik. Kondisi kemunculan partai politik di Prancis di tahun 1789 adalah salah satu contohnya.

Untuk menggambarkan hal di atas diuraikan oleh Maurice Duvrger (dalam Amal, 1996:3) tentang pertemuan perwakilan-perwakilan provinsi di Versailles di tahun 1789. Lebih lengkapnya ditulisnya sebagai berikut :

“…pada saat itu, para wakil dari daerah cenderung untuk berkumpul sesama mereka dari daerah yang sama untuk persiapan dalam mempertahankan kepentingan daerah mereka sendiri. Inisiatif ini dimulai dari wakil-wakil dari Breton, yang menyewa sebuah cafe bagi pertemuan regular antar-mereka. Mereka berbagi pendapat tidak saja menyangkut persoalan regional, tetapi juga persoalan-persoalan kebijakan nasional. Dengan demikian mereka kemudian mencoba mendaftar pula wakil-wakil yang bersedia berbagi pendapat. Dengan cara inilah Breton Club kemudian menjadi kelompok ideologis. Ketika pertemuan majelis itu dipindahkan ke Paris, pertemuan kelompok ini diadakan dengan menyewa ruangan suatu biara, sehingga akhirnya di bawah nama biara inilah kelompok tersebut menjadi terkenal dalam sejarah”.

Perkumpulan-perkumpulan ideologis semacam di atas itulah yang pada akhirnya melahirkan konsensus politik di antara para anggotanya yang pada gilirannya melahirkan partai politik. Partai politik semacam inilah yang juga biasanya dikenal dalam kajian tipologi partai politik, sebagai partai yang ideologis. Jadi bisa dikatakan bahwa pada awal munculnya, sifat ideologis para pembentuk partai sangat dominan.

Selain partai yang terbentuk intra-parlementary, juga ada partai yang terbentuk ekstra-parlementary. Partai jenis ini memang ada perbedaan dengan partai jenis di atas, namun perbedaannya tidaklah terlalu tajam. Karena pada kenyataannya, partai-partai yang terbentuk banyak disebabkan sebagai follow-up dari partai yang terbentuk di dalam parlemen.

Dari perbedaan yang tidak terlalu tajam tadi menyebabkan pada dataran prakteknya sulit untuk dibedakan. Dalam kenyataannya banyak partai politik terbentuk oleh lembaga-lembaga yang telah ada sebelumnnya[3] dan aktivitas berlangsung di luar parlemen dan juga di luar pemilihan umum. Partai-partai jenis ini biasanya memiliki karakteristik: pertama, pada awal terbentuknya cenderung terisolasi, walaupun pada saat perkembangannya, jika partai ini mampu bertahan bisa menjadi besar. Kedua, tingkat perkembangan dan pertumbuhan partai jenis ini sangat dipengaruhi oleh tokoh kharismatik yang mendirikan atau penggagas partai tadi.

Salah satu contohnya adalah munculnya Partai Buruh di berbagai negara di dunia semisal Australia, Inggris, negara-negara kawasan Scandinavia, Switzerland, Canada dan bahkan United State of America. Di Inggris misalnya, kelahiran partai jenis ini ditetapkan oleh Kongres Serikat Buruh di tahun 1899 untuk membentuk organisasi pemilihan dan parlemen (Duverger dalam Ichlasul Amal, 1996 : 8).



Fase Pertumbuhan Partai Politik

Jika kita membaca pendapatnya Roy C. Macridis (dalam Ichlasul Amal, 1996:18) kita akan bisa menelusuri tahap-tahap perkembangan partai-partai politik di Eropa Barat, Inggris dan sebagian Benua Amerika. Pertama, di awal abad ke-19, partai muncul sebagai kelompok yang terdiri dari Dewan Perwakilan. Untuk partai-partai ini, ideologi sering dikaitkan dengan nama partai tertentu seperti Liberal, Konservatif, Republik, Demokrat dan nama-nama populer untuk partai lainnya.

Ciri-ciri pada tahap pertama di atas, partai masih terbatas pada label atau nama untuk mengidentifikasi kelompok-kelompok partai. Pada tahap ini juga kegiatan-kegiatan dan simbol masih sangat terbatas dan kaku.

Pada tahap ke dua, yang terjadi di pertengahan abad ke-19, perkembangan ini identifikasinya dapat dilihat dari mulai adanya perluasan daerah lingkup pemilihan yang diaplikasikan di negara Amerika Serikat, Jerman dan negara-negara di Eropa Barat di tahun 1830-an.

Tahap ketiga, perkembangan partai-partai terjadi pada sebelum dan sesudah abad ke-19. Pada fase ini mulai dikenal partai-partai di luar parlemen (ekstra parlementary parties), di mana cikal bakal organisasi tersebut sumbernya berasal dari perorangan atau pihak yang tidak senang pada parlemen dan dari pihak yang ingin keluar dari parlemen.

Fase keempat, terjadi setelah Perang Dunia II, semua Partai Politik di dunia Barat dan negara-negara maju mulai menampakkan karakteristik baru, yakni menjadi semacam “pedagang perantara” (broker) dari berbagai kelompok kepentingan.

Dari uraian fase-fase perkembangan partai di atas bisa dilihat bahwa partai-partai politik sebagaimana negara mengakui fase evaluasi dari mulai model yang sangat sederhana sampai yang paling modern seperti yang tersistem dewasa ini. Karakteristik ideologis yang pernah melekat pada fase-fase awal perkembangan partai saat ini mulai pudar, seiiring modernisasi dan globalisasi politik. Partai yang memiliki karakteristik ideologis pada akhirnya mulai bermetamorfose menjadi political broker dari berbagai interest groups dan stake holders politik negara lainnya.

Partai politik yang diharapkan menjadi agen sosialisasi dan partisipasi politik serta rekrutmen politik, banyak yang mengalami metamorpose menjadi “pedagang perantara” dari kelompok profesional, kelompok kepentingan, serta elit politik. Partai-partai tidak lagi berusaha menyelesaikan isu-isu politik yang berasal dari problematika masyarakat dengan penyelesaian total, tetapi lebih kepada kompromi-kompromi perubahan sosial-politik sedikit demi sedikit. Peran ideolog dalam politik diganti oleh wakil-wakil yang cakap secara praktis, namun lemah moral dan ideologi. Hal inilah yang dikritik oleh JP. Sartre, bahwa di Eropa Barat, Prancis hampir sebagian besar partai politik tidak lagi menawarkan ideologi dan perbaikan moral, namun hanya nafsu ingin berkuasa semata.

Saat ini partai-partai politik di dunia sudah menjadi organisasi politik yang sangat diperlukan dalam membangun demokrasi, baik state building maupun nation building di hampir semua negara di dunia. Partai politik juga terkait dengan sistem perwakilan, di mana realitas negara-negara modern yang semakin kompleks, sistem perwakilan merupakan pilihan rasional sebagian besar negara dunia.

Fungsi dan Tipologi Partai Politik di Dunia

Dari sekian banyak tulisan para ilmuwan yang melakukan penelitian tentang fungsi dan tipologi partai politik yang penulis paling monumental adalah penelitiannya Roy C. Macridis di tahun 1967-an yang terangkum dalam bukunya yang paling monumental Introduction : The History, Function, and Tipologi and Parties (Bernard E Brown, 1967).

Dikatakan monumental karena walaupun banyak ilmuwan politik yang secara mendalam meneliti tipologi kepartaian semisal John G. Grumm, Duverger, Daniel S. Lev dan lainnya, namun secara umum memiliki kesamaan yang relatif usang yakni ; tipe partai otoriter yang kontra dengan demokrasi, integrative kontra representative, ideologis kontra pragmatis, agamis, kontra sekuler dan banyak lagi tipe-tipe lainnya, tergantung dari dasar tipologinya. Sedangkan Macridis mengharuskan jika ingin tajam dalam melihat tipologi partai politik, maka hendaknya para ilmuwan memilih dasar tipologi dalam tiga hal penting yakni : (1) sumber dukungan partai; (2) organisasi internal ; (3) cara-cara bertindak dan fungsi.

Pertama, sumber dukungan partai. Dari dasar ini menghasilkan satu perbedaan dasar yakni komprehensif lawan sektarian. Yang termasuk komprehensif adalah semua partai politik yang berorientasi pada pengikut (clientele-oriented), yaitu partai yang berusaha mendapatkan suara terbanyak dari setiap warga negara. Sedangkan partai-partai sektarian adalah partai-partai yang memakai kelas sebagai daya tariknya.

Kedua, organisasi internal, yakni tertutup dan terbuka. Tertutup, maksudnya partai dengan keanggotaan terbatas. Sedangkan partai terbuka adalah partai-partai yang membolehkan setiap orang untuk menjadi anggota dengan persyaratan ringan dan tanpa kualifikasi tertentu yang sebagai mana terdapat pada partai jenis tertutup yang sangat memperhatikan kualifikasi.

Ketiga, cara-cara bertindak dan fungsi dibedakan menjadi partai diffused dan specialized. Diffused maksudnya partai yang sangat menekankan integrasi, pengawasan permanen serta mobilisasi dan bersemangat sekali dalam upaya pembangunan institusi. Sedangkan partai-partai yang terspesialisasi sangat menekankan keperwakilan, agregasi, pertimbangan dan perumusan kebijakan, partisipasi dan control pemerintah untuk maksud-maksud tertentu pada saat dan periode tertentu.



Main-stream Sistem Kepartaian

Di awal-awal tulisan ini sudah dijelaskan bahwa sistem kepartaian akan sangat dipengaruhi oleh sistem demokrasi yang merupakan mayoritas diaplikasikan di negara-negara modern saat ini. Oleh karena itu inspirasi sistem kepartaian selama ini banyak mengadopsi dari sejarah fase pertumbuhan partai-partai di Amerika, Eropa Barat dan Jerman yang lebih popular dengan sistem banyak partai dan dua partai. Oleh karena itulah, sistem kepartaian di negara demokrasi dunia saat ini pada dasarnya terbagi menjadi dua sistem yang menjadi mean-stream, yakni sistem dua partai (two-party system) dan sistem multi partai (multi-party system).

Pada sistem kepartaian dua partai (two-party system), sesuai namanya hanya ada dua partai yang mampu bertahan, dikarenakan adanya pemangkasan partai yang memiliki kesamaan visi, misi maupun ideologi. Pada sistem jenis ini satu partai berperan sebagai partai penguasa yang biasanya merupakan partai pemenang dalam pemilu, sedangkan yang satunya lagi merupakan partai yang kalah dalam pemilu yang biasanya juga berperan sebagai partai oposisi. Peran sebagai partai penguasa maupun sebagai partai oposisi bisa terjadi perputaran tergantung kemenangan partai tersebut dalam periode tertentu. Sistem seperti ini pernah dan sedang dijalankan di negara-negara semisal Inggris Raya, Jerman Barat, Kanada dan Amerika Serikat.

Dalam sistem kepartaian multi partai, biasanya ada satu partai dominan yang memerintah secara koalisi dengan partai-partai lain dengan partai dominan itu sendiri yang memerintah untuk jangka waktu yang lama, misalnya di Swedia dan Denmark kita mengenal partai dominan, yakni partai Sosial Demokrat. Di Belanda kita mengenal Partai Buruh dan di Jepang ada partai Demokrasi Liberal. Sedangkan di Switzerland ada tiga partai yang menjadi pusat gaya tarik kegiatan politik, yakni Partai Demokrat-Sosial, Demokrat Radikal, dan Partai Konservatif Sosial Kristen. Dari ketiga partai itulah Dewan Nasional Swiss dikuasai sampai sekitar 70-75% anggotanya.

Selain dua sistem kepartaian yang menjadi mean-stream dunia di atas, sebenarnya masih ada satu lagi sistem kepartaian yang memang tidak sejalan dengan demokrasi, yakni sistem kepartaian mono-partai. Sistem ini minoritas diterapkan di negara-negara dunia. Tercatat hanya diterapkan di Uni Soviet—Russia saat ini--, RRC, Korea Utara, Kuba dan beberapa negara kecil pecahan Uni Soviet. Negara-negara tersebut merupakan negara komunis. Oleh karena itulah sistem ini sering diidentikkan sebagai sistem kepartaian absolute atau komunal.

Dalam sistem mono-partai seperti di atas hanya ada satu partai saja dalam sebuah negara. Rezim politik lewat partai yang berkuasa itulah mengawasi setiap gerak-gerik asosiasi, organisasi atau lembaga tertentu yang memiliki tendensi mendirikan partai baru. Hal ini sebenarnya dilakukan sebagai upaya mematikan aspirasi yang bertolak belakang dengan paham komunis di negara tersebut. Bagi kelompok kepentingan atau perorangan tertentu yang memiliki kehendak politik terhadap kekuasaan atau misi politik tertentu mau tidak mau harus bergabung dalam partai tersebut jika ingin survive. Namun demikian, walaupun penuh dengan hujan kritikan dari para “pencinta” demokrasi, pada kenyataannya sistem ini sukses diterapkan di Rusia dan Republik Rakyat China.



Sistem Pemilihan Umum

Dalam Ilmu Politik, sudah lazim bahwa semua sistem politik modern yang terkait dengan pemilihan oleh konstituennya, baik kompetitif maupun tidak, diharuskan memiliki sistem pemilihan. Jika partai-partai digambarkan sebagai pepohonan di hutan, maka sistem pemilihan adalah hutannya. Pepohonan itu tumbuh di tengah-tengahnya, dan kita hampir selalu mengira bahwa hutan itu sebagai pohonnya. Jadi jelas sekali dua hal tersebut sangat kentara sekali includitasnya.

Dari berbagai literatur Ilmu Politik, baik dari Amerika maupun kawasan Eropa ditemui bahwa secara garis besar ada dua sistem pemilihan yang berlaku di dunia saat ini yakni single-member electoral system dan proportional representation electoral system. Dalam bahasanya John G.Grumm single-member disebut single-member district atau Pemilihan Distrik. Kedua sistem ini di Indonesia lebih familiar dengan sebutan Pemilu Proporsional dan Distrik.

Dari pendapat salah satu ilmuwan politik terkemuka, Carlton Clymer[4] Rodee (2000:220) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan single-member electoral system adalah geografi politik negara itu dibagi dalam beberapa wilayah pemilih. Hanya satu wakil dapat dipilih dari setiap wilayah. Meski suara rakyat dalam wilayah itu sangat terbagi-bagi dan banyak calon yang mungkin terdapat di kartu suara, hanya satu calon atau partai yang bisa menang. Sedangkan Proportional Representation electoral system adalah geografi politik negara itu dibagi menjadi beberapa wilayah pemilih. Akan tetapi dalam sistem pemilihan ini, setiap wilayah memilih beberapa wakil, biasanya antara tiga sampai tujuh, tergantung menurut banyaknya jumlah penduduk di wilayah itu. Pembagian wakil dalam setiap wilayah sebanding dengan jumlah suara rakyat di wilayah yang bersangkutan.



Perbandingan Single-Member dan Proportional Representatif

Clymer, dkk (Ibid:220) mengungkapkan perbedaan antara sistem pemilihan proporsional dan single-member digambarkan dengan contoh-contoh hipotesis (seperti dalam tabel 1) di mana dalam proportional-representatif system semua pemilih di wilayah itu mempunyai beberapa wakil dalam proses pembuatan undang-undang (baik dalam Dewan Kota, Negara Bagian dan lainnya yang sederajat). Setiap golongan (faction) pendukung dalam badan pemilih kurang lebih diwakili menurut kekuatan pemilihnya. Sedangkan dalam sistem single-member electoral, hanya satu wakil dapat dipilih, sehingga suatu partai B misalnya, memenangkan Pemilu karena ia menerima jumlah suara terbanyak dan pemenang berhak mendapat semuanya. Untuk lebih jelasnya perbedaan keduanya dapat dilihat dalam tabel di bawah ini :

Tabel 1. Perbedaan PR dan SM[5] : Distribusi Hipotesis Hasil Pemilihan Suara dan Wakil Terpilih di Suatu Daerah Pemilihan

Partai

% suara

PR (10 kursi)

SM (1 kursi)

A

28

3

0

B

31

3

1

C

11

11

0

D

9

1

0

E

21

2

0

Total

100

20

1

Sumber : Introduction to Political Science (2000 :221)

Dalam setiap pemilihan Single-member, hanya dua partai yang biasanya memenangkan kursi dalam legislatif. Dalam sistem ini pemilih harusnya sudah memahami ketika memilih partai-partai kecil, dikarenakan suaranya akan terbuang begitu saja. Di seluruh wilayah pemilihan anggota tunggal (single-member), menyebabkan adanya pemusatan menjadi dua partai utama saja. Namun, dalam sistem ini juga ada kemungkinan partai kecil bisa memenangkan suara dalam badan legislatif, hanya apabila pendukungnya terkonsentrasi di wilayah geografis tertentu, sehingga partai kecil memiliki peluang untuk menang dengan jumlah suara terbanyak, meski hanya ada di satu daerah pemilihan saja.

Tentang sistem pemilihan Single-member (distrik) juga dikemukakan oleh professor Politik V.O. Key dalam Iclasul Amal (1996 ;65) berikut :

“ Dalam sistem pemilihan Distrik hanya ada dua partai yang mampu bersaing untuk memperoleh kemenangan; partai ketiga hampir selalu ditakdirkan untuk kalah, kecuali bila partai tersebut dapat menyerap anggota-anggota dari salah satu partai utama itu sendiri. Partai-partai tidak akan mampu berkembang dalam suasana kepastian akan kekalahan. Prospek yang demikian itu cenderung menggerakkan anggota-anggota partai minoritas untuk berpindah pada partai mayoritas. Oleh karena itu, sistem pemilihan Distrik cenderung mengakibatkan terbentuknya sistem dua-partai”.

Kelemahan dari sistem Single-member adalah karena sistem ini secara tidak langsung “memaksa” pemilih untuk memilih antara dua partai besar, maka sering terjadi tumpang tindih di antara partai-partai besar dalam siasat pemilihan dan persaingan mutu ideologi relatif lemah. Sehingga, dalam kampanye politiknya hal-hal yang dijadikan komoditi bukanlah program, visi dan misi partai melainkan lebih terfokus pada kepribadian, personality, popularitas dan kapabilitas dari calon-calonnya. Selain itu juga, sistem ini membesar-besarkan perwakilan pengikut partai yang memenangkan mayoritas suara. Padahal hal ini belum tentu juga merupakan mutlak aspirasi rakyat yang sesungguhnya.

Sedangkan dalam sistem Proporsinal juga implikasinya adalah mengharuskan adanya koalisi dua partai atau lebih, hal ini disebabkan karena satu partai sukar sekali untuk mendapatkan suara mayoritas kursi dalam badan legislatif. Biasanya pemerintah koalisi di negara-negara dunia —kecuali Switzerland-- jarang stabil, mereka saling bersaing, berusaha membedakan diri dari musuh ideologi mereka, mereka cenderung pura-pura akrab dalam pemerintahan koalisi karena memang maksudnya supaya bisa “tawar-menawar” kursi empuk pemerintahan. Kelemahan lain dari sistem ini adalah ketika adanya kelompok elit berkuasa dalam sebuah partai berkuasa, penguasa negara boleh jadi merupakan penguasa partai yang sudah menjadi mitos tidak bisa tergantikan (absolute power). Untuk contoh ini misalnya penguasa Partai Golkar di Indonesia, yakni Soeharto terus-menerus mencengkeram partai ini selama ia menjadi penguasa negara Indonesia.

Tentang sistem pemilihan proporsional juga Herman Finer (Ibid;66) mengungkapkan dalam sistem Proporsional, karaktristiknya tumbuh sistem multi partai. Hal ini disebabkan karena tidak adanya kendala bagi partai-partai kecil ditambah pula dengan adanya dorongan bagi semua kelompok untuk turut serta dalam pemilihan. Partai-partai kecil dapat memperoleh perwakilan dalam badan legislatif dalam sistem ini, padahal dalam sistem pemilihan distrik partai-partai tersebut harusnya tidak mampu menempatkan calon tunggalnya. Untuk contoh ini misalnya Jerman pada masa pemerintahan Republik Weimar, di mana sistem ini mengakibatkan tumbuh suburnya partai-partai saat itu.



Kemungkinan Varian Sistem Kepartaian

Memang harus kita akui bahwa kedua sistem pemilihan yang sudah menjadi arus utama (main-stream) di negara-negara dunia modern saat ini dan jelas berhasil dalam merencanakan struktur politik negara serta berhasil dalam upaya formalisasi dan melegalisasi penguasa politik. Namun, para ilmuwan politik semisal John G Grumm, Clymer Rodee, Joel D Barkan bahkan sekelas Ilmuwan Politik Andrew Reynold yang banyak “mengagung-agungkan” sistem proporsional juga pada akhirnya sepakat bahwa system-sistem tersebut belum sepenuhnya bisa mewujudkan tujuan dasar stabilitas dan demokrasi.

Clymer Rodee (Ibid: 225) misalnya salah satu yang giat memberikan pertimbangan, bahwa ada beberapa cara lain yang juga bisa dikatakan varian atau follow up dari system-sistem di atas, termasuk sistem pemilihan double ballot (kartu suara ganda). Tetapi sistem ini berdasarkan atas wilayah beranggotakan tunggal, di mana calon atau partai yang menang ditentukan oleh pemilihan penentuan (run-off election) antara dua calon atau partai yang menerima suara terbanyak pada kartu suara pertama.

Di Amerika Serikat, biasanya di bulan November didahului oleh pemilihan pertama, menyerupai sistem double-ballot juga. Dan dalam usaha belakangan ini untuk menemukan cara lain dari sistem yang dipakai sekarang untuk memilih Presiden Amerika Serikat, sistem ini kelihatannya menonjol. Lembaga Pemilihan Presiden Amerika Serikat sebenarnya bekerja sebagai suatu sistem pemilihan Single-member di mana suara pemilih dari suatu negara bagian (berdasarkan banyaknya penduduk) diperuntukkan calon presiden dengan kemajemukan (selisih jumlah suara yang diperoleh oleh calon yang menerima suara terbanyak dengan jumlah suara yang didapat calon pemenang kedua). Hal inilah yang mungkin dikatakan distorsi dari sistem ini. Sebagai contoh distorsi, pada tahun 1980 Presiden Ronald Reagen memperoleh 52% dari suara rakyat secara nasional, tetapi ia secara resmi dipilih dengan 91% suara oleh Lembaga Pemilihan Presiden.

Ada satu lagi sistem yang merupakan varian dari Proportional-Representation, di mana sistem ini tidak didasarkan pada wilayah dengan banyaknya anggota, tetapi pada pemilihan semua wakil secara umum. Seluruh wilayah negara diperlakukan sebagai satu wilayah pemilihan tunggal. Ini luar biasa, mencocokkan distribusi (pembagian) pengikut partai dalam suara rakyat dan perwakilan pengikut partai dalam badan legislatif.

Sebagai contoh konsekuensi dari varian sistem proporsional di atas misalnya di Israel, sistem ini bisa membantu menjelaskan perpecahan dan persaingan hebat di antara pengikut partai yang memberi ciri politik Israel. Sejak berdirinya negara ini di tahun 1948, perwakilan pengikut partai dalam Knesset—sejenis parlemen Israel—pada waktu yang berlainan dibagi atas dua partai komunis, dua partai sosialis, dua partai tengah atau tengah-kanan dan beberapa partai berlandaskan religi. Politik di Israel mungkin tidak mengesankan secara umum (lebih-lebih bagi negara-negara Arab), tetapi politik Israel tidak menjemukan (Ibid: 226).



Partai Politik dan Pemilu Pertama di Indonesia

Sangat jarang sekali buku, artikel-artikel, ataupun tulisan lainnya yang banyak membahas kehidupan kepartaian dan Pemilu di Indonesia, terutama untuk kurun waktu awal-awal kemerdekaan. Para ilmuwan lebih banyak tertarik pada kekuatan politik Soekarno, kajian tentang militer maupun gerakan-gerakan komunis lewat Partai Komunis Indonesia.

Ketertarikan tentang kepartaian malah sebagian besar berasal dari ilmuwan-ilmuwan politik Barat semisal Danil S. Lev, Ruth T. McVey yang menulis sejarah permulaan partai sampai tahun 1927, Julian Benda, Kahin dan ilmuwan lainnya. Dari ilmuwan-ilmuwan luar tersebut justru kita bisa melacak sejarah kepartaian di Indonesia.

Menurut Daniel S. Lev dalam Noer (2000:131) pada masa pasca Revolusi peranan partai sejak periode Parlementer (1950-1957) sampai Demokrasi Terpimpin (1957-1965). Peristiwa yang menyertai kudeta 1 Oktober 1965 telah menandai suatu periode baru di mana perubahan struktural yang penting diwarnai oleh kejatuhan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan tampilnya Angkatan Darat ke atas panggung kekuasaan.

Lebih lanjut Lev dalam Iclasul Amal (1996: 132) menyebutkan bahwa dalam catatan sejarah, sistem kepartaian di Indonesia mulai muncul pada dekade awal abad ini di bawah pengaruh Politik Etis-nya Belanda, lahirnya kelompok cendekiawan baru Indonesia dan membanjirnya pemikiran baru Islam serta gagasan-gagasan baru Eropa. dalam suatu perubahan cepat pada tahun 1910 dan 1920-an muncul gerakan-gerakan golongan Islam semisal Muhammadiyah dan NU. Sedangkan kaum Komunis dan Nasionalis timbul tenggelam karena permusuhannya dengan Belanda dan konflik di antara mereka sendiri.

Pengaruh cendekiawan Indonesia saat itu mulai mampu menjawab kelesuan terobosan baru dalam bidang politik, termasuk partai. Soekarno termasuk salah seorang yang mampu menggerakkan semangat berpartai yang sudah sejak lama terkubur karena kolonialisme Belanda dan pendudukan Jepang. Tepat setelah beberapa bulan Proklamasi, suatu konstitusi yang baru dan rancangan Undang-undang Kepartaian mulai dibahas untuk membentuk partai tunggal. Tetapi kemudian Soekarno dalam sidang Parlemen mengusulkan untuk membentuk sistem kepartaian Parlementer.

Partai yang saat itu muncul adalah Partai Nasional Indonesia (PNI) yang mewadahi golongan nasionalis lama dan baru, Partai Politik Masyumi yang terbentuk masa pendudukan Jepang kembali muncul dengan back-up kuat oleh hampir seluruh elemen umat Islam semisal NU, Muhammadiyah dan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII)[6]. PKI juga muncul setelah melewati serangkaian pemberontakan pada kolonial Belanda dan beberapa partai kecil semisal Partai Sosialis Indonesia (PSI)[7], Partai Murba dan Partai Katolik dan Protestan (Parkindo dan Partai Kristen Indonesia).

Pada saat Pemilu 1955 untuk memilih wakil rakyat di parlemen dan majelis terdapat 48 partai dengan berbagai karakter dan backround sosial-budayanya, agama, kesukuan. Dalam Pemilu 1955 inilah kemudian muncul kekuatan partai yang merupakan wajah lama dalam gerakan revolusi yakni PNI, PKI, NU dan Masyumi yang mengumpulkan 75% suara dari keseluruhan pemilih.

Salah satu kelemahan --atau dalam kondisi tertentu kelebihan--dari system multi partai adalah munculnya berbagai latar-belakang karakter, religi, paham, budaya yang kemudian menjelma dalam partai. Namun, dari hasil Pemilu kemudian muncul kekuatan partai-partai yang cukup variatif dari berbagai latar belakang. Namun jika diteliti lebih dalam dalam variatifnya partai penguasa Pemilu[8] saat itu satu kata yang bisa menyebut kecenderungan saat itu adalah munculnya dominasi kejawaan di Indonesia. Dari keempat partai pemenang di atas pada kenyataannya lebih banyak memperhatikan dan diinspirasi dari pandangan hidup dan budaya kejawaan.

Menurut Daniel S. Lev (ibid : 136) selama tahun-tahun kemerdekaan, Partai Nasional Indonesia (PNI) dan NU menduduki posisi pusat percaturan politik Indonesia yang sangat penting dan strategis. Meskipun bertentangan dengan tuntuntan ideologis ke-Indonesiaan, namun mereka mewakili suatu kekhasan yang agak fleksibel dari para bangsawan Jawa dan Islam Jawa, di mana keduanya menolak sikap ektrem universalis abad 20. Ketika sumber konflik partai berkurang, bersamaan dengan bubarnya Masyumi di tahun 1960 dan Partai Komunis di tahun 1965, PNI dan NU melakukan penyesuaian-penyesuaian pragmatis untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya.



Pemilihan Umum di Indonesia

Telah kita ketahui bahwa pada saat Presiden Soekarno berkuasa, tercatat hanya 1 kali mengadakan Pemilu yakni di tahun 1955. Pemilu pertama ini disebut-sebut sebagai Pemilu yang paling berhasil dari segi keterwakilan latar-belakang dan ciri khas ke-Indonesiaan. Setelah lengsernya Sang Pemimpin Besar Revolusi ini kemudian Pemilu yang diselenggarakan pada masa Orde Baru. Pelaksanaan Pemilu selama Orde Baru didasarkan pada landasan : pertama, Landasan Ideal, yakni Pancasila, terutama sila ke-4 Pancasila. Kedua, Landasan Konstitusional, yaitu UUD’45 dan ketiga, Landasan Operasional, yaitu GBHN yang berupa ketetapan-ketetapan MPRS/MPR, serta peraturan perundang-undangan lainnya.

Rezim Soeharto memformat pelaksanaan Pemilu yang optimal dan proporsional berdasarkan asas Langsung, Umum, Bebas dan rahasia lewat paket UU No. 15/1969 yang kemudian di Era Reformasi ditambahkan dua asas lainnya yaitu Jujur dan Adil sesuai UU No.1/1985. Walaupun pada kenyataannya pada zaman Rezim Soeharto slogan tadi hanya tinggal slogan karna “campur-tangan” rezim ini dalam melakukan upaya subordinasi terhadap para audien partai selain Golkar kentara sekali.

Rezim Orba menggelar Pemilu pada tanggal 4 Mei 1977 dengan sistem Pemilu Gabungan Proporsional dengan stelsel daftar. Pada saat ini partai Politik sudah mengalami penyederhanaan[9] untuk yang seideologi dan subideologi yang disengaja oleh Soeharto hanya pada tiga kontestan yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia.

Partai Persatuan Pembangunan berdiri pada tanggal 5 Januari 1973 dengan lambing Ka’bah. Partai ini disebut-sebut sebagai penggabungan dari Nahdatul ‘Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Pergerakan Tarbiyah Islam (Perti) dan Partai Syarikat Islam (PSII). Sedangkan PDI yang berdiri 10 Januari 1973 merupakan fusi dari PNI, Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Murba, Partai Katolik dan Partai Kristen Indonesia. Golkar berdiri pada 20 Oktober 1964 dianggap sebagai golongan fungsional, alim-ulama, angkatan Proklamasi 45 dan angkatan jasa (Suhelmi, 1998: 15). Pemilu kedua pada tahun 1977, diikuti hanya dua partai politik yang merupakan fusi (peleburan) dari beberapa partai politik yang seideologi ditambah dengan satu Golongan Karya (Golkar). Hasil dari Pemilu ini dapat dilihat dalam table berikut ini :

Tabel 2. Pelaksanaan Pemilu ke dua di Indonesia

Tanggal Pelaksanaan

Landasan Operasional

Organisasi

Peserta Pemilu

Jumlah Anggota

DPR MPR

Keterangan

4 Mei 1977 dengan Sistem Gabungan

· TAP MPR No. VIII/MPR/1973

· UU No.4/1975

· UU No.5/1975

1. PPP

2. Golkar

3. PDI

460 920

Terjadi peleburan Partai Politik yang seideologi dan subideologi

Sumber : Perjalanan Partai Politik di Indonesia (M. Rusli Karim, 1983).

Daftar Pustaka

Amal, Ichlasul (Ed), 1996, Teori-Teori Mutakhir Partai Politik, Tiara Wacana, Jogjakarta.

Giovanni Sartori, 1976, Parties and Party systems, Cambridge University Press.

Hans-Dieter K, dkk, 2000, Partai, Kebijakan dan Demokrasi, Pustaka Pelajar, Jogjakarta.

Rusli Karim, 1983, Perjalanan Partai Politik di Indonesia, Rajawali, Jakarta.

T.J. Pempel, 1990, The One-Party Dominant Regimes, Cornell University Press, Itaca.

Undang-undang Pemilu tahun 2003, 2004,2008.

Yusril Ihza Mahendra, 1996, Dinamika Tatanegara Indonesia, Gema Insani Press, Jakarta.


[1]Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Politik, Universitas Siliwangi, Tasikmalaya.

[2]Yakni suatu sistem otoritarian di mana seorang raja tergantung pada tentara atau polisi dalam melangsungkan pemerintahannya.

[3] Peran yang dimainkan kelompok universitas dalam gerakan rakyat Eropa pada abad ke-19 dan dalam kemunculan partai-partai sayap kiri pertama sudah sangat terkenal. Selain itu juga partai-partai yang didirikan di luar parlemen misalnya digagas kelompok freemasonry yang berhasil mendirikan Partai radikal di Prancis.

[4] Seorang guru besar Ilmu Politik, yang menulis bukunya yang banyak dijadikan referensi dunia dalam mengkaji Ilmu Politik dan Filsafatnya lewat bukunya yang terkenal Introduction to Political Science.

[5] PR = Proportional Representatif System, SM= Single-Member Representatif System.

[6]Pada tahun1947 PSII memisahkan diri dari Masyumi, kemudian NU menyusul memisahkan diri pada tahun 1952.

[7] Partai Sosialis Indonesia (PSI) saat itu disebut-sebut sebagai partainya kaum intelektual. Partai Nasionalis Radikal Murba, terkadang disebut kaum komunis-nasionalis, walaupun pada kenyataannya tidakla terlalu kentara.

[8] PNI memperoleh 65,5% suara, NU memperoleh 73,9% suara, PKI 74.9% suara.

[9] Penyederhanaan OPP dari 9 partai menjadi 2 Parpol dan 1 Golkar, dituangkan dalam UU No.3/1975 tentang Partai Politik dan Golkar. Dalam UU tersebut baik Parpol maupun Golkar harus berasaskan Pancasila, yang disebut dengan Asas Tunggal Pancasila rezim Soeharto.

No comments:

Post a Comment